12. Rencana

1168 Words
“Mbak Oca. Ada kiriman paket buat Mbak.” Oceana yang sedang serius mengetik laporan refleks mendongakkan kepalanya menatap, Ujang. Salah satu Office boy di kantornya. “Paket?” Beo Oceana seraya menatap paket berukuran sedang itu dengan tatapan bertanya-tanya, seingatnya dia tidak memesan apapun. “Dari siapa, Mang?” “Nggak tau saya Mbak ... tadi orangnya cuma bilang paketnya atas nama Mbak Oca,” jelas Ujang dengan panjang lebar seraya meletakkan paketnya di atas meja Oceana. “Kalo gitu, saya balik kerja dulu, permisi Mbak.” Penjelasan Ujang semakin membuat Oceana merasa heran. Siapa yang mengirimkan paket. Apa jangan-jangan Dante? “Oh, yaudah. Makasih ya, Mang.” Ujang menganggukkan kepalanya dan segera bergegas pergi. Oceana tampak terdiam memperhatikan paket itu. Tangannya terulur untuk menyentuh paketnya. Namun, belum sempat tangannya menyentuh paket itu tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya. “Wih, kayaknya ada yang baru aja belanja online nih,” ujar Bella yang tau-tau sudah berada disisi kubikelnya. Begitupun dengan Anya, kedua teman super keponya berkerumun di depan kubikel Oceana. “Beli apaan lo? Tas, sepatu atau baju?” sambung Anya dengan penuh kekepoan seraya mengambil paket yang ada diatas meja Oceana. Lalu menempelkan telinganya di dekat paket. Oceana yang mendengar itu sontak memutarkan bola matanya jengah. Kedua temannya ini tingkat kekepoannya sudah melebihi paparazzi. Ngeselin, untung Oceana orangnya soft. “Apaan sih ... bukan gue yang belanja online!” jawab Oceana seraya merebut kembali paketnya dari tangan Anya. “Ini paket dikirim atas nama gue, tapi anehnya gue nggak pernah merasa beli sesuatu.” Terlebih lagi, ini masih tanggal tua, boro-boro untuk belanja online untuk beli makan saja Oceana harus ngirit-ngirit. Maklum namanya juga rakyat misqueen. Muehehe. “Maksud lo ada seseorang yang ngirimin paket ini buat lo?” tanya Anya menunjuk paket itu seraya menyipitkan matanya. Oceana menganggukkan kepalanya. “Wah, hati-hati, Loh Oca, siapa tau isi paketnya Bom!” Oceana yang mendengar itu sontak membelalakan matanya. “s****n, jangan nakutin gue!!” “Tapi bener juga kata si Anya. Apa salahnya hati-hati, lagian jaman sekarang banyak orang jahat,” ujar Bella mengiyakan ucapan Anya. Semakin banyak membuat jiwa penakut Oceana meronta-ronta. “Terus gue harus gimana dong?” tanya Oceana ekspresi wajahnya tampak sangat memelas seraya menopang dagu, sesekali mulut mungilnya terlihat menghela napas frustasi. “Apa gue buang aja kali, yah?” “Apa yang mau kamu buang?” tanya Sean yang entah sejak kapan berada di belakang mereka. Oceana yang mendengar suara Sean refleks menyembunyikan paket itu di bawah mejanya lalu kemudian segera membalikan tubuhnya menghadap Sean. Sedangkan kedua temannya sudah lebih dulu melarikan diri kembali ke kubikel masing-masing. “B—bukan apa-apa kok Pak,” jawab Oceana sedikit terbata-bata seraya tersenyum selebar mungkin. Pasalnya dia terlalu malas untuk menjelaskannya. Sean yang mendengar itu sontak menyipitkan matanya menatap Oceana dengan tatapan curiganya. “Cih, Dari pada kamu ngerumpi nggak jelas, lebih baik kamu kerjakan dokumen ini!” ujar Sean dengan ketus seraya meletakkan beberapa tumpuk dokumen diatas meja Oceana. Mata Oceana terbelalak kaget, hah yang benar saja! “Kok saya Pak?” Beo Oceana tidak terima. “Pekerjaan saya aja belum saya selesaikan, masa udah ditambah lagi, sih?!” “Yaiyalah kamu!! masa saya juga yang harus mengerjakannya ... Terus gunanya kamu kerja disini buat apa?!” ujar Sean dengan ketus dan tanpa perasaan seraya memasang ekspresi arogan andalannya. “Makanya jangan kebanyakan ngerumpi, buruan kerjain!” Oceana menggigit bibirnya kesal. Seandainya Sean ini bukan Bosnya, ingin rasanya Oceana menampol mulut pedasnya itu dengan heels. ‘Heran, ini laki satu mulutnya pedes banget, jari netizen aja kalah pedas dari mulut Sean!’ “Malah bengong, buruan kamu kerjain!!” “Iya ini baru mau saya kerjain, Pak!” ketus Oceana seraya mendudukan dirinya. Namun belum juga pantatnya menyentuh permukaan kursi, Suara Dedemit e—eh salah maksudnya suara Sean kembali terdengar. “Tunggu!” “Apa lagi, sih, Pak?!” “Sebelum mengerjakan dokumen itu, kamu buatkan saya kopi dulu,” ujar Sean dengan raut minta di kecup e—eh maksudnya minta ditampol. “Ingat airnya harus air hasil rebusan dan pastikan gulanya setengah aja.” Setelah mengatakan itu, Sean langsung melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam ruangannya. Wajah Oceana tampak memerah menahan kekesalannya. ‘s****n, Nyatet Bos dosa nggak sih? Serius gue nggak tahan lagi. Sean benar-benar ngeselin!’ batin Oceana berapi-api seraya bergegas menuju pantry. Sesampainya di pantry, Oceana segera membuatkan kopi untuk Sean. Tentu saja dia melakukannya dengan ogah-ogahan seraya terus memasang wajah cemberutnya. Namun, dalam hitungan menit ekspresi Oceana tiba-tiba berubah. Dia tampak tersenyum licik. Otak mungilnya berhasil mendapatkan sebuah rencana untuk membalaskan kekesalannya. 'Oca, lo emang pinter banget,' ujar batin Oceana memuji dirinya sendiri. Tangannya terulur mengambil toples bukan toples gula yang diambil namun toples garam lah yang sengaja Oceana ambil. “Gue kerjain lo,” gumam Oceana seorang diri seraya memasukan beberapa sendok garam ke dalam gelas kopi Sean. “Haha, asin ... Asin deh nih kopi. Biar dia tau rasa!!” Setelah dirasa sudah cukup, Oceana bergegas melangkahkan kakinya menuju kandang dedemit dan tak lupa membawa segelas kopi rasa garamnya. Dan di sinilah, Oceana sekarang berdiri di depan pintu ruangan Sean. Dia berdehem pelan sebelum akhirnya mengetuk pintu ruangan Sean. “Masuk,” jawab Sean dari dalam ruangannya. Oceana yang mendengar itu segera membuka pintu ruangan Sean dan bergegas berjalan mendekatinya. “Permisi Pak, ini kopi yang Bapak minta,” ujar Oceana seraya meletakkan kopinya diatas meja Sean. “Hmmm,” gumam Sean tanpa menoleh ke arahnya. Dia tampak serius memeriksa berkasnya. “Kalo begitu saya permisi yah, Pak,” ujar Oceana dengan selembut mungkin seraya membalikan tubuhnya berniat keluar dari ruangan Sean. Diam-diam Oceana tersenyum licik. Sean tidak menjawab, dia mengambil gelas kopinya dan segera meminumnya. Ekspresi Sean tampak aneh. Dalam hitungan detik, Sean kembali menyemburkan kopinya. Oceana menutup pintu ruangan Sean dan bertepatan dengan saat itu. Dia mendengar teriakan membahana dari dalam ruangan Sean. “Oceana Lalisa, kenapa kopi saya rasanya asin banget!!” teriak Sean penuh kekesalan. “Kamu apain kopi saya!” Mendengar teriakan itu, bukannya merasa takut Oceana malah terlihat tertawa terbahak-bahak. Yah jelas saja rasanya asin orang kopinya dia kasih garam. Dia tak bisa menutupi rasa senangnya. Rencana pembalasannya berjalan dengan sangat mulus. “Rasain tuh pembalasan bini halunya sehun yang teraniaya, emang enak, muehehe.” Tanpa Oceana sadari, seseorang terus mengawasinya, sesekali orang itu terlihat mengambil gambarnya. “Cantik,” gumamnya seraya menyeringai kecil. •••• Di waktu yang bersamaan namun di tempat yang berbeda. Dante terlihat menatap kaca ruangannya seraya menghisap sebatang rokok satu tangannya dimasukkan ke dalam sakunya.  (Anggap aja kaya gini yah hehe) Pintu ruangannya di ketuk dan tak lama kemudian, beberapa anak buahnya terlihat memasuki ruangannya. “Bos, apa yang anda butuhkan?” tanya salah satu anak buah Dante yang memiliki perawakan kekar itu seraya menunduk hormat. “Cari semua informasi lengkap tentang orang itu,” ujar Dante seraya melemparkan selembar foto ke seah anak buahnya. “Siang ini semua informasinya harus sudah ada diatas meja saya.” “Baik Bos.” Anak buahnya menunduk hormat dan segera bergegas keluar dari ruangan Dante seraya membawa selembar foto itu. Sesaat setelah Anak buahnya keluar, Dante terlihat menghembuskan asap rokoknya seraya menutup mata. “Ini akan lebih sulit dari yang gue pikirkan.” gumamnya terdengar ambigu. To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD