Relief Troops

1051 Words
Nadia memejamkan mata ketika Akiyama mendekat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Nadia pasrah menerima apa yang akan terjadi padanya di tangan Akiyama Toshiro. Ah, ia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Ia juga kesal karena tidak bisa melawan. Ia merasa bodoh karena terlalu sombong dan berpikir bahwa kekuatannya cukup untuk melawan mereka. Padahal, kesombongan selalu mengiringi kejatuhan seseorang. Memang manusia selalu seperti itu. Sadar dan menyesal ketika keadaan mendesak mereka dengan begitu kuatnya. Apa yang akan terjadi padanya? Kematian yang menyakitkan? Kematian yang cepat dan tidak terasa? Siksaan sampai berharap bahwa kematian jauh lebih baik? Nadia benar-benar tidak tahu. Akiyama Toshiro bisa melakukan apapun padanya, termasuk sekeji menyayat tubuhnya kemudian menguliti perlahan-lahan sampai ia mati. Bukan sekali dua kali Nadia mendengar kekejaman yakuza itu. Akiyama Toshiro selalu terkenal dengan kekejamannya. Bahkan, orang-orang yang bekerja sama dengannya pun tidak jarang bernasib buruk jika melakukan kesalahan. Ia adalah sosok iblís yang bersembunyi dalam balutan kulit manusia biasa. "Kau ketakutan." Ucap Akiyama pelan. Nadia tidak menjawab. Kakinya secara reflek mundur setiap kali Akiyama mendekat padanya. Apakah ia takut? Ya, sangat takut malahan. Nadia benar-benar takut sampai ke taraf trauma ketika melihatnya. Kekerasan selalu menemani Nadia sejak kecil, ia juga dilatih untuk bertahan baik secara fisik maupun psikis. Namun nyatanya, sekali lagi Nadia menegaskan bahwa latihan tidak pernah secuil pun menyamai apa yang terjadi secara nyata. Pada akhirnya, kenyataan benar-benar jauh berbeda. Dor! Nadia terlonjak kaget. Suara tembakan itu membuatnya dan Akiyama sontak menoleh. Yao berdiri tidak jauh dari Akiyama, menodongkan pistol tepat ke arah yakuza itu. "Yao..." Gumam Nadia pelan. Yao melirik Nadia sekilas kemudian kembali memfokuskan pandangannya pada Akiyama. Tembakan sebelumnya tidak mengenai Akiyama. Entah Yao sengaja melakukannya atau memang meleset. Yao melangkah pelan, perlahan-lahan maju mendekati Akiyama. Akiyama menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana kau lepas dari borgolnya?" Yao tersenyum tipis. "Sebuah trik sederhana." Akiyama merogoh saku jasnya dan ikut menodongkan pistol seperti yang Yao lakukan. Tetapi bukannya mengarah kepada Yao, malah mengarah kepada Nadia. Ia menyeringai sembari melirik Yao yang terkejut. Akiyama langsung mendekat dan menarik leher Nadia, mengarahkan pistolnya tepat di pelipis kiri gadis itu. "Sayang sekali Yao, aku juga memiliki trik." "Dasar licik." Dengus Yao. Akiyama tekekeh pelan. "Jangan lupa bahwa itu sifat alami kita." Nadia benci tidak bisa melakukan apa-apa. Entah sudah yang keberapa kalinya ia mengatakan itu sejak dirinya tertangkap dan disiksa oleh Akiyama Toshiro. Sekarang, ia tahu apalagi yang lebih membuatnya benci terhadap diri sendiri. Nadia benci ketika seseorang harus berkorban untuknya. Terlebih, orang itu adalah Yao Wang, satu-satunya pria yang selalu ia lihat selama ini. Mengapa pula ia harus datang? Apakah Bratva belum cukup orang sampai-sampai Yao harus datang untuk menolongnya? Nadia tahu setiap hal yang berkaitan dengan mafia, tidak akan ada akhir yang tenang dan baik-baik saja. Segalanya selalu berakhir dengan buruk, berdarah-darah, atau bahkan kematian. Nadia tidak ingin mati, ia juga tidak mau Yao mati. Pikirannya terbagi antara melindungi dirinya sendiri yang jelas-jelas tidak bisa, atau berusaha melindungi Yao padahal ia tidak mampu. Dilema berkepanjangan itu melunturkan rasa takutnya kepada Akiyama. Pria itu menahan lehernya dengan lengan kiri, dan tangan kanannya menodong pistol yang menempel di kepala. Satu gerakan saja, ketika pelatuk pistol itu ditarik maka tamatlah riwayat Nadia. "Siapa yang kau inginkan untuk mati Akiyama? Aku?" Bisik Nadia pelan. Akiyama menunduk. "Kau, Yao Wang, Kakakmu, dan seluruh organisasimu. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk menghapus kalian semua dari dunia ini." Nadia tidak tahu harus melakukan apa. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya melepaskan diri dengan tubuh terlilit rantai seperti itu. Lagipula, bagaimana caranya? Akiyama kembali menatap Yao. "Jatuhkan senjatamu atau gadis ini mati?" Ancaman klasik. Nadia mendengar hal itu sesering ia bernapas. Delapan belas tahun ia hidup di dunia, dan kalimat itu begitu sering ia dengar di mana-mana. Dalam keadaan di mana ia yang tertangkap, pun dalam keadaan di mana ia yang diancam. Berkali-kali ia berusaha menangani dilemanya, namun sekali pun tidak ada yang menyamai kepanikan yang ia alami sekarang. Nadia menunduk, dengan bermodalkan kenekatan saja, ia menginjak sekuat tenaga kaki Akiyama yang terbungkus sepatu pantofelnya. Pria itu mengaduh dan kehilangan keseimbangan. Ia secara reflek melepaskan Nadia dengan úmpatan kasar. Nadia tidak memiliki kekuatan untuk melawan Akiyama dengan kedua tangannya yang terbelenggu, sehingga ia berusaha untuk memfungsikan kakinya dengan menginjak Akiyama. Cara itu sebenarnya tidaklah ampuh. Akiyama bukanlah seseorang yang bisa dilumpuhkan hanya dengan diinjak kakinya. Tetapi Nadia hanya berusaha memakai kesempatan sekecil apapun. Ia segera berlari ke arah Yao Wang. Nahas, Akiyama dalam waktu singkat sudah siap dengan posisi menembaknya. Pria itu tampak sangat marah, terlihat dari wajahnya yang benar-benar murka. Dor! Nadia membeku. Secara perlahan ia jatuh berlutut. Bagian punggungnya berdarah, menetes-netes ke lantai. Rasa sakit dan perih yang menyengat membuatnya tidak kuat lagi untuk mempertahankan keseimbangannya. Akiyama Toshiro berhasil menembakkan pelurunya dan mengenai punggung Nadia. "Nona Nadia!" Teriak Yao panik. Ia langsung mendekat ke arah Nadia dengan menarik pelatuk pistol berkali-kali. Suara tembakan mengudara di ruangan itu. Berkali-kali, bersahut-sahutan antara milik Yao dan milik Akiyama. Keduanya sama-sama tidak fokus dalam membidik sehingga peluru-peluru yang mengudara menyasar ke mana-mana. Yao berusaha mengangkat tubuh Nadia. Ia kerepotan karena rantai-rantai yang melilit tubuh gadis itu. Belum lagi, Nadia adalah gadis yang cukup tinggi untuk seseorang di usianya. Yao tetap lebih tinggi, tetapi ia tidak terbiasa dengan gadis setinggi Nadia. Yao juga harus tetap memegang pistolnya untuk berjaga-jaga jika sampai Akiyama mulai mendapatkan fokusnya kembali dan berusaha menembaknya. Yao tidak bisa membiarkan Nadia mati. Ia juga tidak mau mati karena urusan Liu Jia Li belum selesai sama sekali. Brak! Pintu kayu dijebol, suara derap langkah yang sangat banyak mendekat. Yao kira, bawahan Liu Yantsui kembali mengejarnya dan ia sudah berpikir bahwa segalanya selesai di sini. Namun Yao kemudian bernapas lega ketika yang datang bukanlah bawahan Liu Yantsui melainkan orang-orang Rusia dan Nikolai sendiri. Wajah Nikolai tampak benar-benar murka ketika melihat keadaan Nadia di dalam pelukan Yao yang jatuh berlutut. “Yao! Segera pergi dari bangunan ini dan bawa Nadia keluar.” Seru Nikolai keras. Ia sudah siap dengan dua pistol di kedua tangannya. Yao mengangguk, ia tidak banyak bicara dan langsung mengangkat tubuh Nadia yang tidak sadarkan diri. Keputusannya tepat, atau setidaknya cukup tepat. Menyisakan satu orang di mobil untuk membuat laporan ke markas Bratva adalah keputusan yang baik. Yao terus menggumamkan itu. Ia menyesal dengan orang-orang Bratva yang gugur, tetapi bersyukur karena Nadia bisa diselamatkan. Sekarang, apa yang akan terjadi dalam peperangan ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD