Kecuali Kamu

2354 Words
Suasana pagi hari di Universitas Indonesia, kampus nomor satu di Indonesia ini masih terlihat lengang. Hari masih cukup pagi namun Andini sudah tiba lebih dulu dari Billa. "Hai Bill!" sapa Andini. "Hai juga, Din. Tumben pagi amat, udah lama nyampe?" Billa cepat-cepat menghampiri Andini yang sedang menunggunya duduk di dekat area parkir. "Baru aja, masih ada waktu sedikit nih buat ke perpus, ayo!" katanya bersemangat. "Semangat banget, tumben?" sindir Billa dengan lirikan mata heran. Beruntungnya Billa punya sahabat seperti Andini. Dia baik, pengertian dan melakukan segalanya dengan tulus. Billa sangat mengutamakan ketulusan. Andini juga anak yang manis, dia berkulit agak gelap tak seputih kulit Billa, namun dia sangat manis, kadang Billa justru iri pada kulit eksotis Andini. Billa sangat suka pada jenis warna kulit Andini, cewek Indonesia banget gitu. Rambutnya sedikit bergelombang, matanya bulat, bentuk hidung dan bibir yang serasi, membuat Andini menjadi percaya diri atas apa yang dia punya. Dia nggak pernah berniat untuk meluruskan rambut gelombangnya seperti kebanyakan cewek lain yang melakukan itu. Dia selalu bersyukur atas apa yang dia punya, sama seperti Billa. Satu sih, yang nggak Billa suka dari temannya itu, kalau makan nggak kira-kira jatah siapa, main embat aja, tapi kadang hal itu justru membuat ibu Billa suka pada Andini yang cuek. "Bill, sebenarnya... gue kurang puas sama hasil tugas kita kemarin. Gue masih nggak yakin, nanti kita cek lagi ya di perpus," kata Andini sedikit ragu. "He-eh, boleh banget kalo itu menurut lo, ayoklah!" balas Billa mengiyakan dengan anggukan. Kemudian mereka berdua berjalan melewati lorong-lorong kampus menuju perpustakaan. Sesekali mereka tersenyum atau melambaikan tangan untuk sekadar menyapa teman-teman yang mereka lewati atau yang sebaliknya menyapa mereka dari jauh. "Ehm! Ngng..., Bill, sebenarnya..." "Sebenarnya apa lagi? sudah dua kali elo ngucapinnya," protes Billa. "Mm... sebenarnya gue mau bilang, kemarin elo banyak ngelamun," kata Andini berhati-hati. "Kenapa, sih? Terus... chat gue semalem juga lo anggurin. Ada masalah apa-an lo?" selidik Andini. Kecemasan ini yang membuat Andini cepat-cepat datang ke kampus lebih pagi dari biasanya. "Ng?" Billa tercengang mendengar pertanyaan dari Andini. "Nggak, nggak ada masalah apa-apa. Soal chat lo yang gue anggurin itu... karena hape gue lobet." ...Maaf Din, gue bohong, tapi beneran hape gue lobet, dan soal masalah gue itu bukan waktu yang tepat untuk ngebahas saat ini, batin Billa. "O, oke. Semoga sahabat gue tetep jujur nggak suka bohong, ya." "Iya beneran..., rugi amat gue bohong sama lo, nambah-nambah dosa aja," sahut Billa menutupi rasa gusar. "Gue nggak bilang elo bohong sama gue, tapi gue bilang semoga elo tetap jujur dan nggak suka bohong." "Apa bedanya, dodol!" ucap Billa sambil mendorong kepala Andini. Billa dan Andini sudah sampai di perpustakaan. Mereka berdua langsung mengisi daftar kunjungan. Kemudian setelah mengisi daftar kunjungan mereka berdua segera mencari buku yang diinginkan, dan menempati meja yang kosong. Mereka berdua pun sudah nggak membicarakan lagi hal di luar tugas kuliah. Andini sebenarnya orang yang suka melakukan segalanya secara semaunya. Tapi jika sudah serius untuk urusan tugas dan mata kuliah, dia bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sangat serius. Itu salah satu yang bikin Billa sayang dan dekat pada Andini. Sedangkan Billa, orang yang suka memendam masalah dan melakukan segalanya dengan serius, dan perfeksionis. Terlebih lagi jika sudah menyangkut soal C.I.N.T.A. Dan saat ini Billa sedang sangat berharap kekacauan pikirannya nggak berpengaruh terhadap nilai perkuliahan. Sesulit apa pun Billa selalu berusaha untuk berkonsentrasi penuh pada kuliahnya dan dunianya untuk tetap bahagia. Tidak terpengaruh pada masa lalu yang sempat mengacaukan dunianya. Billa pun tak mau mengawali semester pertamanya dengan nilai yang jelek, dan kesan yang buruk. Nabilla dan Andini mengambil jurusan kuliah yang sama, Komunikasi. Dan belum sampai satu semester. Perkuliahan sudah berakhir untuk hari ini. Billa pulang dengan menebeng motor Andini. Seperti biasa jika tak ada yang bisa menjemputnya, Billa akan menebeng di boncengan motor matic sahabatnya itu. Dan dengan senang hati Andini akan mau mengantarkan Billa sampai ke dapur ibunya, tentu saja untuk menjarah semua makanan yang masih ada di dapur. Andini membonceng sambil terus mengomeli Billa. "Ngomel terus kayak ibu tiri!" ucap Billa. Setelah sampai di rumah Billa, Andini langsung menghubungi ibunya untuk mengatakan bahwa dirinya ada di rumah Billa hingga sampai pada waktu yang nggak bisa ditentukan. Tergantung jika perutnya sudah kenyang atau mungkin sudah bosan mengunyah. Bosan? mustahil!" Andini berlari mendahului Billa untuk mencium tangan dan pipi ibu di dapur. "Ibu... aku datang...!" teriak Andini nggak tahu malu dan ibu sudah terbiasa dengan itu. Ia langsung mencari apa saja yang bisa dimakan setelah mencium ibu. "Makan dulu, baru kalian ke kamar," kata ibu setelah Billa menciumnya. "Ah, kalau soal makan nggak perlu disuruh kali Bu, liat aja tuh, mulutnya udah penuh!" sahut Billa, si mulut penuh yang di maksud justru tersenyum tanpa dosa. "Ibu nggak liat di dapur kita ada tikus dapur raksasa yang lagi lapar berat." Billa bertolak pinggang sebelum memulai lagi kemudian menggeleng melihat tingkah cuek Andini. "Tuh, liat deh Bu, semua dia embat!" dumal Billa lagi namun si tikus yang dimaksud malah tertawa sampai muncrat. Ibu nggak marah melainkan tersenyum, "itu berarti selera makannya Dini, bagus," kata Ibu sambil kemudian terus mengadon bahan perkedel. Rambutnya terikat rapih dan dibungkus agar tak ada helai rambut yang jatuh di adonan. "Ini adalah suatu bentuk rasa syukur selama kita masih bisa makan. ya, kan, Bu?" kata Andini seenaknya kemudian tanpa ragu mencomot risol yang berikutnya. "Iya, betul..." "Hahaha! bilang aja betul rakusnya, Bu!" semprot Billa yang sudah biasa bicara ceplas-ceplos kepada Andini. Dia nggak akan tersinggung apa lagi sampai marah karena dia tahu Billa hanya bercanda. "Ayo kita ke kamar, Din!" kata Billa sambil menariknya. "Nabilla..., makan dulu ajak Andini makan tuh," perintah ibu. "Iya Ibuku sayang...," jawab Billa sambil merangkul pundak Andini. "Eh, rakus, mau makan nasi apa nerusin ngemil?" "Ngemil apa-an lagi emang?" "Ngemil gorengan sekaligus penggorengan!" semprot Billa. "Gorengan, serius!" "Ya udah kita bawa risol ke kamar." "Siip, muach!" satu kecupan mendarat di pipi mulus Billa yang langsung diusapnya. "Bu, kita bawa risol aja ke kamar, makan nasinya entar aja!" kata Billa setengah teriak. "Iya Bu, soalnya kita belum laper, kita makan risol aja dulu. Oke ibu aku yang cantik?" kali ini Andini yang bersuara. "Ya sudah kalau gitu, kalau kurang tambah lagi risolnya," sahut Ibu. "Pasti Bu, tenang aja," balas Andini yang langsung mendapat dorongan di kepala dari Billa. "Lo mau bangkrutin keluarga gue!" "Hahahaha...!" Andini justru tertawa mendengar tuduhan itu dan Billa pun ikut tertawa melihatnya tertawa seperti itu. Andini kemudian menambahkan isi piring dengan risol yang lebih banyak tanpa ragu apa lagi malu. Ketika mereka melewati Kak Nisa, "hai Kakak aku yang paling manis, cantik dan baik hati!" sapa Andini kemudian berlalu, tiba-tiba ia mundur lagi, masuk ke ruangannya dan mencium Kak Nisa dengan mulut penuh minyak. "Iseng banget, ya!" kata Kak Nisa yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Nggak tau ya biaya pipi glowing sekarang mahal, kamu templokin minyak gorengan di pipi mulus kakak kamu ini." "Hehe, abisnya... aku nyapa nggak dijawab sih, kakak aku tersayang." Andini menaik turunkan kedua alisnya kemudian setengah berlari menyusul Billa. Billa dan Andini duduk di balkon sambil menyantap risol buatan Ibu yang selalu super lezat. Apa lagi ditambah lagi dengan cocolan saos sambal yang pedasnya MANTAP...! Billa mengambil sebotol jus jeruk yang ada di meja belajarnya yang baru ia minum sedikit, masih cukup untuk berdua, kecuali jika Andini khilaf. "Huaaawwwaaah... pedas...!" teriak Andini dengan mulut menganga lebar. "Hahaha...! makanya bawa minum jangan mikirin makanan aja sih, akibat, hm...!" Billa sengaja memamerkan jus di tangannya. "Bagi gue minum, cepetan...!" "Dasar rempong!" Billa duduk dengan kaki terangkat kemudian mengambil piring yang tadi terisi risol penuh kini kosong. "Ha, perasaan tadi gue cuma nyomot satu doang!" "Nih, satu." Andini memberikan yang ada di tangannya. "Dan elo sisain ini buat gue, berarti elo ngembat 8 biji." "Laper!" "Rakus!" "Haduh perut gue, begah!" keluhnya sambil memegang perut yang kekenyangan. "Biar mampus, meledak sekalian! Kasian nyokap gue kalau punya anak kayak lo, bisa bangkrut dia," dumal Billa dan Andini hanya cengir tanpa dosa. "Hehe, elo tau 'ndiri kan, yang bikin gue doyan ke sini, ya kalau bukan karena makanan apa-an lagi coba," Andini mengakui tanpa tahu malu. "Emang apa-an lagi yang ada di otak lo kalau bukan makanan!" sahut Billa ketus. "Hmhm, eh tapi itu bonusnya. Sebenarnya yang paling gue seneng ya, tempat ini. Setiap kali ke balkon kamar lo ini, gue selalu ngerasa relaks. Pemandangannya indah, udaranya sejuk. Apa lagi udaranya sejuk dan nyaman. Nah, ditambah lagi kalau ada tetangga lo yang dulu itu... bikin mata adeeem bengeeet!" "Yang mana?" tanya Billa merasa bingung. "Itu loh, kakak bule yang dulu di depan sana, yang cakep banget terus jago main gitar, itu loh." "Oh, iya... gue inget, Kak Keanu. Dia kuliah di Singapur, tau deh kapan baliknya. Orangnya misterius gitu." Billa meninggikan kedua pundaknya kemudian menenggak sisa jus jeruk tadi hingga tetes terakhir. "Iya Kak Anu. Gue tau dia misterius, elo kan udah pernah cerita waktu dulu pertama kali gue terkagum sama sosok Kak Anu." "Gue sempat ngira dia suka sama Kak Nisa." "Iya, gue juga!" seru Andini menimpali. "Ya, begitulah hidup, penuh dengan misteri. Mencintai atau dicintai. Meninggalkan atau ditinggalkan." Billa berkata dengan penuh penghayatan, tatapannya menerawang jauh. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa harus mengeluarkan kata-kata yang selama ini tersimpan baik di dalam lubuk hatinya dan tak seorang jua pun tahu. "Dalem banget tuh, kata-kata!" seru Andini hingga ia berbalik badan untuk menghadap penuh kepada Billa. "Ngng..., gue ke... toilet dulu!" pamit Billa yang menghambur pergi menghindari tatapan Andini. "Oke. Abisin ya, keluarin semua isi perut lo!" katanya. Andini yang sengaja menunggu kesempatan lengah, segera masuk ke kamar untuk menjalankan tujuannya. "Gue tau, poster Justin Timberlake udah lama dia pajang dengan bangga, tiba-tiba dilepas. Dan gue yakin... seyakin-yakinnya, ada sesuatu yang membuatnya membuang poster itu. Dia kan nge-fans parah sama si Justin tembelek," gumam Andini sambil terus memperhatikan ke sekeliling kamar, "tapi... gue yakin, ada yang lain selain poster Justin yang gue liat mirip dengan Ben. Tapi... apa ya?" Andini penasaran sendiri hingga mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuk. Kemudian tatapan Andini kembali berkeliling mencari sesuatu. Ia terus berusaha menemukan sesuatu atau apa pun yang saat ini hanya dia yang dapat mengerti. "Gue nggak ngerti muka si Justin atau si Ben yang pasaran, tapi gue yakin banget pernah liat yang mirip dengan si Ben itu selain poster Justin Timberlake." Andini terus meneliti, lalu berhenti di samping rak buku, "oh..., gue inget!" ucapnya ketika melihat deretan buku yang paling bawah. "Di sini." Andini mengulurkan tangan dan mulai mencari. "Ah, ini dia." Andini menrmukan diary mungil milik Billa. Andini pernah menjatuhkan diary itu sekitar dua tahun yang lalu, saat mereka baru berteman. Ketika terjatuh, diary itu terbuka, dan ada sebuah foto yang menempel di halaman yang terbuka tersebut. Tapi saat itu ia tidak membaca tulisannya, Andini tidak membacanya sama sekali karena ia tidak berniat mengetahui rahasia Billa tanpa izin kala itu, belum lagi mereka belum terlalu dekat seperti saat ini. Andini tahu bahwa sebuah diary adalah rahasia pribadi seseorang. Dan saat ini, Andini hanya ingin memastikan apa yang dia maksud. "Meskipun gue sekarang sahabat lo, tetap gue nggak punya hak untuk ngebaca isi diary ini tanpa izin dari lo," gumamnya, lalu ia mencari halaman yang ia maksud. "Maaf Bill, gue ... sedikit lancang ngebuka diary lo." Andini mulai membuka, dan menemukan halaman yang bertuliskan, My First Love Ben Revaldo. Dan benar saja, ada foto Ben berseragam SMA di halaman sebelahnya. Hanya beberapa halaman saja yang terisi, semuanya sama, satu halaman berisi satu foto dan satu halaman berisi tentang foto tersebut yang selalu ada wajah Billa di sana. Tapi hanya ada satu foto Billa yang berdua bersama Ben. Andini hanya ingin tahu tentang Ben dan Billa, selebihnya tidak. Lalu ia menutup kembali diary, terdengar suara pintu kamar mandi yang dibuka, ia pun buru-buru mengembalikan diary itu ke tempatnya sebelum Billa mendapatinya sedang membuka diary tersebut. "Din..., ngapain lo?" tanya Billa dari depan pintu kamar mandi. "Eh, ini... um, gue cari buku yang bisa dibaca sambilan," jawabnya berusaha tenang agar tak dicurigai ia pun melihat-lihat barisan buku yang teratas. "Tumben? lagian lo aneh, yang namanya buku pasti bisa dibacalah aneh!" "Hehe, helow..., emangnya elo baru pertama liat gue minjem buku lo?!" sahut Andini setengah protes. "Nih, yang barisan paling atas buku-buku baru semua, kan?" "Iya, yang di atas buku baru. Saking jarangnya gue sampe nggak inget kapan lo terakhir minjem buku gue." "Fine, gue ingetin, terakhir minjem pas kita mau ujian kelas 3 SMA dulu, l dulu... banget, puas lo!" seru Andini. "Hahaha, pinjem aja sesuka hati lo, gue malah seneng kalau elo sadar baca," kata Billa. "Um..., gue pinjem ini aja deh," Andini mengambil buku asal saja lalu menujukkan kepada Billa hanya untuk menutupi bahwa ia ada niat lain. "Oke. Eh, kita ke bawah yuk!" Billa mengajak Andini turun. "Oke. Gue juga pengen gangguin Kak Nisa, capcuz yuk!" Andini memasukkan buku ke dalam tas miliknya. "Gue laper," Billa pergi meninggalkan Andini lebih dulu. "Lo laper nggak? makan yuk." "Nggak ah, udah kenyang gue," balas Andini yang berlari menuruni tangga mendahului Billa. "Jelas aja kenyang, secara...!" "Hai Kakak aku yang paling baik dan cantik sedunia!" Andini menggoda sambil merangkul manja pundak Kak Nisa. "Ya udah, aku makan sendiri ya." Billa pergi ke dapur untuk minta makan sama ibu tanpa memedulikan Andini yang sedang mengganggu Kak Nisa. ___ Andini sebenarnya sengaja mencari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Kak Nisa. "Kak Nisnis, mm... aku mau ngomong sesuatu, boleh nggak nih?" bisik Andini. "Hhmmm, bolehla, ngomong apa sih," balas Nisa tanpa berpaling dari layar laptop. "Mm, gimana ya, caranya kita ngomong biar nggak kedengaran Billa?" "Iya. Gimana ya? kebetulan, kakak juga mau ngomong tentang dia sama kamu, Din." Lalu Nisa seperti berpikir sejenak. "Ngng tunggu," katanya lalu bangkit dan berjalan beberapa langkah meninggalkan Andini yang melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Wah, kebetulan nih lagi pada repot di dapur!" katanya sedikit berteriak. "Andini bisa bantu kakak ngeluarin kotak-kotak nasi dari gudang barang, nggak nih?" tanya Nisa namun matanya berkedip pada Andini. "Ha?" Andini merasa bingung namun akhirnya mengerti juga. "Oke. Dengan senang hati!" jawabnya lalu mengikuti langkah Anisa menuju gudang barang. ... ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD