Bab 6. (Done)

1672 Words
 "Lelaki yang di pegang omongannya,jadi aku harus tepati janjiku padamu meskipun kamu mengingkari janjimu padaku" ___________________________________________ Nara memandangi tubuh kekar Azka yang tengah berenang di kolam,hari ini pria itu pulang lebih awal dari biasanya. Bukan karena dia merindukan Nara,ya jelas saja tidak akan terjadi hal itu. Azka belum bisa menata baik pikirannya, hingga tak satupun kerjaan bisa dia  selesaikan. Sudah masuk satu bulan lamanya  pria itu ditinggalkan kekasihnya dan tak ada tanda-tanda untuk menemukan keberadaan gadisnya. Selama itu,yang ada dalam pikirannya adalah  bagaimana keadaan gadis itu,gadis yang pernah dia tiduri setelah dia meminum banyak vitamin untuk menguatkan benihnya.  Saat itu,harapannya Alina akan mengandung anaknya dan dia bisa menceraikan Nara dengan alasan itu. Sayangnya,apa yang dia harapkan tak terjadi, bahkan berbanding balik dengan keinginannya. Alina pergi dan dia tak tau kabar apapun tentang gadis itu, termasuk Nadia yang dia yakini bersama kekasihnya juga tak ada kabar sama sekali. Mengomel pada anak buahnya,rasanya sudah tak perlu lagi karena dia yang mencari langsung pun tak dapat menemukannya.    "Mas!! Ini kopinya Nara taruh di sini ya," ucap gadis itu dengan lembut. Tidak, tepatnya pura-pura lembut. Azka bergeming dan masih kembali menenggelamkan tubuhnya ke dalam air, berpura-pura baik pada Nara sudah membuatnya sesak,ingin rasanya dia meluapkan emosinya pada gadis itu,gadis yang menyebabkan dia kehilangan Alina. Sayangnya,dia harus tetap pura-pura baik dan peduli pada Nara karena gadis itu sakit,tak tega rasanya Azka menyakitinya yang sudah tervonis hidup tak lama lagi. "Mas..." Panggil Nara lembut seraya mendekati Azka yang sudah duduk di pinggir kolam, "kamu kenapa? Aku perhatiin akhir-akhir ini kamu selalu pulang lebih cepat dari biasanya,kamu ada masalah di kantor?"    Azka menoleh pada gadis yang sekarang berstatus istri sahnya,pria itu hanya menarik ujung bibirnya dan tersenyum. "Ga pa-pa,kamu ngapain di sini?" "Aku bawain kamu kopi kesukaan kamu,tuh aku taruh di meja. Kamu mau aku bawain ke sini? tawarnya dengan memasang wajah sok polosnya. Azka hanya mengangguk sebagai tanda setuju atas tawaran gadis itu. 'Minuman kesukaan? Asal kamu tau saja alasanku menyukai capuccino adalah karena Kakak kamu menyukainya.' batin pria itu.     Nara kembali duduk di samping Azka setelah meletakkan nampan berisi secangkir kopi capuccino lengkap dengan cemilan yang menemaninya. Azka mengambil gelas dan menyeruput kopinya. 'Lin..bahkan untuk hal sekecil ini pun membuat aku rindu kamu, kopi buatan Nara beda dengan buatan kamu.'     "Gimana,Mas? Enak ga?" "Enak, rasanya seperti kopi," ujar Azka tak lupa memberikan senyuman manisnya.  "Itu kan emang kopi,masa iya mau rasa duren hahhaa " Nara selalu baik padanya,jadi dia akan merasa sangat jahat jika berbuat sebaliknya pada gadis itu.    "Kamu kenapa?" tanya Azka lembut,dahinya berkerut melihat sorot mata Nara yang sendu setelah tawanya mereda. "Ah enggak,aku ga kenapa-napa,cuma..." "Cuma apa?" pria itu penasaran atas ucapan Nara yang menggantung. "Aku mau ajak kamu liburan kalau kamu ga sibuk," ucap Nara takut-takut.     Azka menghela napas berat, lagi-lagi ucapan dan permohonan terakhir Alina padanya membuat hatinya benar-benar gelisah,satu sisi dia ingin mencari alasan agar tak pergi berlibur kemanapun dengan gadis itu,tapi sisi lainnya ingat janjinya pada Alina yang akan membuat DINARA FERONIKA bahagia selam hidup bersamanya.    "Tapi kalau kamu lagi sibuk,ga pa-pa deh Mas, besok-besok aja." Azka tau ada rasa kecewa di sana dan.. "Oke,kamu mau liburan ke mana? Jangan jauh-jauh karena kamu masih sakit." "Hah,jadi kamu mau liburan sama aku?" "Iya,kamu mau ke mana?" Nara tersenyum sinis, keyakinannya bertambah bahwa dia akan bisa merebut hati Azka untuk dirinya,bukan untuk Alina  lagi. "Mmmm..aku ikut kamu aja deh, kemanapun asal sama kamu,aku mau," ucapnya,itu sengaja agar Azka yang memilih tempat dan pria itu akan betah di tempat pilihannya sendiri. "Kok gitu? Kan kamu yang mau ajakin aku liburan,jadi terserah kamu mau ke mana aja kita akan ke sana," ucap Azka. Bagaimanapun dia tak akan tega dan pastinya merasa sangat bersalah jika nanti gadis itu benar-benar meninggal dan dia belum wujudkan keinginannya,yang dia takutkan Nara jadi hantu dan gentayangan mencarinya. "Ga deh,Mas. Kamu aja yang tentuin." Nara tak mau mengalah. Azka sejenak berpikir seraya kembali menyeruput kopinya.  "Oke,aku tau kita harus ke mana," ucapnya seraya melemparkan senyum pada Nara,gadis itu tersenyum. "Ke mana memangnya?" "Nanti aja,kamu pasti tau. Terima kasih kopinya," ujarnya seraya bangun dan melilitkan handuk di tubuhnya yang hanya tertutuo boxer.  Azka benar-benar menganggap Nara hanya sebagai adiknya saja,ada rasa sayang,tapi tak ada rasa cinta. Dia sudah kenal Nara sejak enam tahun lalu,saat gadis itu masih duduk di bangku SMP dan Alina baru masuk kelas dua SMA. Azka hanya satu tingkat lebih tinggi kelasnya dari kekasihnya itu dan mereka menjalin hubungan di masa SMA mereka.   Pria itu tak tau bagaimana sikap asli Nara,karena setiap dia ke sana,Nara selalu tak ada di rumah atau jika ada,gadis itu hanya akan melempar senyum ramah pada Azka,dan Azka yakin dia gadis baik. Tapi, untuk tante Niken,mamanya Nara,pria itu sudah hafal betul siapa Niken dan bagaimana dia bersikap pada Alina.     *** Romi sudah memasukkan koper ke mobil,dia juga akan ikut menemani tuanya yang sedang liburan,Romi heran pada Azka yang masih belum bisa melihat siapa Nara sebenarnya. Tapi,pria bertubuh tinggi itu tak mau menjelaskan apapun pada Azka,dia merasa bosnya harus tau sendiri bahwa yang dia nikahi tak ada bedanya dengan benalu yang menggerogoti secara halus.   Dia tetap bersikap sopan pada Nara,karena Nara tak tau bahwa dirinya memihak pada Alina.    "Silahkan Nyonya," ucapnya semanis mungkin ketika membuka pintu mobil untuk istri tuan mudanya. Nara dengan angkuhnya masuk ke badan mobil, sementara Romi menghela napas berat. Mereka menunggu beberapa menit setelah itu Azka menyusul masuk ke badan mobil dan duduk di samping Romi,bukan di belakang dengan Nara. "Mas,kamu kok duduknya di depan?" tanya Nara kesal, pasalnya dia sudah berharap kalau Azka akan duduk di belakang bersama dirinya dan dia bisa bermanja-manja pada pria yang dia anggap membuka celah untuk dirinya di hati.   "Romi bukan supir,jadi tak sepantasnya dia duduk di depan sendiri seperti sopir," jawab Azka santai,padahal itu hanya akal-akalanya karena tak ingin bersama Nara. "Tapi kan..." "Tuan,apa kita bisa berangkat sekarang?" potong Romi yang menahan tawanya,Azka tau pria itu tak menyukai dirinya jika dekat-dekat Nara. "Ayo, sesuai perintah saya tadi." "Siap Tuan."     Romi melajukan mobilnya menuju tempat yang sudah Azka katakan padanya tadi,hanya dua puluh menit mobil itu berhenti di sebuah rumah besar yang jelas saja membuat Nara menganga,bukan kerena takjub,tapi karena heran kenapa mereka ke sana. "Mas,kita ngapain ke sini?" tanyanya membuat Azka terkekeh. "Kita pamitan dulu ke Mama kamu dan Papa." "Astaga..aku pikir kamu mau ajak aku liburan ke sini," ujar Nara terkekeh. Nara menarik tangan Azka masuk ke rumahnya,rumah yang ia huni bersama keluarga Nugroho. "Mamah....Pah..." Panggilnya dengan riang. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka,dari gaya berpakaiannya sudah jelas bisa di lihat bahwa bukan wanita sembarangan. "Sayang...anak mama tumben pulang ga ngabarin dulu," ujar wanita paruh baya itu. Nara memeluknya, sementara Azka hanya bersalaman dengannya. "Tante,Papa di mana?" tanyanya. "Eh,kok masih panggil tente,ini mama loh,Nak." Niken membuat senyum begitu manis. "Oh iya,lupa. Papa di mana?" tanyanya lagi. "Papa kamu di kamar,lagi ditungguin makan sama si Mbok." "Ya udah,saya ke sana dulu,Ma," katanya lirih di ucapan terakhir. Berat hatinya memanggil wanita itu sebagai mama.    Azka menuju salah satu kamar dalam rumah mewah itu,pria membuka pintu perlahan dan melihat mbok Darmi sedang menyuapkan makanan pada pria yang tengah terbaring di sana. "Assalamualaikum,Pah..." ujar pria itu seraya mendekati ranjang. "Wa'alakumsalam,eh Den,kapan datangnya?" Mbok Darmi menyambut Azka. Ya,hanya dia yang menyambut pria itu karena yang dia panggil Papa tak bisa menjawabnya.    Azka mendekati ranjang,meraih satu tangan bebas pria itu,karena satunya lagi tertusuk jarum infus, sudah hampir dua bulan dia dalam kondisi seperti ini. "Pa..apa kabar?" tanya Azka. Namun, tanpa di duga,pria itu menarik tangannya secara pelan dari tangan Azka, seolah tak mau di sentuh pria itu. Azka tau alasannya. "Maafin Azka ya,Pah. Sampai sekarang,Aka belum bisa temuin keberadaan Alina. Tapi,Azka ingat janji Aka ke Papa,kalau Azka akan terus mencarinya." Bulir bening mengalir dari sudut mata pria yang terkulai lemah tak berdaya dalam ranjang,matanya bergerak melirik Azka dengan tatapan benci. "Aka tau,Papa pasti marah sama Aka karena Alina pergi setelah Azka menikahi Nara. Tapi,Pah. Satu yang harus Papa tau,di hati Aka cuma ada Alina, pernikahan dengan Nara terjadi sebagai bukti cinta Aka pada nya,Alin yang minta Aka nikahi Nara karena Nara sakit. Papa tau kan,gimana keras kepalanya Alina jika sudah menentukan suatu keputusan." Azka terus berceloteh, menggenggam dan mengecup tangan pria paruh baya yang semakin hari semakin melemah. Azka mengalihkan perhatian pada Mbok Darmi yang begitu sedih mendengar ucapan Azka,Azka tidak tau saja kedua orang itu tau di mana keberadaan Alina,hanya saja si mbok sudah berjanji akan menutupi hal itu. "Mbok,titip Papa ya. Saya mau ajak Nara liburan,yah..bukan keinginan saya sih,itu kemauan Nara,tapi saya  harus penuhi. Mbok jaga Papa, mungkin saya  di sana cuma tiga hari, ingat apapun yang terjadi pada Papa,kabari saya," pesanya panjang lebar. "Siap,Den." "Ya udah,saya mau ke puncak. Pah..cepet sembuh ya,Azka rindu ngopi bareng Papa dan Alina, do'ain Azka biar bisa bawa Alin pulang."  Azka mengecup kening yang terperban itu,pria paruh baya itu tak bisa menggerakkan tubuhnya pasca kecelakaan dua bulan lalu, berbicara saja terasa sulit baginya. Padahal obat dan perawatan dokter selalu rutin di berikan,tapi tak ada kemajuan sedikitpun. Apalagi setelah pernikahan Nara dan Azka membuat dirinya semakin drop,Azka yakin itu karena Nugroho kecewa padanya yang seperti mempermainkan Alina, padahal di sini dirinyalah yang di permainan anak sulung dari Nugroho tersebut. ****   Di bawah sana,Nara tertawa riang bersama ibunya,Niken. "Kamu hebat sayang,kalau sudah mau di ajak liburan seperti ini,itu artinya dia sudah mulai terima kamu di hidupnya," kata Niken dengan bangganya. "Aku juga yakin Mah,semoga aja dia benar-benar jatuh cinta sama aku dan aku ga perlu drama sakit-sakitan dan pingsan terus-terusan. Capek,Mah..." "Mama ngerti sayang,tapi kamu harus  kuat jalanin sandiwara ini sampai pria itu benar-benar bertekuk lutut pada kamu." "Siap,Mah. Eh,itu dia Mah,kita ga boleh ngomong apa-apa,nanti kedengeran." Nara mengode pada mamanya, seorang pria berjalan seraya memainkan ponsel di tangannya setelah keluar dari kamar Nugroho. "Oke!!"         "Ayo berangkat!" ajak pria itu. Nara mengangguk dan segera berpamitan pada mamanya. "Have fun sayang." "Thank you mom..." Setelahnya mereka sudah masuk ke mobil yang membawa mereka ke tempat tujuan yang Nara tak tau ke mana. Dia menurut saja pada Azka, padahal jika dia tak pura-pura sakit,dia akan meminta liburan ke Eropa,bukan di dalam negeri seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD