Ajakan Jalan

1043 Words
Dhira baru saja menghempaskan tubuhnya ke atas kasur setelah pulang dari jogging. "Hah, lelah sekali rasanya. Ini pasti karena aku sudah jarang jogging." Dhira merentangkan kedua tangannya di atas kasur empuk miliknya. Cling... Suara notifikasi pesan w******p berbunyi di handphone miliknya yang terletak di atas kasur tak jauh darinya ternyata pesan dari Arjuna. From Arjuna. {Siang nanti setengah satu mas jemput ya? Mas mau ngajak kamu jalan.} "Tsh, malas banget rasa nya mau pergi sama mas Arjuna," ucap Dhira pada diri sendiri. "Hmm... tapi enggak apa juga sih ya biar saling akrab. Hitung hitung biar aku bisa melupakan dia." Dhira menghela nafas kasar. Send to Arjuna. {Emm... Boleh juga mas, aku tunggu ya.} From Arjuna. {Oke, see you..} Dhira melihat jam di layar handphone nya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit. Ia bergegas untuk berendam beberapa menit di dalam bathup dengan lilin aromatherapi sebelum bersiap pergi bersama Arjuna. ***** Di tempat yang berbeda dan waktu yang sama Elindra sedang memilih milih pakaian yang nanti akan di kenakannya untuk pergi bersama Arjuna dan Dhira. Elindra berdiri di depan walk in closet miliknya sembari menatap gantungan baju baju degan brand ternama dan pasti harga harganya sangat lah mahal. Sejak dulu Elindra memang sosok seorang perempuan yang selalu menomor satukan penampilan, terlebih setelah ia menjadi seorang model yang menembus jajaran international. "Ah bingung nih mau pakai yang mana. Nanti saja lah." Elindra kembali duduk di tepi kasur dan mengambil handphone untuk melihat media sosial miliknya. "Oooh iya, kenapa enggak ajak Tama juga ya. Dari pada aku jadi kacang mas Arjuna dan Dhira, lebih baik aku mengajak nya juga." Elindra segera mencari kontak Tama dan menghubunginya. Tut... Tut... Tut... Sambungan telpon terhubung. Elindra : "Halo, Tama." Tama : "Ya Elindra. Ada apa?" Elindra : "Eemm... Kamu sibuk enggak hari ini? Aku mau ngajak kamu jalan siang ini." Tama : "Maaf Elindra, aku enggak bisa ada urusan yang harus aku selesaikan." Elindra : "Yaah, sayang banget. Aku jadi kacangnya mas Arjuna dan Dhira dong nanti. Huh..." Tama : "(Terdiam sesaat) Hem... Sepertinya aku bisa menundanya." Elindra : "Beneran? Oke nanti kita ketemuan saja ya. Nanti aku kirim pesan ya tempatnya dimana. Tama : "Oke. See you." Tut... Sambungan telfon terputus. "Akhirnya aku enggak bakalan jadi kacang deh nanti. Hehehe..." Elindra tersenyum. Elindra kembali berkutat di depan walk in closet. Ia tak ingin penampilannya terlihat biasa saja, ia tetap harus bersinar walau hanya akan berjalan di mall. Ia yakin paparazi tengah berkeliaran dimana mana ketika weekend seperti ini. Apalagi ia akan berjalan bersama pengusaha pengusaha muda yang terkenal di Indonesia raya ini, jadi ia harus berpenampilan semaksimal mungkin, tapi bukan berarti menor dan mencolok mata yang melihat. "Wah.. Sepertinya ini cocok deh." Matanya berbinar saat menemukan pakaian sesuai seleranya. Ia memilih menggunakan atasan ruffle dan rok jeans yang menutupi setengah paha mulusnya. Pilihan warna pastel pada cropped top dan rok membuat tampilan Elindra terlihat sangat feminin. Di tambah sepatu hak tahu dengan warna yang senada membuatnya semakin menawan. "Oke cocok deh, tinggal merapikan rambut saja." Elindra berputar putar di depan cermin besar di kamarnya. ***** Tama yang sebenarnya hendak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarganya terpaksa harus menerima ajakan Elindra untuk jalan jalan. Bukan karena Elindra melainkan Dhira yang juga ikut pergi bersama Arjuna. Ia merasa tak terima jika perempuan yang di cintai nya akan pergi bersama pria lain. Api cemburu sepertinya telah menjalar pada Tama, bahkan ia telah meminta seseorang untuk terus mengawasi gerak gerik Dhira selama berada di luar rumah. "Apa yang harus aku lakukan?" Tama mondar mandir di depan kasur dengan tangan yang masih memegang handphone. Sungguh Tama tampak kacau, entah apa yang ada di fikiran nya saat ini. Ia selalu tak tenang jika memikirkan Dhira tengah bersama pria lain. Tama ingin segera memiliki Dhira seutuhnya, tapi kekacauan saat itu membuat Tama mau tak mau harus membiarkan Dhira menjauh dari nya dengan pemikiran bodohnya itu. "Kamu akan menjadi milik ku." Seringai licik terlihat jelas di wajah Tama dengan sorot mata yang tajam. Tama benar benar tak akan melepaskan Dhira, ia harus menjadi miliknya, harus. Walau dengan cara apapun akan di tempuhnya, yang penting ia tidak akan menyakiti tubuh Dhira. Lamunan Tama membuyar begitu saja, saat suara lembut nan polos mengisi seluruh kamarnya. "Papi... Papi lagi ngapain mondar mandir gitu?" Jasmin telah berdiri di depan pintu kamar Tama dengan dahi yang mengkerut. Tama tersenyum melihat kehadiran Jasmin yang selalu membawa kedamaian untuknya. "Anak papi, kemari." Sambil menepuk nepuk kasur di bagian kosong sebelahnya. Jasmin berlari mendekati Tama, ia segera memeluk Tama lalu duduk di atas kasur sesuai permintaan dibantu dengan Tama yang mengangkatnya ke atas kasur. "Papi kenapa? Apa ada masalah yang begitu rumit?" Dengan polosnya Jasmin bertanya. Tama tersenyum tulus, ia menatap kedua pasang bola mata kecoklatan milik Jasmin. Dibelainya lembut rambut panjang gadis kecil itu. Kilatan kesedihan kini terpampang jelas di wajah tampan sang pemilik. "Kamu begitu mirip dengan momy, sayang." Tama mengecup lembut ujung kepala Jasmin. "Papi? Apa momy sudah bahagia di sana?" Jasmin menatap Tama dalam. "Tentu. Kenapa kamu bertanya seperti itu sayang?" Tama mencoba memahami pertanyaan yang di lontarkan oleh Jasmin. Jasmin tertunduk lesu, wajahnya berubah menjadi begitu murung. Padahal saat memasuki kamar, ia begitu bersemangat. "Jasmin rindu momy." Kalimat yang cukup mengiris hati seorang pria tegas seperti Tama. Bagaimana tidak? Tama begitu memahami kondisi Jasmin saat ini. Disaat anak seusia nya mendapatkan kasih sayang yang lebih dari seorang ibu, justru tak ia dapatkan. Bahkan semenjak kepergian Marisa untuk selama lama nya, hari hari Jasmin selalu di habiskan bersama mama Leni, oma tercintanya. Walaupun Tama dan Papa Darwin juga memberikan perhatian yang lebih pada Jasmin, namun tidak lah cukup untuk mengobati rasa rindu dalam diri Jasmin pada sosok seorang ibu, seorang yang berhati lembut bahkan bisa di bilang berhati malaikat bagi seorang anak seperti Jasmin. "Hei anak cantik. Enggak boleh bersedih, papi janji besok akan membawa Jasmin menemui momy dan membawa bunga kesukaan momy." Tama mengangkat tubuh Jasmin hingga terduduk di pangkuannya. Jasmin menaikkan pandangannya. Menatap Tama dengan wajah yang begitu bersemangat dan kembali ceria. "Beneran pi?" Tama mengangguk cepat, hingga membuat Jasmin kegirangan serta berteriak menyalurkan ekspresinya. "Horee... Besok ketempat momy... Asiiikkk... Terima kasih papi. Jasmin sayang papi." Sebuah kecupan hangat di pipi Tama menjadi bukti betapa bahagia dan sayangnya anak ini pada sosok Tama, sosok yang selalu melindunginya kapanpun dan di manapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD