09. Nggak ada akhlak

1220 Words
“Kamu mau membuat saya kena diabetes yah?!” “Hah?” Beo Oceana heran seraya membulatkan kedua matanya.“Maksud Bapak apa?” Oceana jelas kaget, belum juga lima menit dia memasuki ruangan Sean tapi Oceana malah di tuduh yang tidak-tidak. Menyebalkan sekali bukan? Sean memicingkan matanya seraya meletakkan kembali cangkir kopi lalu menyilangkan satu kakinya. “Kopi ini terlalu manis. Cepat buat lagi yang baru!” Oceana yang mendengar itu sontak terbelalak kaget. Dia menatap Sean dengan tatapan tak percayanya. “E—eh?masa sih, Pak? Jelas-jelas saya udah buat kopinya yang sama dengan yang biasa Bapak minum.” “Jadi kamu nuduh saya bohong gitu?” tanya Sean seraya menggertak giginya. “Beraninya kamu nuduh saya!” “T—tidak, Pak saya gak nuduh, tapi—” “Udahlah, gak usah tapi-tapian lagi.” Sean menyela ucapan Oceana seraya menatapnya dengan tajam. “Kamu itu setiap kali saya beri perintah selalu ngebantah. Giliran masalah naik gaji kamu berdiri paling depan!!!” Oceana yang mendengar itu sontak mendengus kesal. ‘Gimana gue gak ngebantah, dia nya aja kalo kasih perintah suka seenaknya.’ sambung Oceana yang tentu saja hal itu hanya bisa diutarakannya dalam hati. “Cukup Pak ... Gak udah diterusin lagi ... Baik, Saya akan membuatkan kopi yang baru. Bapak puas?!” Demi melindungi gendang telinganya dari omelan maha dahsyatnya Sean. Dengan sangat terpaksa Oceana mengalah. Catat, mengalah bukan kalah! Sean tersenyum penuh kemenangan seraya menyilangkan kedua tangannya. “Baguslah. Lagian itu kan emang udah kewajiban kamu sebagai babu saya,” ujar Sean dengan gaya angkuhnya. “Yaudah tunggu apalagi? Sana bawa keluar kopi itu dan buatkan kopi yang baru. Satu lagi, saya mau kamu menyeduh kopinya pake air rebusan jangan pake air yang ada di dalam dispenser.” “Iya-iya, ini saya mau keluar ... Iya baik Pak,” ketus Oceana. ‘Duh, punya boss satu rempong banget!’ lanjut batin Oceana seraya bergegas keluar dari kandang e—eh maksudnya ruangan Sean. Dia segera berjalan menuju pantry dan tak lupa membawa kembali gelas kopi Sean. Sesampainya di panty, Oceana meletakan gelasnya seraya menghentak-hentakan kakinya penuh kekesalan untuk menyalurkan rasa dongkolnya. “Dasar, boss nyebelin banyak maunya,” dumel Oceana seraya menyalakan kompor untuk merebus airnya. “Oca. Kenapa lo ngomel-ngomel sendiri?” tanya salah satu resepsionis senior. Bernama Manda. Dia terlihat berjalan mengambil air yang ada di dalam dispenser seraya melirik kearah Oceana.“Lho, kok Lo ngerebus air buat apaan?” Oceana menolehkan kepalanya menatap Manda. “Nggak kenapa-napa, cuma lagi kesel aja. Mbak,” jawab Oceana seadanya seraya mengupas bungkusan kopi instan. “Oh ini, buat menyeduh kopi pesanannya Pak Sean.” Manda mengangguk mengerti seraya berdiri disamping Oceana. “Pak Sean itu ganteng banget yah, Oca,” ujar Manda dengan sangat tiba-tiba matanya tampak berbinar-binar “Beruntung banget perempuan yang bisa menjadi pacarnya Pak Sean. Ahh, Seandainya gue belum nikah, udah aku kerjar dia.” Oceana yang mendengar itu sontak menyerngitkan dahinya. Untuk beberapa saat Oceana hanya terdiam. Iya sih, Sean memang tampan tapi Manda tidak tahu saja, di balik wajah tampannya. Sean menyimpan keanehan yang sangat sulit dijelaskan oleh logika saking anehnya dia. “Benar kan, Oca?” Oceana tersentak kaget. “E—eh, iya,” jawab Oceana. Dia tampak gelagapan. Manda menatap Oceana penuh selidik. “Lo ngalamin apaan sampe-sampe air rebusan lo udah mateng aja gak tau.” “Eh, nggak. Gue gak ngalamin apa-apa kok.” elak Oceana seraya mematikan kompor dan segera mengangkat air rebusannya. “Tapi serius deh, Oca. lo itu termasuk beruntung loh, bisa leluasa keluar masuk keruangan Pak Sean tanpa diusir keluar olehnya,” lanjut Manda seraya menatap lurus ke depan. “Padahal selama ini, Pak Sean terkenal paling anti ruangannya di masukin perempuan.” ‘Beruntung katanya? Beruntung dari di bagian mananya? Yang ada gue ketiban apes mulu,’ batin Oceana menangis meronta-ronta. “Ah, masa sih? Mungkin itu hanya perasaan Mbak aja,” ujar Oceana tidak ingin menanggapi serius ucapan Manda. “Maaf nih, Mbak gue duluan, yah.” Tanpa menunggu jawaban Manda, Oceana segera berjalan menuju ruangan Sean. Dan disinilah Oceana sekarang, berdiri di depan ruangan Sean seraya menghela napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya dia mengetuk pintunya. “Masuk,” jawab Sean dari ruangannya. Oceana yang mendengar itu segera membuka pintu ruangan Sean dan berjalan mendekati mejanya. “Permisi Pak ini kopi yang Bapak minta.” Oceana meletakkan secangkir kopi diatas meja Sean. “Kalo begitu saya permisi dulu, Pak.” “Hmm, yaudah kalo mau pergi ya pergi aja. Emangnya siapa yang menahan kamu?!” jawab Sean dengan ketus. Tidak hanya itu, Sean bahkan tidak menatapnya. Jangankan menatap menoleh pun tidak. ‘Dih, ngeselin banget. Rasanya gue pengen tendang dia ke kolam piranha,’ batin Oceana mencak-mencak kesal. Oceana yang mendengar itu sontak mendengus kesal dan dengan penuh kekesalan Oceana segera keluar dari ruangan Sean. Sebelum kembali ke ruangannya, Oceana menyempatkan diri menoleh sinis ke arah ruangan Sean. ••• Tak terasa jam istirahat sudah tiba. Namun, Oceana masih terlihat sangat serius menatap monitor komputernya. Saat ini, dia sibuk mengerjakan revisian dokumen yang diperintahkan Sean. Sesekali, bibir mungilnya terlihat menghela napas frustasi. Perutnya sejak tadi sudah keroncongan. Dia sangat lapar tapi pekerjaannya belum selesai. “Oca, lo nggak pergi istirahat?” tanya Anya seraya meletakan tangannya di sandaran kursi Oceana. “Gue sama Bella mau pergi ke kantin, lo mau ikut gak?” Oceana menghela napas. “Kerjaan gue belum selesai. Gue nitip aja deh,” ujar Oceana seraya mengambil selembar uang di dalam dompetnya. “Oh, yaudah mau nitip apaan?” tanya Anya seraya mengambil uangnya. “Terserah, apa aja yang penting bisa dimakan.” “Tokek goreng, mau?” “s****n, Ya gak tokek goreng juga kali. Yaudah deh, gado-gado aja.” “Hahah, sorry, lagian gue kan nanya serius tapi lo malah jawab terserah,” jawab Anya seraya tertawa. “Yaudah, gue pergi dulu.” Anya bergegas pergi. Sedangkan Oceana hanya mengangguk kecil dan kembali fokus menatap layar monitornya. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Oceana yang mendengar itu bergegas memeriksa ponselnya dan dia melihat nama Dante yang tertera di layar ponselnya. “Halo, ada apaan ... tumben lo nelpon gue?” tanya Oceana satu tangannya terlihat memegang ponsel dan satu tangannya tetap mengetik. [Nanti habis pulang kerja. Gue mau ngajak lo makan malam. Udah lama juga kita gak makan bareng,] ujar Dante dari seberang telepon. “Makan malam yah?” ulang Oceana. Bukannya dia tidak mau tapi .... [Tenang biar gue yang traktir] lanjut Dante. Mendengar kata 'traktir' membuat senyuman Oceana merekah dengan sangat lebar. Yah lumayan kan dia bisa makan malam gratis. Tapi baru saja Oceana ingin menjawab namun suara ketukan di atas mejanya langsung menghentikan. “Oca, hari ini kamu lembur.” “H—hah? tapi—” Lagi-lagi belum sempat Oceana melanjutkan protesnya. Namun, Sean lebih dulu nyelonong pergi begitu saja. Oceana menatap Sean seraya menggeleng tak percaya. [Halo Oca. Jadi gimana bisa gak?] tanya Dante menyadarkan Oceana dari lamunannya. “Maaf Dante, hari ini gue lembur. Lain kali aja yah,” jawab Oceana seraya menutup sambungan teleponnya. Oceana mengacak-acak rambutnya penuh kekesalan. Sebenarnya Sean itu maunya apa sih? Tiba-tiba menyuruhnya lembur. Bener-bener ga ada akhlak, kalau begini caranya Oceana mau jadi tukang rap keringatnya Sehun saja lah. Ditempat yang lain, Lelaki misterius terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. di depannya sudah ada banyak berkas-berkas yang berserakan. Sedangkan bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum lebar. “Sebentar lagi sayang, kita akan bertemu setiap hari. aku tidak sabar menunggu hari itu, dimana aku bisa melihatmu dengan sepuasnya,” ujarnya dengan ambigu seraya menghembuskan asap rokoknya, dia menyeringai dengan sangat misterius. To Be Continued Hai gimana menurut kalian? Ngebosenin gak sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD