Elang Dirandra

1587 Words
Jam menunjukkan pukul enam petang lewat tiga puluh menit. Saat ini keluarga Wardana sedang berkumpul makan malam. “Kamu nginep di sini hanya semalam aja?” tanya Hansa pada putri kesayangannya. “Iya, Pa. Aku bilang ke Mama Nita nginepnya cuma semalam aja, jadi besok pagi udah harus balik,” jawab Vara dengan santainya. Hansa tampak mengangguk-anggukan kepala saja mendengar penuturan dari putri semata wayangnya. “Suami kamu nggak ikut nginep di sini lagi?” tanya Hansa. Memang sudah menjadi rahasia umum jika pria itu tidak pernah ikut menginap Vara di rumah keluarganya sendiri. Jadi sepasang paruh baya itu tidak kaget jika pria itu tidak ikut bersama dengan Vara. “Nggak, Pa! Dia kan harus kerja,” sahut Vara tidak peduli. Perempuan itu tampak tidak mau ambil pusing. Selama ini ia selalu menutupi suaminya yang tidak pernah mau menginap di rumah kedua orang tuanya. Namun, sekarang ia tidak peduli mengenai penilaian keluarganya terhadap suaminya. “Tadi Nak Riga sempat datang ke sini nyusulin Vara, tapi cuma bentar aja habis itu dia langsung pulang duluan karena Vara masih mau di sini. Apalagi tadi juga masih ada Elang, jadi makin betah lah dia di sini,” sahut Ratu. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu memberi tahu kepada suaminya mengenai apa yang terjadi. Bahkan, ia menceritakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Riga kepada dirinya tadi. “Loh … kapan anak itu pulang dari Australia?” tanya Hansa dengan raut wajah yang sudah terlihat keheranan. “Katanya sih kemarin pagi dia sampe di Indonesia,” jawab Ratu. “Terus sekarang Elang di mana? Udah pulang?” tanya Hansa lagi. Tentu saja pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu merasa heran karena tidak melihat keponakannya yang di maksud. Padahal biasanya pemuda itu selalu betah tinggal di rumahnya. “Udah pulang tadi sore. Padahal aku udah nyuruh dia nginep di sini, tapi katanya nggak bisa karena ada acara penting,” ucap Vara menjelaskan. “Anak itu memang selalu aja sibuk. Padahal kalau dia masih di sini mau Papa ajak nonton bola bareng,” ucap Hansa setelah menghela napas panjangnya. Tentu saja ada kekecewaan tersendiri karena Elang sudah pulang. Hansa memang sangat dekat dengan salah satu keponakannya tersebut karena memang sejak kecil Elang sering main ke rumahnya. “Maklum, Pa. Namanya juga pengusaha sukses, koneksinya ada di mana-mana. Masih untung dia bisa menyempatkan diri pulang ke tanah air di sela-sela kesibukannya yang luar biasa dan jadwalnya yang sangat padat,” sahut Ratu. “Kerja keras itu memang bagus, tapi kalau terlalu padet kan nggak bagus juga buat dia, Ma,” ucap Hansa sambil menyuapkan makanannya ke dalam mulut. “Nggak bagus gimana sih, Pa?” tanya Ratu dengan raut wajah yang sudah tampak kebingungan. “Dia jadi susah dapet jodoh karena nggak ada waktu buat dia cari pasangan. Waktunya udah habis buat kerja terus, makanya sampe sekarang dia belum punya pendamping hidup, kan?” pungkas Hansa yang sedikit kesal dengan keponakannya tersebut. Sampai saat ini Elang masih terus menunda pernikahannya. Usianya sudah lebih dari cukup untuk pria itu memulai berumah tangga. Namun, alasan yang diberikan Elang selalu sama, jika dirinya masih belum memiliki calon yang cocok untuk dia jadikan sebagai pendamping hidupnya. “Padahal sebentar lagi umurnya udah kepala tiga, tapi masih aja belum dapat pacar,” ujar Hansa kembali. Topik