10. Ciuman Paksa

1181 Words
Oceana melirik jam yang berada di layar monitornya. Mulutnya mendesah lelah. Setengah jam lagi jam pulang kerja. Namun sialnya dia masih harus kerja lembur bagai kuda dan ini semua gara-gara Sean. “Arghh, nyebelin banget!!” keluh Oceana seraya menyugar rambutnya penuh kekesalan. “Siapa yang nyebelin?” “Yah, siapa lagi kalo bukan dedemit Sean. Mentang-mentang dia bos, bisa seenaknya main nyuruh gue lembur. Pokoknya dia nyebelin banget. Rasanya pengen gue tampol wajah songongnya.” Setelah mengatakan itu, Oceana kembali fokus menatap layar monitor. Namun tiba-tiba jarinya berhenti mengetik dan dia langsung membulatkan matanya. ‘Tunggu dulu, kayaknya ada yang aneh nih. Suara itu mirip banget sama suaranya ....’ batin Oceana seraya menggigit bibirnya. Perlahan-lahan dia menolehkan kepalanya. Mata Oceana seketika terbelalak kaget ketika melihat Sean berdiri di belakangnya seraya memasukan tangan di saku celana. Tidak hanya itu, dia bahkan menatap Oceana dengan tatapan tajamnya. “E—eh, ada Bapak, Hehe.” Oceana bangkit berdiri seraya tertawa kaku lalu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Dari kapan Bapak berdiri dibelakang saya?” Bukannya menjawab, Sean malah memicingkan matanya dengan sangat tajam. “Ini udah kedua kalinya saya mendengar kamu menjelek-jelekkan saya,” ujar Sean seraya melototkan matanya. “Baru di suruh lembur aja kamu sudah berani mengatai saya dedemit. Gimana kalo saya suruh yang lagi?! ” “A—anu, Pak Saya nggak—” “Ssttt, diam dan jangan banyak alasan lagi,” bentak Sean memotong ucapan Oceana dengan tegas. Sedangkan Oceana yang mendengar bentakan Sean, nyalinya seketika menciut. Dia menundukan kepalanya tanpa berani melihat ataupun menatap ke arah Sean. ‘s****n, Sean kalo lagi murka, nyeremin banget sebelas duabelas sama thanos,’ batin Oceana. Sean menatap tajam Oceana, sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya dan berdiri di tengah-tengah kubikel karyawannya. “Dengar baik-baik semuanya, mulai hari ini. Kalo sampai saya mendengar ada yang mengatai ataupun menjelek-jelekkan saya ... Siap-siap aja gaji kalian akan saya potong!” ancam Sean tegas, matanya menatap satu persatu karyawannya dengan tatapan tajam seraya menunjuk ke arah Oceana. “Terutama kamu Oca!!” Oceana yang mendengar namanya disebut-sebut refleks mendongak menatap Sean. “Hah?” Beo Oceana seraya menunjuk dirinya sendiri. “Saya, Pak?” Sean tersenyum sinis seraya menyilangkan kedua tangannya. “Yaiyalah kamu, emangnya siapa lagi karyawan yang berani mengatai saya Dedemit selain kamu!!” ujar Sean dengan penuh penekanan seraya menatap Oceana dengan tatapan menusuknya. “Pak Saya minta ma—” “Untuk kalian, yang udah selesai mengerjakan pekerjaan kalian, bisa pulang sekarang juga,” ujar Sean menyela ucapan Oceana. “Kecuali kamu. Oceana Lalisa, cepat kamu selesaikan semua pekerjaanmu. Malam ini harus udah selesai semuanya.” Setelahnya mengatakan itu, Sean langsung bergegas pergi. Semua karyawan bersiap-siap pulang. Sementara Oceana hanya bisa terduduk lemas seraya menghela napas dalam-dalam merutuki mulutnya yang tidak bisa di rem. “Bener-bener Gak ada akhlak, Lo. Oca, udah tahu hari ini Pak Sean lagi Bad mood tapi lo malah cari masalah sama Pak Sean,” ujar Anya seraya merapihkan barang-barangnya, bersiap untuk pulang. “Lah, mana gue tahu, kalo ternyata dia ada di belakang gue ... Kalo tau, gue gak bakalan ngomong begitu kali,” dengus Oceana kesal seraya menghembuskan napas beratnya. Benar kata orang, yang namanya penyesalan selalu datangnya belakangan. “Udah ah, pokoknya gue gak mau ikutan takut kena semburan kemarahan Pak Sean ... Bye semoga beruntung yah. Beb.” ujar Anya seraya menepuk-nepuk bahu Oceana. “Hati-hati, Oca. jangan sampai kebablasan bisa berabe ntar.” sambung Bella. Mereka berdua tampak tertawa terbahak-bahak seraya bergegas meninggalkan Oceana. Sedangkan Oceana yang mendengar itu sontak menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. s**l, kedua temannya ini benar-benar minta dipites rupanya. ‘Yaampun, dosa apa gue punya temen sama bos laknat semua. Kayaknya cuma gue doang disini yang waras,’ keluh batin Oceana meratapi ketidak beruntungnya. ••• Beberapa saat kemudian, Oceana terlihat berdiri di depan ruangan Sean seraya memeluk erat dokumennya. Sesekali, Oceana terlihat menarik napasnya dalam-dalam. Rasanya dia tidak ingin memasuki kandang e—eh salah! Maksudnya ruangan Sean. Tapi dia sudah tidak punya pilihan lain lagi. Mau tak mau Oceana segera mengetuk pintu ruangan Sean. “Pak. Saya masuk yah.” Namun, anehnya dia tidak mendengar jawaban dari dalam ruangan Sean. Oceana menghembuskan napas panjang seraya memberanikan dirinya untuk membuka pintu ruangan Sean dan dengan perlahan-lahan dia menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan bernuansa putih itu. “Lho, kok kosong?” gumam Oceana penuh keheranan sesaat setelah melihat kursi kebesaran Sean yang tampak kosong. “Kemana orangnya? Ahh, masa bodo lah. Lebih baik gue segera taruh dokumen ini terus pulang deh.” Oceana tersenyum lebar seraya melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan Sean. Namun belum sempat Oceana menutup pintu ruangan Sean tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah tangan yang menepuk bagian belakang pundaknya. Oceana yang kaget refleks berteriak histeris. “Argh, Setan!!!” “Kurang ajar, mata kamu ke ganjel belek segede gaban yah?!” tanyanya dengan ketus. Yah benar, orang itu tidak lain dan tak bukan Sean. Ternyata dia sedari tadi ada di balik pintunya. “Jelas-jelas saya ganteng begini malah dikatain setan!!” Oceana memutarkan bola matanya dengan jengah. “Astaga, Bapak ngagetin aja. Untung saya gak punya riwayat jantung, coba kalo punya ....” gerutu Oceana seraya mengelus dadanya. ‘Iya, ganteng sih tapi kalo aneh, buat apaan?” lanjut batin Oceana. “Oceana Lalisa, Sepertinya akhir-akhir ini kamu semakin berani sama saya.” Sean berjalan mendekatinya seraya menatap Oceana dengan tatapan tajamnya. “Hari ini, kamu sudah mengatai saya dedemit lalu setan terus nanti apalagi?!” Oceana yang melihat itu refleks memundurkan langkahnya seraya menelan ludahnya dengan susah payah. ‘s**l, perasaan gue jadi gak enak begini?’ ujar batin Oceana dengan was-was. “A—anu, Pak. Maaf saya khilaf,” kelakar Oceana gugup seraya bergegas meletakkan dokumennya di atas meja Sean. “Berhubung saya, udah meyelesaikan kerjaan saya ... Saya permisi pulang duluan, yah. Pak.” Belum sempat Oceana membalikan tubuhnya. Namun dengan sangat tiba-tiba Sean menarik pergelangan tangan Oceana dan tanpa di duga-duga Sean langsung menyudutkan tubuh Oceana di dinding ruangannya. “Khilaf kamu bilang?” beo Sean sinis seraya mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Oceana. “Nggak, saya nggak akan membiarkan kamu pulang dengan mudah.” Sean menyeringai dan tanpa mengatakan apapun lagi, dia segera menciumnya, tidak! Lebih tepatnya dia mencium paksa bibir Oceana. Oceana mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia sangat syok, otaknya tiba-tiba saja ngeblank. Sean melepaskan ciumannya seraya menyeringai kecil. “Ciuman itu ... Anggap aja sebagai hukuman untuk kamu.” Mendengar itu, Oceana menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya dia menampar pipi Sean.Matanya tampak berkaca-kaca ciuman pertamanya yang selama ini dia pertahankan sudah direnggut paksa oleh Sean. “Oca beraninya kamu ....” “Pak saya tahu ... saya ini emang bawahannya Bapak tapi saya juga punya harga diri. Pak!!” potong Oceana seraya menghapus air mata sialannya. Setelahnya mengatakan itu, Oceana langsung berlari keluar dari ruangan Sean. Dan disinilah Oceana sekarang, duduk sendirian di halte, di menyandarkan kepalanya menatap jalanan. ‘Dasar berengsek, beraninya dia mengambil paksa ciuman gue.’ batin Oceana seraya mengepalkan tangannya penuh emosi. Tidak jauh dari tempat Oceana duduk, seorang lelaki berhoodie terlihat terus mengawasi Oceana seraya terus memotretnya. Sudut bibir lelaki itu terangkat membentuk seringaian kecil. “Lihat, betapa cantiknya kamu,” ujar lelaki itu seraya menatap foto hasil jepretannya. “Bagaimanapun caranya aku harus bisa mendapatkanmu,” gumamnya ambigu seraya menyeringai seram. To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD