BMB Bab 4

1200 Words
“Selalu cantik.” Sebuah pujian diucapkan Anggara Wijaya saat mendapat kesempatan berdekatan dengan Sinta. Semua tengah berkumpul di ruang keluarga dan membicaran berbagai hal sekarang. Wajah Sinta menghangat mendapatkan pujian dari seorang pria seperti Angga. “Dimana kiranya aku bisa menatap langit secara langsung dan menikmati semilir angin malam?” tanya Angga lagi. Sinta tersenyum kepada pria yang berdiri di depannya itu, dia paham apa yang Angga maksudkan. “Ke taman samping,” jawab Sinta kemudian sambil menunjuk ke arah samping kanan dengan telunjuknya. “Oh … boleh, bisa menemaniku?” tanya Angga Wijaya sambil menaikkan sepasang alisnya. “Tentu saja, silahkan.” Kembali senyum yang begitu manis terulas dari bibir Sinta. Membuat Angga Wijaya sejenak terpana tenggelam dalam pesona dari seorang Sinta. Keduanya kemudian berjalan bersisian menuju ke taman yang terletak di samping rumah, sebuah taman yang berisikan banyak tanaman bunga kesukaan dari Ayu, ibu Sinta. Sinta menunjuk sebuah meja yang berada di dekat sebuah kolam ikan, Angga mengangguk sambil mengamati sekeliling taman yang cukup terang dengan beberapa lampu hias yang tersebar di beberapa titik dalam taman. Malam ini hari cukup cerah sehingga langit yang terbentang nampak jelas terlihat, bahkan kerlip bintang juga dapat dinikmati meski tidak terlalu jelas. Bulan yang bulatnya tidak sempurna juga tanpa malu-malu menunjukkan kilaunya. Angga mengeser ke belakang kursi dan mempersilahkan Sinta untuk duduk. “Terima kasih,” ucap Sinta dengan hati sedikit berdebar, selama kedua keluarga saling mengenal baru kali ini keduanya dapat duduk begitu dekat. Perasaan Sinta sama dengan para perempuan pada umumnya saat menanggapi tentang sosok Angga Wijaya. Siapa yang tidak akan menoleh saat melihat sosok yang memiliki paras cukup tampan dengan rahang tegas itu. Alis mata yang tebal dengan hidung yang cukup mancung, kulit yang sedikit coklat membuat Angga terlihat semakin berkharisma. Sedangkan di sisi lainnya masih di taman yang sama, sepasang mata melihat ke arah keduanya dengan tatapan tidak suka. Ada hati yang tengah terbakar oleh api cemburu saat melihat Angga dan Sinta bercengkrama. Tawa yang terdengar dari keduanya seperti sebuah sembilu yang menyayat d**a. Dia terluka oleh sesuatu yang dilihatnya. “Di sini kamu rupanya.” Suara Devina meski tidak terlalu keras, tapi, cukup membuat kaget pemilik sepasang mata elang yang sedari tadi melihat ke arah Sinta dan Angga. “Nyo … nyonya.” Rama sedikit tergagap. Melihat gelagat Rama, Devina langsung melihat ke arah tengah taman, rasa kesal dan tidak suka muncul saat melihat Angga Wijaya sedang bersama putri tirinya, Sinta. ‘Harusnya Meisya yang menemani Angga, bukan anak itu’ Devina membathin. “Oh ….” Sebuah ide terlintas di pikiran Devina. “Minta minuman ke Dwi atau Titin, kamu hantarkan kepada mereka,” tunjuk Devina ke arah Sinta dan Angga. “Tapi, Nyonya.” Rama merasa tidak ingin melakukan hal ini, dia sudah mengatakan akan berusaha untuk tidak menampakkan diri mala mini di hadapan Sinta. “Jangan membantah,” ucap Devina tegas. “Lakukan perintahku!” Rama segera beranjak meninggalkan Devina yang tersenyum miring melihat ke arah Sinta dan Angga yang tengah terlihat terlibat dalam sebuah pembicaraan. Ini kesempatan Devina untuk dapat mempermalukan Sinta melalui suaminya sendiri, Rama. Sebuah rencana licik dengan cepat tersusun di kepala Devina, nanti saat Rama mengantarkan minuman untu Sinta dia akan memneritahu Anggak tentang Sinta dan Rama. “Cerdas, rencana yang bagus,” gumam Devina lagi memuji dirinya sendiri. Sementara Rama sudah sampai di dapur dan langsung mengutarakan maksudnya kepada Titin salah satu asisten rumah tangga di rumah besar itu. 2 gelas berisi minuman Titin susun di atas nampan dan memberikannta kemudian kepada Rama yang telah menunggu. Sebenarmya bukan hanya karena diperintahkan Devina semata, Rama mau mengantarkan minuman untuk Angga dan juga Sinta. Hati kecilnya tidak ingin Sinta dekat dengan pria lain, selain Sinta adalah istrinya Rama juga sangat menncintai wanita tersebut. “Nyonya.” Rama menghampiri Devina yang masih berdiri mengawasi Sinta dan Angga. “Hmm … bagus, kamu antarkan kepada mereka dan jangan pergi sampai aku datang. Ingat! Jangan pergi sebelum aku datang, paham?!” Devina mengibaskan tangannya meminta Rama cepat pergi dari hadapannya untuk memberikan minuman kepada dua orang yang sedari tadi diawasinya. ‘Bagus, sekarang rencana berikutnya. Memanggil semua orang untuk hadir kesini, akan terjadi sebuah kegaduhan dan aku suka dengan semua ini’ Devina membatin dan tertawa dalam hati, segera wanita dengan baju merah menyala itu beranjak masuk untuk melanjutkan rencananya. Dengan langkah ragu Rama berjalan pelan menghampiri Sinta dan Angga yang mulai semakin dekat. Rama tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi, setelah sekian lama menikah dengan Sinta dia baru hari ini mendengar Sinta tertawa. Dia suka istrinya itu bisa tertawa, tapi, bukan tawa yang di dapatkan dari lelaki lain. Meski Rama bisa mendengar Sinta tertawa, tapi, suara tawa itu justru membuat hatinya panas. “Nona, minumannya.” Sinta tersentak kaget saat mendengar suara berat milik Rama, Reflek perempuan cantik itu langsung menoleh dan mendongak. Dadanya langsung berdebar dengan kencang karena kehadiran Rama. “Kamu,” ucap Sinta kemudian, perempuan itu merasa tidak senang dengan kehadiran Rama. “Letakkan di meja dan cepat pergi,” lanjut Sinta sambil membuang pandangan ke arah lain. “Baik, Nona.” Ada yang bergemuruh dalam d**a Rama saat melihat istrinya begitu dekat duduknya dengan Angg, bahkan kedua kaki mereka yang berhadapan terlihat saling bersentuhan di bagian lutut. “Aku mengurangi gula, apa boleh aku meminta kopi hitam tanpa gula?” Angga menyilangkan kakinya dan memundurkan sedikit tubuhnya untuk menyadar. “Tentu saja,” jawab Sinta sedikit kikuk. “Pergilah, minta Titin membuatkan kopi pahit tanpa gula.” Sinta menoleh ke arah Rama dan memintanya untuk segera pergi. “Sinta, kamu tahu kenapa kopiku tanpa gula?” tanya Angga tiba-tiba yang membuat Sinta reflek langsung menoleh kea rah pria berahang tegas itu. “Kenapa?” tanya Sinta dengan mata sedikit menyipit. “Karena melihat senyummu saja kopiku pasti sudah terasa manis nantinya.” Sinta hampir tersedak ludahnya sendiri, ada rasa suka dan kesal hadir secara bersamaan. Andai saja tidak ada Rama di dekatnya pasti hatinya sudah berbunga-bunga sekarang. Hanya saja kehadiran suami buruk rupanya itu membuat perasaannya menjadi tidak nyaman. Gombalan dari Angga untuk istrinya membuat Rama cukup geram, tangannya mengepal. Tapi, pria itu menahan diri karena ada sebuah hal yang menjadi tujuannya dan harus dia dapatkan dengan jalan yang sesuai dengan yang sudah direncanakannya. “Aku takut lama-lama diabet,” tambah Angga dengan tertawa. Sinta hanya mencoba tersenyum merespon ucapan Angga. “Kamu kenapa masih disini?” tanya Angga kepada Rama. “Ambilkan kopiku sekarang.” Angga merasa tidak nyaman dengan kehadiran Rama yang masih berdiri dengan tatapan yang tidak biasa. Tatapan cemburu, hanya saja Angga tidak mengerti dan tidak bisa mengartikan arti tatapan tajam Rama kepadanya. “Apa dia tuli?” tanya Angga kepada Sinta, dengan sebuah gelengan perempuan cantik itu menjawab. “Minta dia untuk pergi, tatapannya merusak moodku, sepertinya dia memiliki banyak masalah hidup. Aroma orang susah.” Sinta sedikit terhenyak kaget dengan kalimat yang diutarakan oleh Angga untuk Rama. “Oh … itu mereka duduk disana.” Suara Devina langsung mengalihkan fokus ketiga orang yang berada di dekat kolam ikan itu. “Eh … ada anak mantu, juga ternyata disini.” Seketika badan Sinta terasa panas dingin saat mendengar suara Devina yang semakin dekat. Apalagi dia menyebut anak mantu, yang pasti ditujukan untuk suaminya, Rama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD