Sakit itu ketika berusaha melupakan namun terus di pertemukan.
________________________________________
Secangkir kopi capuccino hangat menemani Azka yang tengah duduk di depan sebuah vila yang mereka pesan. Vila itu tentunya memiliki beberapa kamar di dalamnya,Azka tak ingin ada kesempatan yang membuat dirinya harus sekamar dengan Nara,gadis yang dia anggap hanya adik saja.
Lampu-lampu telah menyala, menambah kesan indah di puncak. Mereka datang ketika hari sudah mulai gelap dan langkah pertama yang mereka ambil adalah istirahat.
"Mas,kamu tidurnya sama aku,kan?" tanya Nara yang duduk di depan Azka tanpa perintah.
Azka menatapnya datar dan tersenyum tipis. "Nara.. seperti biasa kita akan tidur terpisah,kamu tidur sendiri dan aku akan tidur di kamarku."
"Tapi Mas,aku takut tidur sendirian di sini, dan ini kan bukan rumah kita,gimana kalau ada...." ucapan Nara terpotong Azka.
"Shutt,ga akan ada apa yang kamu takutkan. Faktanya aku masih mau satu vila dengan kamu dan artinya aku masih peduli sama kamu dan aku akan jaga kamu," ucap Azka panjang lebar.
Ucapan Azka seakan sebuah sapu tangan yang lembut namun membuat Nara tak bisa bicara karena terbius kata-kata tadi. Apa yang akan dia katakan untuk menyangkal, sungguh tak ada, sehingga dia benar-benar akan tidur sendirian.
'Liat aja nanti, aku akan masuk ke kamar kamu dengan alasan aku takut. Hahaha,dasar bodoh. Kamu pikir bisa menghalangi jalannya rencanaku!' batin Nara seraya tersenyum tipis pada Azka. Sesekali pria itu fokus pada ponselnya sehingga tak melihat senyum sinis Nara yang tersungging untuknya.
Jika di lihat dari jauh,maka mereka terlihat seperti sepasang suami istri yang romantis, terlebih beberapa kali Nara mencoba mengajak Azka bicara sehingga pria itu tertawa dan hal itu tak luput dari pandangan Romi yang tengah berkeliling melihat-lihat spot di sana. Tapi, melihat Azka yang tertawa bersama Nara membuatnya yakin kalau Nara berusaha terus menggoda Azka. Pria itu berdecak kesal,tapi dia yakin Azka tak akan pernah menaruh rasa cinta pada Nara.
Getar di saku celananya membuatnya tersadar dan meraih benda pipih yang menjadi sumber suara dari getaran tadi.
[Kamu di mana? Cepat kembali agar saya bisa meninggalkan gadis ini!!]
Senyumnya terukir setelah membaca penggalan pesan yang tak lain dari tuan mudanya.
[Siap,Tuan.]
"Tak ada kesempatan untuk singa berbulu domba,hahaha." Pria itu tertawa setelah membalas pesan pada Azka.
Romi berjalan menuju vila yang Azka tempati,dia akan membuat Nara kehilangan senyum manisnya. Tapi, sayangnya setelah beberapa langkah berjalan,bukan Nara yang kehilangan senyum manis,bukan. Tapi,dirinya sendiri.
Tubuhnya dimundurkan dan mengucek mata,takut salah liat.
"Ini bukan mimpi!!" katanya meyakinkan diri, setelahnya dia sudah memutar arah,tak lagi menghampiri Azka dan Nara. Kakinya melangkah menuju salah satu restoran di sana,di mana ada yang menjadi pusat perhatiannya. Di sinilah dia berada sekarang,di belakang gadis cantik yang sedang menikmati kopi hangatnya.
"Lo kemana aja selama ini? Kenapa ga ada kabar sama sekali," cecarnya langsung ketika tepat di belakang gadis itu.
Gadis berambut hitam panjang itu menoleh, karena suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. Tubuhnya seketika menegang, buru-buru dia meraih tasnya dan berniat pergi,tapi tangan Romi menahan lengannya.
"Lepasin gue!! Gue harus pergi!!!"
"Lo mau ke mana? Gue butuh penjelasan kenapa lo pergi selama ini!!"
"Lepasin gue Romi!!! Gue harus pergi sekarang!!!" ujarnya dengan anda sangat memohon,tapi Romi menggeleng,dia tak akan melepaskan gadis ini tanpa penjelasan.
"Duduk!!" pintanya.
Dengan terpaksa gadis itu menurut,dia kembali duduk di tempatnya tadi. Di depannya,Romi menarik kursi dan menghempaskan bokongnya di sana.
"Lo apa kabar?" tanya Romi membuka suara,menatap gadis di depannya.
"Gue...gue baik Rom," menghela napas dalam-dalam, "tapi,gue benar-benar harus pergi sekarang,pliss izinin gue pergi!"
Romi menghela napas berat,dia tak akan menyangka bertemu orang yang selama ini dia cari di sana.
"Gue cari lo kemana-mana,tapi tak ada satupun petunjuk tentang keberadaan lo. Gue khawatir sama lo Alina!" nada bicaranya mulai meninggi. Ya,dia sangat khawatir pada gadis di depannya ini. Bukan hanya karena perintah Azka dia mencarinya,tapi karena dia memang khawatir.
"Gue...gue minta maaf Rom,gue.."
"Alina, kalau lo ngambil langkah sebesar ini,kenapa lo ga kasi tau gue dulu, seenggaknya gue bisa jamin keadaan elo. Lo ga anggep gue sahabat lo lagi ya?"
"Gue minta maaf sama lo, gue tau lo sahabat terbaik gue jadi sekarang gue mohon, izinin gue pergi!!"
"Gue ga akan biarin lo pergi sebelum elo kasih tau di mana tempat tinggal lo!"
Alina kembali berdiri, "Gue ga bisa kasih tau lo di mana gue tinggal,yang terpenting sekarang lo udah tau kalau gue baik-baik aja,Rom." Alina menepis tangan Romi yang menahannya,lalu berlari menuju pintu keluar."Awwhh....."
Kakinya terpleset dan hampir jatuh jika lengan kekar seseorang tidak buru-buru manangkap tubuhnya.
"Hey,kamu kenapa lari-lari. Hati-hati dong,kamu kan lagi hamil,kalau jatuh bahaya buat janin kami juga!!!"
Pria itu sedikit memarahi Alina karena khawatir terjadi apa-apa padanya.
"Terima kasih,Al."
"Hamil?" ucap pria yang sekarang ada di belakang mereka,tatapan heran dan menuntut penjelasan terpancar jelas di matanya.
"Ralina,apalagi ini? Lo hamil? Emang lo udah nikah?" kali ini nada dan suaranya berubah cemas.
Alina menelan salivanya susah payah, tangannya masih menggenggam tangan Alvaro yang tadi menolongnya.
"Bukan urusan lo,Rom. Gue mohon jangan ganggu gue lagi,biarin gue hidup dengan kehidupan gue sendiri!!"
"Lin, jawab pertanyaan gue tadi!!" pekik Romi tanpa mau mendengarkan ucapan Alina.
"Hey,bisakah Anda bicara pelan-pelan pada Ralina,Anda hampir membuatnya celaka tadi!!" Alvaro geram.
"Ini bukan urusan Anda,Tuan. Saya hanya ingin bicara dengan teman saya."
"Akan jadi urusan saya jika Anda mengganggu ketenangan sekretaris saya!"
Alina melihat ada tanda-tanda baku hantam dari keduanya,dia menarik dan menahan lengan Alvaro yang sudah mengepal.
"Romi...,gue tau niat lo baik ke gue,maafin gue karena banyak hal yang gue tutupin dari lo. Tapi,pliss sekarang izinin gue pergi. Gue ga mau ketemu lo atau siapapun lagi yang berhubungan dengan masa lalu gue. hiks..gue..gue mohon..." Alina mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya,berharap bisa membuat Romi luluh. Alvaro hanya diam menyaksikan keduanya.
Detik selanjutnya,tubuh Alina sudah berpindah ke dekapan Romi. Ingin rasanya Alvaro mendorongnya menjauh,tapi dia mengurungkan niatnya karena melihat Romi menangis memeluk Alina.
"Gue ga tau apa yang terjadi sama lo sebulan ini. Tapi,lo harus tau,gue khawatir sama lo,Lin. Elo sahabat terbaik gue, bagaimanapun gue juga merasakan sakit yang lo rasain.."
Hanya isakan dari keduanya yang terdengar, Alvaro hanya diam dalam kebingungannya sampai mereka saling melepaskan.
"Makasi Rom,maafin gue kalau sekarang gue ga bisa jelasin semuanya ke elo. Gue mohon sama lo,jangan ada siapapun yang tau kalau kita ketemu,jangan ada yang tau kalau gue ada di sini. Gue mohon....lo ngerti kan maksud gue, anggap saja kita ga pernah ketemu lagi." Alina kembali terisak.
"Oke,gue janji sama lo. Tapi dengan satu syarat."
"Syarat,apa lagi Romi?" Alina hampir frustasi,karena dia yakin Romi di sini tak mungkin jika tanpa Azkanya.
"Gue minta kontak lo,biar gue bisa tau keadaan lo."
"Tapi..."
"Ya udah,kalau lo ga mau,gue akan hubungi Tuan dan bilang kalau elo ada di sini. Asal lo tau aja,Tuan dan Istrinya ada di sini. Gue ga yakin dia akan biarin lo pergi setelah selama ini dia hampir gila mencari keberadaan elo dan Nadia," ucap Romi lebih ke ancaman.
Dugaannya benar,pria ini tak mungkin ada di sini tanpa tuannya..dan.. kata-katanya tadi buat Alina semakin hancur,Azkanya di sini bersama sang istri,jelas saja Alina tau mereka sedang liburan.
"Lin,lo percaya,kan, sama gue. Gue ga akan kasih tau siapapun informasi tentang lo,gue cuma mau pastikan kalau kalian baik-baik saja."
Alina menghela napas berat,dia menatap dalam wajah pria di depannya.
"Oke,gue bakal kasih lo kontak gue. Tapi,lo harus tepatin ucapan lo tadi."
"Pasti," balas Romi secepatnya.
Alina mangabil ponsel Romi dan menuliskan nomor ponselnya,lalu menyerahkan kembali pada Romi. Baru saja Romi ingin menghubungi guna mengetes kebenaran nomor tersebut, sebuah panggilan masuk menghalanginya. Ada nama Tuan terpampang di sana.
"Argh!!!" gumamnya kesal.
"Romi gue harus pergi,bye!!"
Alina berjalan lebih dulu tanpa bisa di cegah,saat Romi ingin mengejar Alvaro menghalangi.
"Jangan ganggu dia lagi," ucap pria itu dan langsung menyusul Alina pergi.
Romi mengangkat panggilan yang tak lain adalah dari Azka.
"Halo,Tuan. Maafkan saya,saya segera ke sana."
"........"
"Baik, Tuan."
Telpon di matikan, setelahnya Romi menghubungi nomor telepon yang Alina berikan.
"Arg!!! Sial!!!"
Alina memberikannya nomor telpon yang jelas-jelas tak bisa di hubungi,suara lembut operator membuat dirinya kesal.
"Gue pasti cari lo besok pagi, Lin."
Pria itu kembali ke vila di mana tuan dan nyonyanya berada. Berusaha menciptakan senyum manis di bibirnya.
"Kamu kemana saja? Dari tadi saya sudah kirim pesan,kenapa kamu lama sekali."
"Maafkan saya Tuan,tadi saya dapat panggilan alam," jawabnya berbohong.
"Ya sudah,ayo masuk."
"Baik, Tuan."
Mereka masuk ke vila. Azka meminta Romi tidur sekamar denganya karena dia sudah berfirasat tak enak pada istrinya itu,dia takut Nara memanfaatkan keadaan untuk tidur di kamarnya.
Sedikitpun Romi tak tenang karena memikirkan sahabatnya.
Di sisi lain Alina di antar ke salah satu vila oleh Alvaro,ada Tania yang menyambut mereka di sana.
"Makasi ya, kamu..udah nolongin aku tadi."
"Sama-sama Ralin."
Alina langsung masuk ketika Tania membuka pintu.
"Hey,ada apa,kok nangis?"
"Ga kenapa-napa kok,Tan. Ayo istirahat."
Sanjaya group terikat kontrak kerjasama dengan pengelola tempat itu,mereka menanam saham di sana dan itu sebabnya Alvaro membawa beberapa staf penting untuk meninjau proyek pembangunan yang sudah mulai di garap dari beberapa bulan sebelumnya.
Tak sedikitpun dalam bayangan Alina akan bertemu Romi di sini,Romi yang menemani tuan dan nyonyanya berlibur di sana.
Air mata tak bisa lagi di bendung karena rasa sakit yang menggerogoti hati pemiliknya.
"Alina plis,jangan cengeng..." gumamnya pada dirinya sendiri yang sudah menenggelamkan wajahnya di bantal. Tania yang kebetulan sekamar dengan dirinya tak tau harus bagaimana selain mengusap rambut panjang gadis itu untuk sedikit mengalirkan ketenangan.
"Lin..udah ya,jangan nangis lagi..." ucapnya menenangkan.