3 MENJEMPUT CIMUT

763 Words
# RAGA POV # Bandara Soekarno Hatta, Terminal 2 Gue menunggu dengan sabar ketika akhirnya cewek yang gue tunggu nongol juga. Tanpa sengaja, seulas senyum muncul di bibir gue. Dari jauh, gue sudah dapat melihat sosok dirinya yang sedang celingukan mencari keberadaanku. Gue langsung melambaikan tangan dan dengan segera, mata bulat Cimut langsung berbinar-binar saat melihat gue yang sedang berdiri di dekat pintu keluar. Wajahnya yang bulat dengan pipi chubby tidak banyak berubah. Ia hanya terlihat sedikit lebih langsing dan gaya fashionnya lebih stylish. Kami berdua langsung berpelukan erat sambil cipika cipiki di kedua pipi. Gue hampir tidak mengenali sosok Cimut yang dulu gue antar pergi ke bandara sebelum ia ke Jerman. Cimut yang sekarang terlihat jauh lebih dewasa tapi jejak sikap kekanak-kanakkannya tetap terlihat. “Udah lama, Ga?” Kepala gue menggeleng keras. Maaf, tapi gue bohong lagi. Gue udah nunggu cewek manis ini dari sejam yang lalu. Gue sengaja datang jauh lebih awal supaya dia ga sibuk nungguin gue datang. Dari dulu, gue yang biasanya selalu nunggu Cimut datang setiap kali kita janjian ketemu. Entah walaupun hanya sekedar nongkrong di cafe atau bantuin dia ngerjain tugas sekolah. “Ayo, Mama Santi udah nungguin lu dari tadi..” kata gue sambil membawakan 2 kopernya yang berukuran super besar. Cimut tersenyum manis dan merangkul lenganku sambil berjalan bersama menuju ke parkiran mobil. Setelah kami memasukkan koper ke dalam mobil, gue langsung duduk di kursi pengemudi dan Cimut duduk di sebelahku sambil langsung mengenakan sabuk pengaman. Tak ada yang berubah diantara kami. Dari dulu, kami berdua memang seperti ini. Kompak. Senasib sepenanggungan. Perlahan, mobil gue pun meluncur mulus di jalanan. …………………………………………………………………………. Mobil gue berhenti di sebuah rumah berpagar coklat yang terasa sangat akrab dan familiar buat gue. Di halaman depannya yang luas, ada sebuah pohon sirsak yang entah kenapa tak pernah berbuah tapi daunnya banyak sekali sehingga memberikan keteduhan bagi rumah tersebut. Gue tersenyum sendiri saat turun dari mobil dan mulai membantu Cimut untuk menurunkan kedua kopernya dari dalam bagasi. Cimut sendiri langsung memanggil-manggil ibunya dengan nada riang. “Maaaaa……Cimut nihhhhh…..” Mbak Ningsih langsung tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar untuk kami berdua sementara Mama Santi langsung memeluk anaknya. “Mmmmmm… mama kangen bangettttttt…… “ kata Mama Widya sambil menciumi wajah Cimut bertubi-tubi dengan gemas sementara Cimut terkikik kegelian dan balas memeluk ibunya. “Mmmmmmm… Cimut jugaaaa…” Gue menatap pemandangan tersebut dengan penuh haru. Mama Widya merupakan salah satu idola dan mama teladan untuk gue. Dia cantik, lembut, dan sayang banget sama gue dan Cimut. Walaupun kami berdua sama sekali tidak punya pertalian darah secara biologis tapi sejak gue berusia 14 tahun dan diangkat anak sama Oom Adrian dan Mama Widya, perlakuan mereka sangat hangat sama gue. Ga da bedanya sama Cimut yang merupakan anak kandung mereka sendiri. “Eh, ada Raga. Makasih ya, Ga? Udah mau jemput Cimut. Masuk yuk…Mama udah masakin masakan kesukaan kamu dan Cimut. Semur daging sama cah kol. “ ajak Mama Santi sambil tersenyum lembut pada gue. Gue baru saja mau menolak ketika tiba-tiba tangan Cimut menggamit lenganku dan memaksaku untuk masuk ke dalam rumahnya. Hiks! Sumpah! Gue ga berdaya kalau Cimut udah maksa gini. Baiklah… kali ini saja. Perlahan, gue memasuki rumah yang sangat akrab bagiku. Selama 12 tahun sebelumnya, gue pernah tinggal di tempat ini dan menjadi bagian dari keluarga Cimut. Ada banyak cerita, tawa dan kenangan yang tak terpisahkan di rumah ini. Gue bisa lihat kalau Mama Santi masih memajang foto-foto keluarganya dalam berbagai acara resmi maupun acara keluarga. Foto-foto pernikahan Mama Widya dan Papa Adrian sewaktu mereka masih muda dulu. Foto-foto wisudaku dan Cimut pada saat kami lulus SMP dan SMU. Foto-foto ulang tahun kami. Lalu, foto-foto saat kami liburan bersama. Ah, gue kangen masa-masa itu. Tapi di satu sisi, gue juga tahu diri. Entah sejak kapan, perasaanku padanya mulai berbeda. Seperti kuncup bunga yang tumbuh dan mulai mekar. Di mata gue, sosok Cimut sudah bukan lagi sekedar adik perempuan yang menggemaskan seperti dulu tapi ia sudah berubah menjadi seorang wanita. Semua yang ada di dalam sosok tubuhnya dapat membangkitkan gairah dan fantasi liarku sebagai seorang laki-laki dewasa.  Lalu, tepat ketika Cimut beranjak dewasa, tepat setelah Cimut lulus SMU, gue melakukan sesuatu padanya. Sebuah kebodohan. Kesalahan.  Atau entahlah apapun namanya itu. Kemudian, sejak hari itu, gue putuskan untuk langsung meninggalkan rumah Mama Widya dan mulai hidup mandiri. Meninggalkan banyak pertanyaan untuk mereka berdua. Ya, berdua. Karena Papa Adrian meninggal akibat sakit kanker paru-paru yang dideritanya saat Cimut masih SMU dulu. Otomatis, gue adalah laki-laki kedua yang langsung naik jabatan untuk mengurusi mereka berdua. Menggantikan tugas Papa Adrian. Tapi kini, malah gue meninggalkan mereka karena rasa bersalah yang teramat dalam. Maaf, Mama Widya…. Maaf, Cimut…. Gue sama sekali ga pantas untuk menerima kebaikan kalian lagi di sepanjang hidup gue…   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD