Tak Ada Logika

2141 Words
Bab 5 Maafkan... Maafkan hati ini, tak bisa berhenti mencintaimu Walau kau mungkin tak memilihku tuk menetap di hatimu --Billa ❤ Tahun terus berganti sejak ketika untuk yang pertama kalinya Billa merasakan jatuh dan patah karena cinta. Tapi rasa itu tak pernah pergi hingga saat ini. Meski sejauh apa ia melangkahkan kaki. Kejadian lima tahun lalu yang telah merubah seorang Nabilla Azhar menjadi seorang gadis yang lebih pendiam dan tertutup untuk siapa pun yang mendekatinya. Sulit sekali bagi seorang Billa untuk melewati hari-harinya setelah melewati pengalaman pahit di saat pertama kali hati sedang berbunga karena cinta. Justru Ben menyiram api di dalam hatinya. Malam ini, Billa duduk di balkon kamarnya. Memeluk lututnya yang terasa dingin. Mengingat semua kejadian di tivi tadi. Ada apa dengan ungkapan Ben? "Apa dia bisa dipercaya? Bukan pacar pertama, tapi cinta pertama? Terus kenapa kamu tega menghinaku dengan kasar waktu itu, Ben?!" ia menggumam sendirian. Ingatannya kembali pada saat itu, saat di mana Ben mendorong dan menghinanya dengan kasar. Saat itu Billa sedang beristirahat, bersama hampir separuh dari teman kelasnya. Billa sangat menyukai teater, mereka berkumpul di halaman belakang sekolah untuk membicarakan sebuah sandiwara yang akan mereka tampilkan saat perpisahan kakak kelas 12 nanti. Sebagai murid baru Billa terbilang cepat tenar karena sikapnya yang ramah pada siapa saja dan senyum kepada semua orang. Nggak terkecuali pada anak-anak cowok yang sering menggodanya dengan kata-kata jahil atau pun juga sekadar menyapanya. Dan itu membuat Billa dengan cepat bisa memiliki banyak teman. Ben dan Joana adalah kakak kelas paling tenar sampai-sampai banyak yang menyebut mereka dengan panggilan Ben-Jo, lebih lagi ketika mereka telah jadian. Saat Billa masuk sebagai murid baru, adik kelas gemes, dia sudah mencuri perhatian. Nggak terkecuali pada Ben. Ketika Billa menjadi siswi baru, berita yang tersebar adalah Ben-Jo sedang nggak baikkan. Diambang putus. Ketika itu perhatian Ben beralih pada Billa. Dan ketika itu Joana sangat yakin, Ben memutuskan hubungan dengannya karena adik kelas yang doyan tebar pesona menurut sudut pandang Joana, yaitu Billa. Joana menyusun strategi untuk bisa merebut Ben kembali, dan menebus rasa malunya karena dikandaskan dengan adik kelas yang baru. Joana sangat benci dengan adik kelas satu ini. Ben benar-benar menyatakan cinta pada Billa. Dan tanpa sulit bagi Billa untuk bisa menerima Ben yang memang populer dan penuh pesona sebagai kakak kelas. "Itu cewek polos yang elo pilih buat gantiin gue! Seperti yang gue bilang, cuma gue yang bener-bener cinta sama lo, dan punya waktu buat lo! Nggak kayak dia, kecentilan banget. Tebar pesona dimana-mana! Liat kelakuannya yang bisa dengan mudahnya deket dengan semua cowok yang dia kenal. Tengil!" begitulah kata-kata Joana ketika itu tanpa punya perasaan sedikit pun di hadapan Billa dan semua tannya ketika itu. "Apa maksudnya kak Jo?" tatapan Billa penuh rasa takut. Teman-temannya yang juga murid baru nggak berani berbuat apa-apa. Mereka semua tau Joana layaknya kakak kelas penguasa sekolah. "Lo liat aja Ben, dia lebih banyak teman cowok daripada taman cewek!" serang Joana. "Terang aja, kelakuannya centil banget! Hih, baru juga murid baru lo!" Sandra sahabat Joana ikut menyerang. Ben hanya berdiri seperti patung di tengah Joana dan Sandra. Tatapannya seperti srigala yang siap menerkam seekor angsa kecil. Rahangnya mengeras seakan bisa menghancurkan giginya sendiri. Billa hanya membeku, apa yang dikatakan Joana itu seperti menelanjanginya di depan umum. Bibirnya membuka lebar dengan kaku tak mampu bicara. Matanya panas dan basah. Menunggu reaksi Ben, tatapannya memohon agar Ben nggak memercayai itu semua. Billa memang mudah dekat dengan siapa pun, tapi bukan serendah itu alasannya. Bukan itu. Ben mendekat dengan langkah tegas dan rahang yang mengeras. "Aku benci cewek murahan kayak kamu! Kita putus!" Tubuh Billa makin membeku di tengah keramaian. Ben bukan iba pada tatapannya, tapi justru mendorong dengan kasar tanpa perasaan. Saat itu juga tubuh Billa tersungkur seperti tersambar petir, merasa tak bertenaga untuk bangkit lagi. Dari celah air mata dan rambutnya yang berjatuhan karena tertunduk ke tanah, ia melihat tiga pasang kaki tadi menjauh. Teman-temannya datang untuk membantu. Billa menangis tersedu. Sulit untuk teman-temannya membawanya ke kelas karena Billa benar-benar menangis di sana. Sejak saat itu Billa berubah drastis, ia menjadi pendiam. Terlebih lagi menjaga jarak pada anak-anak cowok, bahkan parahnya lagi seolah tak ingin mengenal teman cowok lagi. Satu bulan kemudian Billa pindah ke Jakarta karena ayahnya yang bekerja sebagai manajer sebuah bank swasta harus pindah tugas. Dengan senang hati Billa meninggalkan sekolah yang baru saja ia jejaki itu tanpa memberi tahu kepada siapa pun. Sejak Billa tak ada di sekolah, Ben justru merasa telah kehilangan seseorang. Dan menyadari sebenarnya ia sangat mencintai seseorang itu. Dan kemarahannya saat itu adalah karena rasa cemburu yang besar melihat gadis itu sering bersama teman-teman cowoknya daripada bersama dengannya saat berada di sekolah. *** Apa salahku hingga kau sakiti aku... Saat cintaku mulai tumbuh dan berbunga... Kau goreskan kepedihan yang tak pernah kuduga... Kau patahkan semua harapanku... Kau hancurkan semua impianku... _ Lagu Terry Tepatnya Malam Minggu yang terdengar dari laptop Kak Nissa menyadarkan Billa dari lamunannya. Lagu itu menambah dalam kesedihan ketika mengingat Ben saat ini. Sakit sekali, semakin mengingatnya semakin sakit rasanya. Disakiti oleh orang yang pertama membuatnya jatuh cinta. Belum sempat merasakan malam Minggu pertama Ben justru mematahkan hatinya begitu saja di hadapan banyak orang tanpa meminta penjelasan apa pun. "Ben, kenapa kamu muncul di sana? Kenapa aku harus melihat kamu walau aku nggak suka acara itu?" gumam Billa pada hamparan langit gelap di atas sana. "Maaf jika aku nggak bisa menjaga sikap aku, sampai kamu menilai aku seburuk itu. Maafkan aku--sampai detik ini masih menyimpanmu. Masih tetap--mengharapkanmu. Maafkan aku, jika aku yang pertama kali membuatmu jatuh cinta, namun ... membuatmu kecewa. Maafkan aku--Ben Revaldo." Sudah cukup Billa mengingat tentang kejadian waktu sekitar lima tahun lalu itu. Ketika disakiti, namun tak bisa melupakan dia yang telah menyakiti, adalah hal yang jauh lebih menyakitkan lagi. Berkali-kali Billa mencoba lari untuk melupakan, namun sepertinya ia selalu dikejar untuk tetap mengingat lagi, dan lagi. Cinta yang sejak awal telah tumbuh di hati yang belum ranum kini terasa semakin berakar dan sulit untuk dicabut kembali hingga ke dasar. __ Hari terus berjalan, bumi berputar, matahari dan bulan silih berganti, dan begitu pun juga dengan kehidupan yang meski dengan segala kepahitan akan selalu berjalan ke depan. Tidak ada kehidupan yang kembali ke belakang. Seperti halnya kita yang hanya selalu bisa menatap ke depan, walau apa pun yang telah terjadi di belakang. Seperti halnya Billa yang meski belum sempat menyampaikan maaf kepada Ben, namun ia selalu berusaha untuk sempat mengucapkan itu kepada hatinya sendiri. ... Meski ini bukan salahku, aku akan selalu mengucapkan itu untukmu, maafkan aku. Maafkan aku yang tak dapat membenci kamu. Maafkan hati ini yang mungkin masih mencintai. Maafkan... ... * * * *** __ Bab 6 - Tak Ada Logika Aku merasa cinta ini tak berlogika Memutus tuk jatuh cinta padamu sejak pandang pertama dan tak mampu menghentikannya Entah bagaimana aku tak pernah bisa - Billa- -First Love- "Kenapa aku harus menonton acara itu justru di saat dia muncul?" gumam Billa sendirian. Bahkan saat malam sudah semakin larut, hal yang tetap ia ingat adalah segalanya tentang Ben. Billa beranjak dari tempat tidur. Membuka lembar tirai di kamar dengan kedua tangannya, ia berdiri di balik jendela kaca besar itu. Menatap keluar jendela yang tampak gelap, lampu-lampu yang menyala menyinari malam. Pernyataan itu membuat aku hancur. Jelas bukan aku yang dia maksud sebagai first love-nya. Joana lebih dulu hadir. Tentu dia orangnya. Aku harus bagaimana dengan perasaan ini? Aku sudah menjauh, percuma saja karena kamu selalu ada di hati. Billa berkata lirih di dalam hati, memejamkan mata, lalu menekan pelipisnya di kaca besar kamarnya. Ya Allah, kenapa ikatan ini begitu kuat? Aku sendiri nggak bisa melepaskan diri. Dan mungkin saja, aku akan mati jika ikatan ini lepas. Seharusnya dia tetap di sisiku, karena hanya dia yang bisa membuka hatiku. Billa kembali ke atas tempat tidur dengan tirai yang masih sedikit membuka, agar ia tetap bebas menatap kegelapan malam. Duduk mendekap erat lututnya, seolah bisa mengurangi rasa perih ini. Ben, bayanganmu semakin melekat, semakin menyayat. Menambah goresan luka di hati. Air matanya mengalir. Ia tak bisa menahan sakitnya lagi. Semakin deras. Kemudian ia beranjak ke kamar mandi sebelum ada yang memergokinya sedang berlinang air mata. Billa mencuci wajahnya untuk menghilangkan jejak air mata di seluruh wajahnya. Mengeringkan dengan handuk kecil sambil memperhatikan wajahnya di depan cermin. Tiba-tiba bayangan wajah Ben saat di tivi tadi muncul, seketika itu juga ia memejam. Berbalik cepat. Dan lalu segera kembali ke tempat tidur. Baru saja menarik selimut dengan kedua tangannya, Billa sudah mendengar pintu kamar di ketuk. Ia lalu berpura-pura tidur agar tidak diajak bicara dan akan ketahuan jika ia habis menangis. Tak lama setelahnya ada yang membenarkan selimut lalu mengecup keningnya. Tentu saja ia tahu itu Ayah karena ada sedikit kumis terasa menusuk di kening. Setiap malam Ayah atau Ibunya akan berkunjung sebelum tidur. Kalau Kak Nissa yang datang sudah tentu akan curhat dan akhirnya numpang tidur. * Tanpa terasa pagi sudah menyapanya. Billa beranjak dari tempat tidur lalu memandangi diri di balik cermin. Tampak sangat kacau. Betapa kacau dirinya pagi ini. Billa kemudian berlari ke kamar Kak Nissa untuk meminta sesuatu yang ada di pikirannya. "Kak..., aku minta obat tetes mata dong," kata Billa sambil mengucak mata. Tak ada jawaban, namun terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. "Kak, aku minta obat tetes mata...!" rengek Billa sekali lagi. "Ya cari aja sendiri di meja rias kakak, dek!" suaranya menggema di dinding kamar mandi. Butuh waktu satu menit untuk mencari di antara banyak peralatan rias dan obat-obatan milik Kak Nissa. Billa kemudian duduk setelah menemukan yang ia butuhkan. Meneteskan ke bola mata lalu mengerjap. Baru ingin meneteskan lagi ke mata yang sebelah kiri, Kak Nissa sudah mengambil alih. "Mata aku Kak...," rengek Billa. "Mata kamu kenapa? Jangan bilang habis nangis!" tuduh kak Nissa. "Hm, nggak," Billa menggeleng. "Ngaku aja deh, tadi malem kamu nangis ya?" paksanya. "Billa nggak bisa boong, ketahuan deh. Maaf, Kak, tapi aku lagi nggak pingin curhat. Tengkyu obatnya." Billa berusaha untuk bisa tetap tersenyum ceria, pergi meninggalkan Kak Nissa begitu saja sebelum ia mendapatkan berbagai pertanyaan. "Nanti Kakak beli 10 botol obat tetes mata, semuanya buat kamu!" teriaknya menyindir. "Simpan terus si b******k itu sampai air matamu benar-benar kering," gerutunya saat Billa sudah menghilang. Hari terlewati seperti biasa. Sarapan bersama sebelum memulai aktivitas. "Makan belum habis, sudah melamun." Tegur Ibu. Billa tak menjawab, hanya tersenyum. "Lebih banyak melamunnya daripada makan," imbuh Kak Nissa sedikit kesal. Billa memutar otak berusaha untuk mencari alasan. Meminum air putih. Kemudian tersenyum lagi. Ponselnya tiba-tiba memanggil. Menyelamatkan. Melempar senyum pada tiga pasang mata lalu menyambut. "Hai, Din!" "Di mana?" "Masih sarapan, bentar lagi berangkat." "Ya udah, buru!" "Oke, bye." Menyimpan ponsel ke dalam tas. "Yah, ayo berangkat. Banyak kegiatan kampus, Yah..., Billa nggak mau telat...!" rengeknya. "Iya, Ayah minum dulu." Billa mencium Ibu dan Kak Nissa. "Jangan lupa istirahat," katanya pada Ibu. "Jangan terlalu banyak duduk Kak, nggak baik buat kesehatan," kata Billa lagi kali ini untuk Kak Nissa "Mau gimana lagi, tugas Kakak di depan laptop, nggak mungkin sambil nungging, kan?" sahut Nissa. "Ih, Kakak lucu, deh!" ucap Billa sedikit menggoda dengan mencubit dagu kakaknya. Billa kemudian merapikan pakaiannya. "Ayo Ayah." Ayah tak menjawab lagi, ia langsung saja mengikuti langkah putrinya yang menariknya. "Perhatian sama orang, sendirinya dilupain!" gerutu Nissa saat Billa pergi. "Husss...! Kakak, kok ngomongnya gitu?" tegur Ibu ketika membereskan meja makan. "Aku kesal Bu, dia habis nangis semalem. Aku yakin dia kemarin habis liat Ben di tivi." "Ben, di tivi? Dia jadi artis?" selidik Ibu. "Bukan Bu, kemarin dia masuk salah satu acara favorit di tivi. Acara anak muda." "Terus, kenapa harus kesal dengan Billa?" "Bukan dengan Billa, Bu. Tapi dengan situasinya. Ya, dengan Billa juga sih, soalnya dia masih nggak ngelupain si Ben. Dan, kenapa juga Billa yang nggak suka acara itu, tiba-tiba bisa nonton! Pasti Andini, nih!" keluhnya. "Jangan sampai kesal dengan adikmu, ingat dia sangat sensitif," kata ibu mengingatkan. "Iya, Bu," jawab Anissa masih tetap menikmati buah yang ada di meja makan. "Bantu dia untuk bisa menyelesaikan masalah. Kalau memang cuma Ben satu-satunya yang bisa buat dia bahagia, bantu adikmu itu untuk bisa bertemu dengan Ben lagi, selesaikan masalah masa lalu mereka dengan cara yang baik," kata Ibu menasihati. "Bu, aku nggak mungkin melakukan itu, aku benci Ben yang sudah buat adik aku satu-satunya jadi ... terluka seperti itu sampai sekarang ini. Nggak akan aku kasih dia kesempatan untuk nyakitin Billa lagi. Aku akan cari cara agar Billa bisa sibuk mikirin cowok lain untuk menggantikan dia." Anissa memang sangat marah atas kejadian beberapa tahun lalu yang sudah menyakiti dan melukai perasaan adiknya. Membuat adiknya saat itu berubah jadi pemurung, suka mengunci diri di dalam kamar, susah mau makan, dan jarang bicara. Betapa kacaunya dunia Billa saat itu. Hatinya yang lembut harus disakiti oleh orang yang membuatnya merasakan cinta untuk pertama kalinya. Billa yang polos dan tidak mudah jatuh cinta, dilukai oleh cinta pertama. Itu sangat tidak adil. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD