08. Marah?

1472 Words
Jarum jam sudah menunjukan pukul 6.30 pagi. Namun, Oceana terlihat masih tertidur pulas. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seseorang terlihat berjalan mendekati tempat tidur Oceana. “Oca, bangun!” Namun bukannya bangun Oceana malah semakin mengeratkan selimutnya. “Ckckck, dasar kebo. kebiasaan buruknya gak pernah berubah,” keluh orang itu seraya membuka gorden jendelanya. “Woi, ini udah pagi, ayo bangun!” “15 menit lagi. Gue masih ngantuk!” gumam Oceana dengan malas. Namun tiba-tiba saja kedua mata Oceana terbuka dengan selebar mungkin. ‘E—eh tunggu dulu! Siapa yang bangunin gue?!’ batin Oceana was-was pasalnya dia kan tinggal sendiri lalu siapa yang membangunkannya. Tidak mungkin hantu kan? Dengan perlahan-lahan dia menolehkan kepalanya menatap ke arah sumber suara. Mata Oceana seketika terbelalak kaget. “Lho, Dante. lo ngapain pagi-pagi di kamar gue? Jangan-jangan ....” Yah, benar orang yang membangunkan Oceana tak lain dan tak bukan Dante. Sahabatnya. Dante menjitak kepala Oceana. “Yaelah, pake nanya segala. Tentu aja gue mau bangunin lo,” ujar Dante seraya melipat kedua tangannya di d**a. Oceana meringis kesakitan seraya mengusap kepalanya yang baru saja di jitak Dante. “Semalam lo kan mabuk berat dan gue yang bawa lo pulang. Setidaknya lo ucapin terima kasih dulu kek sama gue,” Sambung Dante. Oceana yang mendengar itu sontak terperanjat kaget. “Lo yang bawa gue pulang? Terus gimana sama boss gue?” “Ya mana gue tau,” jawab Dante seraya melangkahkan kakinya keluar dari kamar Oceana. “Buruan mandi. Gue udah masakin sup buat ngilangin mabuk lo.” Tanpa menunggu jawaban Oceana Dante langsung bergegas keluar. Sedangkan Oceana segera mengecek ponselnya. Dia merasa semakin panik saat melihat ada banyak notifikasi panggilan yang tak terjawab dari nomor Sean. “Argh, s**l. mati gue. Sean pasti bakalan ngamuk nih sama gue.” ujar Oceana seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Beberapa menit kemudian. Oceana yang sudah rapi bergegas keluar dari kamarnya dan segera mendudukan tubuhnya di kursi makan. “Kepala gue pusing banget,” keluh Oceana seraya merebahkan kepalanya diatas meja sesekali dia terlihat menghela napasnya dengan sangat berat. Dante melirik sekilas ke arah Oceana seraya membenarkan lengan kemejanya dan duduk disamping Oceana. “Makannya jangan sosoan minum alkohol.” Oceana cemberut kesal seraya menatap Dante. “Mana gue tau itu alkohol. Kalo tau gak akan gue minum. Malih!” “Nah itu, Lain kali kalo mau minum lo periksa dulu minumannya. Jangan ceroboh main asal minum aja,” omel Dante menasehati Oceana. “Untungnya semalam ada gue, coba kalo nggak ada. Entah apa yang akan terjadi sama lo?!” “Iya-iya bawel ihh. Kepala gue lagi pusing nih, lo malah ngomelin gue bikin kepala gue makin nyut-nyutan,” ujar Oceana kesal seraya beranjak pergi. “Udahlah mending gue berangkat kerja aja lah. Daripada diomelin terus.” “Oca, gue ngomel begini karena gue peduli sama lo,” ucapan Dante berhasil menghentikan langkah Oceana. “Sorry kalo sikap gue ini udah bikin lo gak nyaman.” Oceana menghela napas seraya kembali mendudukan dirinya.“D—dante maaf, gue gak bermaksud kayak gitu.” cicit Oceana, dia merasa sangat bersalah. Dante benar. Selama ini Dante lah yang melindungi Oceana dan selalu ada di dekatnya dalam keadaan senang maupun susah. Tidak seharusnya dia memperlakukannya seperti itu. Dante tersenyum tipis. “Gapapa, santai aja. Gue ngerti kok.” jawab Dante seraya mengambil semangkuk sop dan meletakkannya di depan Oceana.“Nih, buruan makan keburu dingin sopnya,” ujar Dante seraya mengacak-acak rambut Oceana. “Tapi lo gak marah kan?” “Nggak kok. Buruan makan, nanti kalo dingin rasanya gak enak.” Oceana yang mendengar itu sontak tersenyum manis dan tanpa menyia-nyiakan waktu lagi. Dia segera makan masakan Dante dengan sangat lahap. “Rasanya enak. Thanks, Lo emang sahabat gue yang paling terbaik.” Mendengar itu, Ekspresi Dante sedikit berubah. Namun Oceana tidak menyadarinya. ••• “Hari ini biar gue yang anterin lo ke kantor.” “Ga usah, lagian kantor lo kan gak searah sama kantor gue,” ujar Oceana seraya mengunci pintu apartemennya. Bukannya menjawab. Dante malah mencondongkan tubuhnya ke arahnya. Oceana yang kaget refleks memundurkan kepalanya. Dante terkekeh-kekeh kecil seraya mengulurkan tangan menyentuh sudut bibir Oceana. “liat bibir lo ada nasinya,” ujar Dante menunjukkan sebutir nasi yang menempel di bibir Oceana. Bertepatan saat itu, Sean baru saja membuka pintu apartemennya. “Ehem, minggir kalian menghalangi jalan saya,” ketus Sean seraya memasang ekspresi dinginnya. Oceana yang mendengar itu refleks menjauhkan tubuhnya dari Dante seraya menolehkan kepalanya menatap Sean yang terlihat melipat kedua tangannya didepan d**a. Dan entah kenapa Oceana merasa atmosfer di sekitarnya terasa dingin. “E—eh, ada Bapak. Selamat pagi. Pak,” sapa Oceana dengan seceria mungkin. Dia mencoba mencairkan suasana di sekitarnya. Sean berdecak kesal seraya melipat tangannya. “Gak usah basa-basi. Pekerjaan kamu di kantor masih banyak tapi kenapa kamu belum berangkat juga?!” ujar Sean dengan ketus seraya mendelikkan matanya. “Bukannya kerja yang benar malah sibuk pacaran ... Pantesan pekerjaan kamu akhir-akhir ini berantakan.” “Anu Pak—” “Gak usah di jawab saya udah tau jawabannya!” Oceana memutar bola matanya dengan malas. Sedangkan, Dante yang sejak tadi terdiam memperhatikan perdebatan antara Oceana dan Sean akhirnya ikut berbicara. “Jadi lo bos yang sering Oceana bicarakan itu?” Mata Sean menyipit dengan sangat tajam. “Siapa?” Dante tersenyum seraya mengulurkan tangannya di depan Sean.“Perkenalkan, gue Dante. Sahabatnya Oceana.” Sean yang mendengar itu refleks menyeringai sinis. Tidak hanya itu, Dia bahkan mengabaikan uluran tangan Dante. “Siapa yang nanya?!” ujar Sean dengan sangat ketus dan langsung nyelonong pergi begitu saja. ‘Aneh, dia kenapa sih? Marah-marah gak jelas.’ batin Oceana terheran-heran seraya menatap punggung Sean dengan tatapan anehnya. Dante menatap uluran tangannya yang masih menggantung di udara. Sebelum akhirnya dia kembali menurunkan uluran tangannya. “Oca, kayaknya gue udah salah ngomong deh. Bos lo kelihatannya marah banget.” Oceana menghela napas seraya mencoba untuk tersenyum. “Gak usah di pikirin, Dia emang begitu.” Oceana melirik jam tangannya. “Gue berangkat kerja dulu.” “Biar gue antar.” Oceana tidak menjawab dia hanya menganggukkan kepalanya dan tanpa membuang waktu lagi. Dante dan Oceana segera berjalan beriringan menuju parkiran. Dan selama di perjalanan menuju kantor, Oceana hanya terdiam seraya menyandarkan kepalanya di jendela mobil Dante. Sesekali, dia terlihat menghela napasnya. “Oca, Bos lo orang yang seperti apa?” tanya Dante dengan tiba-tiba. Oceana yang mendengar pertanyaan itu sontak Mengangkat kepalanya seraya menatap Dante. “Dia itu, manusia paling nyebelin, aneh dan suka seenaknya. Yah walau gue benci mengakuinya tapi dia sangat hebat dalam urusan bisnis.” jelas Oceana den panjang lebar. “Tapi kenapa lo tiba-tiba kepo sama bos gue?” “Gapapa, gue cuma mau tau aja,” jawab Dante. Dan tak lama kemudian. Mobil BMW i8 milik Dante berhenti tepat di depan kantornya. “Dante, Thanks yah, untuk semuanya yang udah lo lakuin buat gue ... Lo emang sahabat yang paling bisa diandalkan.” “Hmm bawel. Udah sana buruan keluar.” “Iya, yaudah gue duluan. Bye bye.” Oceana membuka pintu mobil Dante dan segera bergegas masuk ke dalam kantornya. “Good morning, everybody. Cecan baru datang nih,” sapa Oceana ceria seraya berjalan menuju kubikelnya. Hening tidak ada jawaban dari teman-temannya. Mereka semua tampak sangat serius menatap layar komputer masing-masing. “E—eh Nya, ada apa nih? Tumben pagi-pagi kalian udah pada serius, biasanya kalian tiap pagi ngerumpi dulu,” ujar Oceana pada Anya yang kebetulan mejanya ada disamping kubikelnya. Anya menggerakkan kursinya seraya menoleh ke kiri dan kenan lalu berbisik dengan suara yang sangat pelan. “Pagi ini semua karyawan kena semprot sama Pak Sean. Kayaknya mood dia lagi buruk. Lo hati-hati aja jangan bikin Pak Sean makin marah.” “Oke gue ngerti ... Thanks yah,” ujar Oceana seraya menyalakan komputernya. “Iya, tapi gue penasaran kira-kira Pak Sean bad mood kenapa ya?” “Hmm, entahlah,” jawab Oceana. Dia mulai fokus mengerjakan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba Oceana dikagetkan dengan kehadiran Sean yang tau-tau sudah berdiri di depan kubikelnya. Oceana yang melihat itu langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” Tanpa aba-aba Sean melemparkan setumpuk dokumen tepat di depan meja Oceana. “Revisi ulang semua ini.” “Saya Pak?” “Orang gila, Yaiyalah kamu masa saya!” Oceana meremas roknya guna menyalurkan kekesalannya. “Baik Pak, akan saya kerjakan.” “Itu kan memang tugas kamu. Saya kasih kamu waktu sampe jam makan siang. Kalo belum selesai kamu akan tau sendiri akibatnya.” Setelah mengatakan itu, Sean langsung bergegas pergi. Namun, tiba-tiba Sean menghentikan langkahnya.“Satu lagi, sebelum kamu mengerjakan dokumen itu, buatkan saya kopi dulu. Saya tunggu kamu di ruangan saya.” Tanpa menunggu jawabannya, Sean kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Oceana yang tampak kesal bukan main. ‘s****n, Sean kalo lagi marah tingkat nyebelinnya naik berkali-kali lipat. Arggh s**l benget gue,’ batin Oceana meratapi kesialannya. Di waktu yang bersamaan. Namun, di tempat yang berbeda. Seorang lelaki misterius terlihat terduduk di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh foto-foto Oceana. Tidak ada sepatah katapun yang terucap di bibir lelaki itu. Dia hanya tersenyum dengan sangat misterius seraya menghisap puntung rokoknya. To Be Continued Sejujurnya aku takut, takut kalian bosan dengan cerita aku yang begini-begini aja ??? Sebutkan Satu kata untuk cerita ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD