Keheningan masih menggantung di kamar itu. Kening Banyu menempel pada kening Bening, napas keduanya berat, membaur satu sama lain. Kata maaf yang baru saja keluar dari bibir Banyu menggantung di udara, tipis namun sarat makna. Bening membuka matanya perlahan. Sorotnya bergetar, bercampur amarah, letih, dan sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Bibirnya masih hangat oleh ciuman tadi, ciuman yang meninggalkan jejak dalam, lebih dalam dari sekadar sentuhan fisik. Ia ingin menolak, ingin menjauh, tapi tubuhnya terasa lemah. Seolah setiap emosi yang ia ledakkan sebelumnya kini tersedot habis, menyisakan ruang kosong yang dipenuhi kehadiran Banyu. Banyu mengusap pipi Bening dengan ibu jarinya. Gerakannya lembut, berbeda dari tatapan matanya yang tetap keras dan penuh gengsi. “Ning…” suaranya p