pembicaraan di meja makan kali ini sepertinya seputar kehidupan Elang Dirandra. Kehidupan pribadi CEO muda tersebut sepertinya memang selalu menarik untuk dibahas. Hansa sendiri juga heran dengan jalan pikiran Elang yang sampai saat ini masih juga belum kepikiran untuk menikah. Jangankan untuk menikah, calon saja sepertinya pria itu masih belum memilikinya. “Baru juga dua puluh tujuh tahun, Pa. Tentu masih jauh lah ke tiga puluh tahun. Masih mudah loh, biar dia menikmati masa-masa kebebasannya sebelum nantinya dia harus bertanggung jawab penuh terhadap istri dan anak-anaknya,” sahut Ratu mencoba membela keponakannya tersebut. Memang seperti itulah yang dipikirkan oleh Ratu. Perempuan itu sangat mendukung jika Elang harus menikmati kesendiriannya dulu sebelum akhirnya ia harus fokus terhadap keluarganya sendiri. Tentu saja menikah itu membutuhkan kesiapan mental bukan hanya sekedar sebuah angka yang menurut banyak orang sudah sepantasnya menikah. Biar Elang menyelesaikan dulu segala permasalahan dirinya sebelum membawa anak gadis orang masuk ke dalam kehidupannya. “Tapi kalau seperti itu malah nggak bagus buat anaknya, Ma. Dia udah dewasa untuk membina sebuah rumah tangga, dan Papa rasa dia sudah siap untuk menghadapi pernikahan,” jawab Hansa. “Kalau itu biar menjadi urusan anaknya sendiri, Pa. Lagi pula dia juga kayak santai-santai aja meskipun sendiri. Mungkin dia memang masih belum siap dan masih ingin bebas. Kalau dia ngerasa udah siap, pasti nanti dia juga akan menikah tanpa harus disuruh,” ucap Ratu disertai dengan sebuah senyuman. “Apa kita kenalin aja sama anak temannya Papa? Dia anaknya cantik, sopan, dan juga berpendidikan tinggi. Siapa tau aja mereka akan cocok,” ujar Hansa dengan antusias. Di dalam keluarga Wardana pendidikan memang menjadi hal yang paling utama. Menurut mereka dengan pendidikan yang tinggi minimal pengetahuan mereka juga akan tinggi pula. Vara yang tadinya tampak diam saja sambil mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya tampak mulai ingin membuka suaranya. Perempuan cantik itu tampak mulai ingin turut serta masuk ke dalam pembicaraan yang membuat kedua orang tuanya tampak antusias. “Mending nggak usah, Pa. Biarin Mas Elang memilih pasangannya sendiri. Kita nggak usah ikut-ikutan, takutnya nanti dia malah ngerasa nggak nyaman dan berpikir kalau kita terlalu ikut campur dalam urusan pribadinya,” ucap Vara dengan tiba-tiba. Perempuan itu hanya merasa tidak perlu ikut campur terlalu dalam ke dalam kehidupan pribadi Elang. Ia takut jika perempuan yang akan dikenalkan oleh papanya kepada pria itu jauh dari kriterianya. Belum lagi jika nanti terjadi hal-hal yang tidak dinginkan di dalam rumah tangga Elang, tentu ia tidak ingin papa dan mamanya jadi disalahkan. “Meskipun niat kita baik, tapi tetap saja terkadang ada yang ngerasa sensitif dengan hal-hal yang seperti itu. Kalau terus-terusan didesak, takutnya nanti orangnya malah akan ngerasa tertekan. Lagi pula kalau dia emang pingin nikah, pasti nanti juga akan cari sendiri,” tambah Vara. “Nah … betul itu kata Vara,” timpal Ratu yang setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh anak semata wayangnya. Hansa tampak berpikir. Pria itu juga merenungkan setiap perkataan yang baru saja keluar dari mulut anak perempuannya. Memang benar dengan apa yang dikatakan oleh Vara. Nanti jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dia pasti akan ikut terseret jika dirinya terlalu ikut campur ke dalam masalah pribadi Elang. *** “Mama ngapain kasih ijin Vara nginap di rumah Mama Ratu segala, sih?” tanya Riga dengan raut wajah yang sudah terlihat kesal. Tentu saja Nita yang mendengar keluh kesah putranya tampak keheranan. Bahkan, perempuan itu juga tampak langsung memicingkan kedua matanya ketika menatap ke arah Riga. “Loh … emangnya kenapa? Toh dia juga nginep di rumah orang tuanya sendiri,” ucap Nita dengan acuh. “Masalahnya dia nggak mau aku ajak pulang gara-gara Mama udah kasih dia ijin. Padahal aku ini suaminya loh, Ma. Seharusnya dia bilang dulu ke aku kalau mau pergi ke mana-mana,” pungkas Riga dengan nada kesalnya. Pria yang berprofesi sebagai dokter itu tentu saja merasa tidak suka dengan keputusan mamanya yang dengan seenaknya memberikan ijin kepada istrinya. Di sini perannya sebagai seorang suami seakan terabaikan karena semua harus melalui mamanya. “Tadi kan kamu kerja dan yang ada di rumah cuma Mama, jadi ya wajar aja kalau Vara pamitnya ke Mama. Emangnya dia mau pamit ke siapa kalau bukan ke Mama?” “Kan dia bisa telepon aku dulu, Ma,” sanggah Riga. “Ck …!” Nita pun langsung berdecak kesal. Perempuan itu merasa jika putranya seperti sedang ingin membuat masalah kepada istrinya. Tidak biasanya Riga seperti ini. Bahkan, pria itu tidak pernah mempermasalahkan istrinya yang hendak pergi kemana pun sebelumnya. “Sama aja …! Nggak usah ngadi-ngadi segala. Kenapa sekarang kamu jadi ribet gini, sih?” tanya Nita dengan tatapan yang terlihat sudah tidak bersahabat. Riga seakan frustasi menghadapi mamanya yang selalu merasa benar, menurutnya. Jika seperti ini terus, bagaimana dirinya akan dianggap sebagai seorang suami oleh Vara? “Bukannya ribet, Ma. Tapi yang namanya pasangan itu harus saling ngabarin satu sama lain kalau ingin ke mana-mana,” ucap Riga dengan santainya. Tentu saja ia tidak ingin terlihat jika dirinya sedang kesal. Oleh karena itu, ia pun berusaha mengatur emosinya agar bisa terlihat kembali normal. “Ya … ya, terserah kamu lah! Tapi emangnya kamu juga ngabarin Vara kalau mau pergi ke mana-mana?” tanya Nita balik. Tentu saja pertanyaan dari mamanya seakan memukul telak tepat ke jantungnya. Dia sendiri tidak pernah mengabari Vara jika ingin ke mana-mana. Namun, mana mungkin dia mengatakan yang sebenarnya kepada mamanya. Yang ada dirinya malah akan dirujak oleh perempuan yang telah melahirkannya tersebut. “Jelas lah, Ma! Namanya juga suami istri,” jawab Riga acuh sambil berusaha memainkan ponselnya. Pria itu hanya ingin mengalihkan rasa canggungnya saja. Mana mungkin dia akan membiarkan mamanya melihat dirinya yang tengah canggung seperti ini. Egonya terlalu tinggi untuk orang lain yang mengetahui titik lemahnya. Nita pun hanya mencebikkan bibirnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sendiri seakan tidak yakin dengan jawaban yang diberikan oleh putranya. Namun, karena tidak ingin memancing emosi Riga, lebih baik dia mengalah. Berbeda dengan Pandu. Pria paruh baya itu tampak menyunggingkan senyumannya karena menyadari jika putranya sudah mulai sedikit memperhatikan Vara. Tentu saja sebagai orang tua, dia sangat berharap jika perubahan sikap Riga bisa menjadi hal yang positif di dalam kehidupan rumah tangga sang putra. Berbeda dengan Keysha yang tampak melihat ke arah kakak angkatnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD