BMB bab 5

916 Words
“Nyonya … nyonya gawat ini Nyonya, gawat … ini.” Hendra Asisten Devina datang dengan tergopoh-gopoh dan terlihat panik. Semua orang yang berada di taman kini terfokus pada pria dengan kaca mata tebal itu. “Gawat Nyonya, gawat,” pekiknya panik. Pria yang sedikit kemayu itu terlihat bingung sendiri. “Heh … gawat apa? Apanya yang gawat?” Devina menepuk lengan Hendra. Sinta yang tadi berada di bangku taman merasa penasaran dengan apa yang terjadi dan langsung menghampiri Hendra di susul Rama serta Angga di belakangnya. Sinta menebak ada sebuah hal buruk tengah terjadi bila melihat kepanikan Hendra. “Kebakaran Nyonya … kebakaran,” jawab Hendra lagi. “Kebakaran apa, dimana?” tanya Gara yang berdiri di samping ibunya. Semua terfokus pada Hendra dengan rasa penasaran tentang hal yang akan Hendra beritahukan. Demikian juga dengan Tuan dan Nyonya Wijaya yang juga berada di tempat itu. “Pelan-pelan, ceritakan dengan pelan. Apa yang terbakar?” Sinta yang sudah berada di dekat Hendra ikut bertanya kepada asisten ibu tirinya tersebut. “Toko buah pusat yang berada di jalan Borobudur terbakar, Nyonya.” Akhirnya setelah menarik napas dalam Hendra bisa menyampaikan berita yang dibawanya. “Astaga … kebakar gimana? Jangan bercanda kamu,” bentak Devina pada asistennya itu. “Nona Sinta dari tadi ponsel Nona berdering, Nyonya Ayu meminta saya memberikan pada Nona.” Sinta langsung menerima ponselnya yang diantarkan oleh Titin pembantunya. “Iya, Pak Teguh,” jawab Sinta langsung saat panggilan tersambung. “Bu Sinta, kantor pusat kebakaran.” Suara pria di seberang telepon terdengar panik. Meski merasa kaget Sinta masih mencoba untuk tetap tenang. “Pak Teguh bilang kantor pusat kebakaran,” ucap Sinta menggulang berita yang baru di terimanya. “Astaga … astaga … bagaimana ini?” Devina syok dan memeganggi dadanya, Gara langsung memapah Ibunya tersebut. “Ya sudah kita semua kesana, halo … halo, Pak Teguh tolong kabari terus, ya. Bapak urus dulu keadaan di sana.” Sinta menutup panggilan teleponnya. “Tuan Nyonya mohon maaf kami harus segera pergi untuk melihat keadaannya.” Sinta mendekati Tuan dan Nyonya Wijaya yang juga nampak ikut kaget. “Iya, kami mengerti ini keadaan darurat. Mungkin bis akita lanjutkan di lain waktu.” Bijak Tuan Wijaya menyingkapi akan hal yang terjadi. “Aku antar?” Angga menwarkan diri untuk mengantar Sinta. Sekilas Sinta melirik ke arah Rama, entah ada rasa tidak nyaman dalam hati kecil perempuan cantik itu. “Aku dengan sopir saja, maaf hanya tidak ingin merepotkan,” tolak Sinta halus. “Mari ke depan, Tuan Nyonya. Sekali lagi kami minta maaf,” ucap Sinta mempersilahkan kedua tamunya itu untuk ke depan bersamanya. “Kamu antar aku,” ucap Sinta sambil melihat ke arah Rama yang masih berdiri di dekatnya. Devina sudah dipapah terlebih dahulu oleh Gara dan Hendra dibawa masuk ke dalam rumah, wanita itu cukup syok dengan berita yang baru saja di dengarnya. Setelah mengantarkan keluarga Wijaya ke dalam mobil Sinta dan Rama langsung berjalan menuju mobilnya. Sinta tetap mencoba bersikap tenang karena kalau dia panik malah akan memperparah keadaan dan dia cukup menyadari itu. “Sampai disini saja, aku bisa pergi sendiri,” ucap Sinta kepada Rama yang mengikutinya. Perempuan itu hanya menjadikan Rama alasan untuk menolak bantuan yang Angga tawarkan. “Aku akan pergi denganmu. Biarkan aku yang menyetir.” Rama tidak inginn membiarkan perempuan yang dicintainya itu pergi sendiri. Entah dengan alasan apa Rama tidak tahu atas penolakan Sinta kepada Angga, hanya saja hal itu membuat Rama cukup senang. Apalagi, sebelum menolak tawaran Angga, Sinta melihat ke arah dirinya. Hal itu membuat Rama merasa cinta yang dimilikinya kepada Sinta semakin bermekaran. Dibalik sikap dingin dan ketus Sinta kepadanya dia selalu merasa Sinta adalah perempuan cantik dengan perasaan yang tulus. “Kamu bisa nyetir?” tanya Sinta, ragu menyerahkan kunci mobilnya pada Rama. “Bisa,” jawab Rama cepat. Meski masih ragu Sinta tetap menyerahkan kunci mobilnya pada Rama. Pria penuh bulu itu kemudian membukakan pintu mobil untuk perempuan tercantiknya itu. Sinta hanya mengangguk samar dan kemudian langsung masuk ke dalam mobil. Segera perempuan dengan dress putih itu menelpon Teguh, pegawainya. Rama menyusul ke dalam mobil dan langsung duduk di belakang kemudi, Sinta yang tengah sibuk berbicara dengan Teguh tidak memperhatikan lagi Rama yang kini tengah mengemudikan mobilnya melaju keluar dari rumah besar itu. “Berapa unit yang datang?” tanya Sinta pada pria yang diajaknya bicra di sambungan telepon. “Tiga unit mobil pemadam kebakaran yang datang, Bu.” “Yakin tidak ada korba jiwa, kan? Kamu cek karyawan kita semua.” Sinta meminta pegawainya itu kembali memastikan bahwa tidak ada korban dalam musibah yang tengah terjadi. “Itu merembet ke bangunan di belakang nggak?” “Tidak, Bu. Bagian gudang yang parah, tidak merembet sampai toko depan. Sebagian bangunan kantor sebelah samping kena, yang ruang serba guna belakang.” Teguh memberi penjelasan. “Tembok belakang gudang tinggi jadi tidak sampai ke pemukiman di belakangnya. Gudang yang cukup luas terletak di bagian belakang, digunakan untuk tempat sortir menyimpan stok buah, sayur dan juga lainnya lainnya sebelum di distribusikan. Tentu saja semua ini membuat Sinta cukup merasa panik, karena pastinya akan berpengaruh besar dalam hal pemenuhan permintaan pelanggan dan juga toko cabang. “Apa bangunan sudah diasuransikan?” tanya Rama setelah Sinta menutup panggilannya. “Kamu ….” Sinta kembali terdiam, pikirnya bagaimana Rama yang mengaku lulusan SMP tahu tentang asuransi. Kalau ternyata Rama bisa mengemudikan mobil itu tidak terlalu membuatnya terkejut, karena semua bisa menyetir asal latihan. Tapi, tentang asuransi Sinta tahu tidak semua orang paham tentang hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD