Hujan turun deras di Semarang malam itu, seolah langit ikut merasakan suasana hati Malda Miura. Kemenangan gemilangnya di Kejuaraan Asia belum genap seminggu, namun rumahnya sudah terasa seperti medan perang. Papa duduk di ruang tamu dengan wajah keras. Satu matanya yang masih bisa melihat menatap tajam ke arah Malda yang baru pulang dari rapat tim estafet. "Jadi kamu masih terus berhubungan sama laki-laki itu?" suara Papanya pelan tapi penuh tekanan. "Papa... Yulianto bukan orang asing. Dia-" "Dia pantas jadi bapakmu!" bentak Papanya tiba-tiba. "Apa kamu nggak punya malu?!" Malda tercekat. Ini bukan pertama kalinya Papa menentang hubungannya dengan Yulianto, tapi malam ini rasanya lebih menusuk. "Kamu pikir hidup ini cuma soal cinta, Mal? Kamu lupa urusan kecelakaan Papa yang belum

