03. Gerak - Gerik Mencurigakan

2013 Words
Setelah acara Logan dan Bluberry selesai. Ana memutuskan segera kembali ke Roma, Italia. “Luna, apakah kau sudah memesan tiket untuk kepulangan kita ke Roma?” “Sudah.” “Tanggal berapa jadwal keberangkatannya?” “Lusa.” Ada panggilan masuk dari Maria. “Hello, Mom.” “Hello, honey.” Melepas sepatu dengan menginjak bagian ujungnya lalu melemparnya secara asal. “Tumben menghubungiku. Ada apa?” “Aku baru saja melihat foto-fotomu di internet. Kau sangat cantik mengenakan gaun merah, lebih mirip seperti Princess.” “Aku bukan Princess. Aku hanyalah seorang Anak dari wanita hebat, Maria Rose.” “Kau sangat cantik. Rasanya aku tidak ingin mengalihkan pandanganku dari foto-fotomu ini.” Sembari melihat-lihat foto Ana. “Yang memakai gaun hitam juga sangat cantik.” Menggeser layar ponsel ke atas. “Apalagi yang memakai gaun kuning. Di sini, kau terlihat seksi.” “Itu pemotretan Bluberry.” “Apakah acaranya sudah selesai?” “Ya, hari ini.” “Aku merindukanmu. Kapan pulang ke Napoli?” “Kemungkinan bulan depan, Mom.” Sembari mengeluarkan ponsel satunya bermerk iPhone dari dalam tas. “Biasanya setelah acara brand ambassador. Kau mendapatkan cuti. Apakah kali ini tidak?” Terdiam sejenak. Ana tahu dari suara Maria. Wanita itu sangat merindukannya. Akhirnya diputuskannya untuk berkunjung ke Napoli sebelum bergelut kembali dengan Roma. “Baiklah, aku pulang.” “Aku senang mendengarnya, honey.” “Sampai jumpa besok, Mom.” -- Napoli, Italia Di ruang tamu, Maria sedang berbincang dengan Samuel Hitman, lelaki yang menjadi figur ayah bagi Ana. Mereka berencana mencarikan pengawal untuk Ana. “Apakah Ana masih tidur?” Samuel bertanya. “Kemungkinan, iya. Karena dia tiba pukul sebelas malam.” “Berapa hari dia di sini, dan kapan dia kembali ke Roma?” “Aku belum sempat menanyakannya.” Samuel mencondongkan wajahnya ke depan. “Ana, datang.” Lalu menegakkan kembali duduknya. Tatapan selurus anak panah tertuju pada pemilik wajah cantik bermanik biru tersebut. “Selamat pagi, Ana.” Ana duduk pada sofa yang berseberangan dengan Samuel. “Selamat pagi, Paman, Mom.” Maria tersenyum. “Selamat pagi, honey.” “Tumben Paman mengunjungi kami?” “Mom-mu memberitahu bahwa kau pulang ke Napoli. Tentu saja aku berkunjung. Bagaimana pekerjaanmu?” “Sejauh ini tak ada kendala.” Menyalakan layar ponsel dan sedang mengetikkan sesuatu. “Berapa lama masa liburmu?” “Hanya dua hari. Lusa aku berangkat lagi ke Roma.” “Aku mendengar kabar bahwa semalam ada yang mengikutimu dari bandara. Apakah itu benar?” Melirik Maria sekilas. “Pasti Mom yang memberitahu Paman, kan?” “Iya.” Jawab Maria jujur. “Palingan yang membuntutiku itu salah satu fans.” Jawab Ana acuh tak acuh. “Tapi dia memakai sedan mewah dan mengikutimu sampai di halaman rumah.” Betapa terkejutnya Ana mendengar penjelasan Samuel. “Dari mana Paman tahu mengenai hal itu?” “Dilihat dari rekaman CCTV.” Ana bergidik ngeri. “Aku ingin melihat rekaman CCTV nya.” “Ayo.” Entah ada yang rusak atau bagaimana. Yang jelas rekaman kemarin malam tidak dapat di putar kembali. “Apakah ada masalah?” Maria bertanya. “Sepertinya ada yang rusak.” “Panggil saja teknisi.” Ana menyarankan. Sungguh ia merasa penasaran. Ia ingin melihat plat nomor sedan hitam tersebut. Seolah paham apa saja yang di pikirkan Ana. Samuel menjelaskan bahwa plat mobil tersebut tidak terlihat. “Ini aneh.” Kembali merentangkan sebelah tangan ke sandaran sofa. Tatapannya lekat pada wajah cantik. “Sekarang ini, kau berada di puncak karir. Sudah sepantasnya mendapatkan pengawalan secara khusus, Ana.” Ana mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Pembahasan seperti ini yang sangat Ana benci. “Ayolah, aku bukan Putri Presiden. Aku tidak butuh pengawal.” “Bagaimana kalau Paman mencarikan pengawal untukmu? Nanti kau bisa menyeleksinya sendiri, mana yang menurutmu cocok.” “Sudah berulang kali kukatakan. Aku tidak butuh pengawal.” Geram Ana. Ia beranjak dari duduknya. Menghunjam Samuel dengan sorot mata tajam. Aku benci laki-laki yang mengikuti ke mana pun aku pergi. Apalagi menempel 24 jam seperti lalat. Memuakkan. Lanjutnya dalam hati. “Kau tinggal jauh dari kami. Bagaimana jika ada yang berbuat jahat?” “Tidak akan ada yang berbuat jahat.” Bantah Ana tegas. “Buktinya semalam ada yang mengikutimu sampai di halaman rumah.” Ana terdiam. “Paman-mu benar, honey. Kau tinggal jauh dari kami. Jika ada yang mengawalmu. Bodyguard mu itulah yang bisa menjamin keselamatanmu. Kami bisa merasa lega.” Di sudutkan pada pembahasan memuakkan. Ingin mengamuk saja rasanya. “Berhenti ikut campur ke dalam urusanku. Urus saja urusanmu sendiri.” Sinisnya pada Samuel. “Ana, jaga sikapmu.” Bentak Maria. “Kau memintaku pulang supaya bisa menceramahiku mengenai hal ini. Memuakkan.” “Ana, kau mau ke mana?” Mengabaikan panggilan ibunya. Ana pergi dengan mengendarai mobil berkecepatan tinggi. “Sejak menjadi super model. Dia menjadi pembangkang.” Keluh Samuel. “Lebih tepatnya setelah Harry meninggalkannya dua tahun lalu.” Samuel mengembus napas berat yang dibuang secara perlahan. “Kejadian waktu itu meninggalkan trauma bagi Ana. Dia menbenci laki-laki, bahkan tidak mau lagi membuka hatinya hanya untuk sekedar ... ya, menjalin pertemanan.” -- Roma, Italia Pagi ini, ada pemotretan. Sejujurnya, Ana masih sangat lelah karena tiba di apartement pukul 03.00. Tapi pekerjaannya sebagai super model tak bisa di kesampingkan begitu saja. Dengan segera melemparkan diri ke dalam bath up. Untuk kali ini, memutuskan tidak berendam karena waktu sangat mepet. Bahkan tidak ada waktu untuk sekedar memoles wajahnya dengan bedak tipis. Rambutnya pirangnya ia gelung secara asal. Bahkan tidak mendapatkan belaian sisir. “Di mana kunci mobilku?” Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Ah, itu dia.” Kunci mobil tergeletak di atas nakas. -- “Sorry, aku telat lagi.” “Tidak juga.” Melirik jarum jam di pergelangan tangan. “Masih ada waktu 45 menit sebelum pemotretan.” Meraih tangan Ana, lalu membimbingnya menuju meja rias. “Elena, segera rias, Miss Rose.” Menoleh pada Luna. “Elena, siapa?” “Penata riasmu yang baru, menggantikan Julia.” “Apakah Julia mengajukan cuti?” “Dia mengundurkan diri “Alasannya?” “Dia pindah keluar Negeri bersama dengan kekasihnya.” “Demi laki-laki, dia rela meninggalkan profesinya sebagai penata rias super model.” Mengangkat sudut bibirnya. “Ini terdengar menyedihkan, Luna.” “Dia berbeda denganmu. Julia, percaya apa itu cinta. Tidak sepertimu yang-” Luna menjeda kalimat setelah di lempari tatapan mematikan. Menepuk lembut pundak Ana. “Sudah tidak ada waktu untuk berbincang. Kau harus segera di rias.” Mengalihkan pandangannya pada Elena. “Segera rias, Miss Rose. Riasannya sesuaikan dengan tema pemotretan hari ini.” “Luna, kau mau ke mana?” “Berbicara dengan James.” “James, ada di sini?” Teriak Ana supaya suaranya terdengar. “Ya.” Mengembus napas berat. “Situasi seperti ini yang sangat tidak aku sukai.” Garis bibir membentuk senyum sinis. “Aku paling tidak suka di pasangkan dengan laki-laki.” Geramnya. -- Ana gambaran wanita sempurna. Memiliki mata seindah lautan biru yang luas, rambut pirang yang indah, tubuh ramping. Para fans nya menyebutnya sebagai Blue Roses. Ana memakai atasan putih di padukan dengan hotpant. Pada bagian belakang terdapat sayap melebar. Di bagian atas kepala terdapat hiasan rumbai bunga yang sangat besar. Ana persis seperti manekin berjalan. Setiap pasang mata yang hadir di acara Baylei. Tak dapat mengalihkan pandangannya dari Anastasia Rose. Begitu juga dengan Andrew Grimess selaku penyelenggara acara. "Cantik." Puji Andrew. Luke juga hadir di sana. Dia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Ana. Senyuman di bibirnya pun seolah tak ingin meninggalkan pemiliknya. Secepatnya aku harus membawamu ke ranjangku, Miss Rose. Akan tetapi, lain halnya dengan pemilik sepasang manik dark brown. Dia tidak duduk di antara dua rekan lainnya. Dia berada di barisan paling belakang. Menyandarkan tubuh ke dinding, sebelah kaki menyilang, kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana. Tatapan mata sibuk mengawasi para lelaki yang mengagumi kecantikan Ana. Tak ada satu pun pasang mata yang tidak menatap Ana. Mata-mata lapar menatap Ana dengan tatapan liar. Di suguhkan pada pemandangan paling memuakkan. Kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jari memutih. "Memuakkan." Rasanya menunggu acara ini selesai. Menyiksa amarah yang siap meledak. Dia pun tak tahan lagi. Ingin rasanya mencongkel mata-mata lapar tersebut. "Sir, kenapa Anda berdiri di sini? Kursi Anda ada di sebelah, Mr. Drawis. Silakan." Tutur salah satu staff. Tak mau membuat staff tersebut curiga. Dia duduk di sebelah Luke. Luke memiringkan wajahnya. "Acaranya sudah hampir selesai. Kenapa kau baru datang, hm?" "Hampir selesai, belum selesai, kan?" Mengarahkan pandangannya ke depan. Kelegaan menyelimuti. Ana sudah masuk ke dalam. Setidaknya tubuhnya yang molek tak jadi bahan tontonan. Acara tersebut telah selesai dan di akhiri dengan kemunculan sang perancang dari Einstein Group di dapuk Mr. Grimes selaku pemilik Baylei. -- "Kau selalu membuat takjub setiap pasang mata, Ana." Puji Luna. Mengabaikan pujian Luna. Ia memberi perintah kepada Elena supaya segera melepas hiasan di atas kepala. Elena di bantu 2 rekan lainnya. Ana melirik Luna yang membungkuk hormat. Ia penasaran lalu menoleh ke belakang. Matanya beradu dengan Luke. "Untuk apa dia menyusulku kemari?" Geramnya, akan tetapi ketika Luke mendekat segera memasang senyuman menawan. "Apakah ada yang ingin Anda sampaikan sehingga menemui saya, Mr. Luke?" "Pertunjukan Anda luar biasa, Miss Rose. Acara Baylei sukses besar berkat Anda." "Terima kasih pujiannya, tapi pujian seperti ini juga harus Anda berikan kepada rekan model lainnya. Mereka luar biasa." "Seperti pada kebiasaan sebelumnya. Selepas acara, kami mengadakan makan malam. Saya harap Anda berkenan hadir." "Sorry-" menjeda kalimat. Ana mengarahkan pandangannya ke pintu. Luke ikut membuang pandangannya ke arah yang sama. "Tidak ada siapa-siapa." Gumamnya. "Miss Rose, siapa yang Anda lihat?" Mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Sepertinya ada yang sedang mengawasi saya." Luke memeriksa keluar. "Diluar tidak ada siapa-siapa." "Mungkin hanya perasaan saya saja." Aku yakin ada yang sedang mengawasi ku, tapi siapa? "Permisi, Sir. Mr. Benedic, meminta Anda ke ruangannya sekarang." Tutur wanita bertubuh molek dengan mata tajam. Luke menggeram kesal. "Mengganggu saja." Di raihnya jemari lentik, di bawa mendekat ke bibirnya lalu di kecupnya lembut. "Malam ini, sopir saya akan menjemput Anda." "Saya belum memutuskan." "Saya yakin Anda tidak akan mengecewakan saya, Miss Rose." Sekali lagi, mengecup punggung jemari. Kali ini, dalam dan lama. Ana pun risih di buatnya. Dengan segera menarik tangannya. "Mr. Benedic, sudah menunggu. Sebaiknya, segera Anda temui." Tutur Ana tanpa mengurangi batas kesopanan. "Apakah ini sebuah perintah?" "Tergantung bagaimana Anda menilainya, Mr. Luke." "Perintah Anda mutlak bagi saya. Saya permisi." Mengerling genit. -- Ana sudah kembali ke hotel di temani Luna. "Luna, coba pelankan laju mobil." "Ada apa?" "Lakukan saja." Ana mengarahkan pandangannya dari kaca spion, berusaha keras mengetahui plat nomor sedan hitam yang sedang membuntutinya. Sial, pengendara sedan hitam tersebut sepertinya menyadari Ana sedang mengawasinya. Lelaki yang bersembunyi di balik kemudi mengurangi laju kecepatan sehingga menyembunyikan body mobil di antara mobil-mobil lain. Ana menggeram kesal. "Shittt, gagal." "Apanya yang gagal?" Luna bertanya. Menghunjam Luna dengan tatapaan mematikan. "Fokus saja menyetir." "Di depan sana ada restaurant enak. Bagaimana kalau kita mampir?" Tangan kiri memegangi perutnya. "Aku sangat lapar " "Ok, kita ke sana." "Kau yang traktir, ya?" "Ya." -- Selama berada di restaurant. Ana merasa ada yang terus menerus mengawasi. "Ana, lihat apa sih?" Luna bertanya. "Lanjutkan makanmu dan segera antarkan aku ke hotel. Aku sangat lelah." Memegangi tengkuknya yang terasa sakit. "Semua ini akibat hiasan kepala itu. Kepalaku sakit sekali." Wajah Luna berubah khawatir. "Bagaimana kalau kuantar ke dokter?" "Tidak perlu." "Seringkali kau mengeluhkan sakit kepala di bagian belakang. Sebaiknya periksakan saja?" "Hanya sakit kepala biasa. Dibuat istirahat pasti sembuh." Luna memesankan segelas air hangat. "Segeralah minum mumpung masih hangat." Ana kembali merasakan ada yang sedang mengawasinya dari arah pintu. "Ana, lihat apa sih?" "Segera habiskan makananmu dan kita pulang." Melirik kembali ke arah pintu. Ana tidak mau membiarkan penguntit tersebut membuatnya selalu merasa was-was. "Ana, kau mau ke mana?" Luna bertanya. "Sebentar." Memeriksa situasi di luar restaurant, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. "Kalau begitu, siapa yang mengawasiku tadi? Tadi itu fans atau orang jahat?" Ana terkesiap. Sebuah sedan hitam melintas dengan kecepatan tinggi. "Siapa sebenarnya seseorang yang bersembunyi di balik sedan hitam itu?” Membulatkan tekad. “Aku harus segera mencari tahu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD