Bab 1 (Awal dari semuanya)
Raline Pov
Saat pertama kali dirinya melihat pria itu, dibenaknya hanya ada kata tampan. Bagaimana tidak, wajahnya begitu rupawan. Alisnya tebal, matanya hitam begitu tajam, rahangnya sangat tegas, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang tebal membuat wajah tampan Adjie terlihat sempurna di matanya. Pemuda itu tak banyak bicara hanya sesekali menjawab jika Choki---kekasihnya yang bertanya terlebih dahulu. Dia tahu seharusnya ia tidak boleh menyukai kekasih dari sahabatnya itu, karena jelas saja itu terlarang baginya.
Semuanya berjalan normal setelah hari itu, ia masih berpacaran dengan Choki dan tidak lagi bertemu dengan Adjie. Dia hanya mendengar dari mulut Alanis saja mengenai kekasih sahabatnya tersebut, Adjie perhatian, Adjie romantis, dan segala pujian-pujia manis yang di layangkan Alanis kepada sang kekasih. Alanis jelas beruntung memiliki kekasih yang begitu sempurna.
Di usia Adjie yang yakni 30 tahun, ia telah memegang perusahaan yang di kelola keluarganya. Siapa sih yang tidak kenal dengan perusahaan Danishwara? Perusahaan besar yang memiliki bisnis diberbagai bidang yaitu, properti, kontruksi, jasa, dan kesehatan. Mal-mal besar yang selalu dirinya dan Alanis kunjungi pun itu salah satu dari bisnis keluarga Adjie. Dan kini Adjie menjabat sebagai pempimpin di perusahaan properti dan kontruksi.
Selain kekayaan yang dimiliki oleh Adjie melimpah, pria itu juga terkenal bertangan dingin dan angkuh. Sifat baik dan manisnya hanya ditunjukan kepada kekasih hatinya saja---Alanis. Wajar jika dirinya dan mungkin beberapa wanita ingin seperti Alanis. Dia iri, tentu saja. Tapi dia pun juga bersyukur mempunyai kekasih seperti Choki. Meskipun Choki hanya pekerja di perusahaan biasa dan hanya menjabat sebagai manager keuangaan. Tapi pria itu tetap selalu memanjakannya, Choki tidak pelit meskipun dompetnya lebih tipis dari Adjie kekasihnya itu selalu memberikannya barang yang disukainya.
Dan betapa beruntungnya dia yang memiliki kekasih seperti Choki yang selalu membuatnya tertawa. Choki tidak kaku seperti Adjie, tidak pendiam seperti Adjie dan Choki tentunya bisa mengajaknya untuk bercanda. Dia tidak bisa bayangkan jika ia memiliki suami seperti Adjie yang kaku seperti robot, dan tidak bisa membuatnya tertawa mungkin pernikahannya akan membosankan nanti.
Tapi dia harus salut pada Alanis sang sahabat, yang begitu betah dengan Adjie. Oke lah wajah tampan Adjie di atas rata-rata, bahkan dia harus akui jika wajah Adjie lebih tampan daripada wajah kekasihnya. Tubuh Adjie pun tinggi dengan dirinya saja hanya sebatas d**a pemuda itu, belum lagi tubuhnya yang seperti atlet begitu sempurna sebagai laki-laki. Tapi tetap saja, baginya Choki lebih baik, yah sudah seharusnya dia memuji kekasihnya bukan kekasih orang lain yang notabene kekasih sahabatnya.
Alanis benar-benar beruntung, dia akan menjadi nyonya Danishwara selanjutnya. Melihat dia berada di sebuah hotel mewah milik keluarga Daniswara. Setelah berpacaran lima tahun akhirnya Adjie melamar sahabatnya itu, dia tentu saja senang melihat sahabatnya yang akan merubah statusnya. Meskipun dia hanya satu kali bertemu dengan Adjie dan mungkin dua kali dengan hari ini di acara mereka. Kesibukan yang Adjie miliki membuatnya hanya bertemu dua kali dengannya, dan itu sama sekali tidak masalah baginya karena jika dirinya bertatapan dengan Adjie, ia merasa tidak nyaman. Tatapan mata Adjie yang menatapnya selalu membuatnya terintimidasi, ia selalu mengalihkan tatapannya ke arah lain dan itu sama sekali tidak baik bagi kesehatan jantung dan mentalnya.
Kali ini ia terpaksa memakai pakaian yang terbuka, dress berwarna gold yang begitu pas di tubuhnya itu begitu memukau penampilannya, dress tanpa lengan dengan hiasan mutiara-mutiara di atas dadanya ditambah bagian belakang dress nya yang terbuka membuat dirinya terlihat seksi. Apalagi kali ini rambutnya yang panjang ia gelung, dan menyisakan beberapa anak rambut di sekitaran wajahnya. Wajah ayu Raline yang biasa polos kini bermakeup meskipun makeup yang dipakainya tidak tebal, namun mampu membuat Choki yang berada di sampingnya kini semakin erat merangkul pinggangnya. Tatapan tamu pria yang begitu terang-terangan memandang Raline dengan pandangan kurang ajar. Maka wajar saja jika Choki sedari tadi merangkul pinggangnya erat, tak pernah mau meninggalkan Raline sedikitpun.
Acara pertunangan Alanis dengan Adjie berlangsung lancar, ia ikut bahagia melihat kebahagian Alanis dan ia berdoa agar ia pun bisa seperti sahabatnya tersebut.
Hotel yang menjadi tempat pertunangan Alanis dan Adjie berada di salah satu hotel ternama di Bali. Dan ia tentu saja tidak bisa langsung pulang ke Bandung---tempat tinggalnya selama ini. Awalnya ia ingin ikut dengan Choki yang pulang juga hari itu, tapi Alanis memintanya untuk tidak pulang. Dengan terpaksa ia menyetujui, toh besok hari libur dan ia tidak mempunyai acara apa-apa.
Entah dirinya yang salah kamar atau dirinya yang mabuk, karena tadi sebelum dirinya ke kamar ia membawa gelas kecil berisi minuman keras. Ia penasaran sungguh, makanya ia membawanya ke kamar dan meminumnya di dalam. Setidaknya ia bisa menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan merepotkan orang lain. Raline meminum wine berwarna putih itu dalam sekali teguk, tenggorokannya serasa terbakar. Dan minuman yang ia minum terasa manis dan pahit, dan ia benar-benar menyesal mencicipi minuman memabukan itu.
Kepalanya tiba-tiba berputar, ia merasa pusing sekarang. Dress yang dia pakai masih melekat pada tubuh rampingnya, dan ia merasa malas untuk berganti. Toh yang ada di kamarnya hanya ia seorang, jadi tak apa sepertinya jika ia tidur memakai dress ini.
Baru saja ia merebahkan tubuhnya di kasur, tiba-tiba saja ia mendengar bunyi pintu yang di ketuk beberapa kali membuat ia mengerang kesal dan bangkit dari kasur. Raline berjalan sempoyongan, efek minuman alkohol itu membuatnya gila dan lebih gila lagi jika orang yang tengah menggedor pintu kamarnya tersebut.
Ketika ia membuka pintu kamarnya, benda kecil dengan aroma memabukan seketika meraup bibirnya kasar. Raline dengan sekuat tenaga mendorong tubuh pria yang dengan berani menciumnya. Tenaga yang dimilikinya terkuras habis sehingga ia membiarkan pria yang tidak diketahui namanya itu merobek dress yang dipakainya dengan paksa sehingga kini tubuh indah Raline terekspos di hadapan pria itu.
Adjie---pria yang sama-sama mabuk itu tidak menyadari jika dirinya salah kamar. Ia menyunggingkan senyumnya melihat tubuh indah di hadapannya. Sedangkan Raline yang kewarasannya setengah-setengah itu mencoba untuk menutupi tubuh bagian atasnya, karena tubuh bagian bawahnya tertutupi oleh dalaman.
"Kau begitu menggoda , Dear..." ucap Adjie dengan mata laparnya menatap tubuh Raline dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dengan pandangan evilnya.
Raline yang masih setengah sadar, setengah gila itu menggeleng panik melihat Adjie yang mulai mendekatinya kembali.
"Stop! Kamu salah kamar, Djie. Ini kamarku!" seru Raline yang menahan matanya agar tetap terbuka sambil terus memundurkan tubuhnya ke belakang.
Adjie mendengus.
"Kau bercanda? Aku tidak mungkin salah kamar, ini kamar yang aku pesan untuk kita berdua. Dan berhenti untuk menolakku!" tegasnya mantap sambil menatap Raline tajam.
Namun tak berapa lama sedetik kemudian Adjie menerjang Raline membuat wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa karena kesadarannya kini berada di ambang batas.
Dan kamar itu menjadi saksi bisu atas malam panjang yang dilakukan Adjie dan Raline.
***
Menjelang pagi Raline terbangun dari tidurnya, ia ingin membuang air kecil. Begitu ia akan beranjak dari ranjangnya sebuah lengan besar memeluknya, awalnya ia berpikir jika yang memeluknya itu Alanis. Tapi lengan Alanis dan lengan yang memelukanya dari belakang itu berbeda. Lengan Alanis jelas kecil tapi yang memeluknya itu begitu besar dan berotot.
Sedetik kemudian ia tersadar, ia melirik ke bawah. Tubuhnya berselimutkan selimut tebal berwarna putih, terlihat kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Matanya seketika melotot horor melihat tubuhnya tidak terbalut selembar kain pun, dan jangan lupakan jika area sensitif nya terasa sakit. Pikiran buruk segera menerpanya, dan kilasan-kilasan kemarin malam mulai menari dikepalanya.
Jantungnya berdegup begitu kencang takut jika pria yang dalam ingatannya itu sama dengan pria yang berada di sampingnya itu. Begitu ia menolehkan wajahnya ke samping, ia menahan napasnya. Ternyata pria di sampingnya itu pria yang akan menjadi suami orang, lebih tepatnya suami dari sahabatnya sendiri.
Oh Tuhan...
Dia bisa gila jika terus berada di sini, menatap wajah Adjie yang tengah tertidur membuat kilasan-kilasan semalam yang terjadi diantara mereka berdua. Bagaimana Adjie menciumnya, memandangnya lapar, dan menyentuhnya semua itu kini menari-nari di atas kepalanya.
Tidak-tidak ia harus segera pergi dari sini sebelum Adjie mengetahuinya, yah pergi sebelum dia memulai kekacauan.
Dengan cepat ia ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya meskipun masih terasa sakit saat berjalan, ia tidak peduli. Dan tanpa pamit, tanpa meninggalkan kecurigaan apapun tentangnya Raline pergi dari hotel tersebut.
Dan Raline berdoa jika kesalahan satu malamnya itu tidak menimbulkan kekacauan yang tidak diingkan olehnya.
Satu jam kemudian, Adjie terbangun dari tidur nyamannya. Matanya terbuka ia mengalihkan ke samping, tempat tidur di sebelahnya sudah kosong. Dan ia mulai mengingat kejadian saat malam tadi, saat dirinya masuk ke dalam kamar Raline dan saat dirinya memaksa untuk tidur dengannya. Oh sial, dia segera menyibak selimut yang masih menutupi tubuhnya. Mata cokelat gelapnya itu seketika melotot begitu melihat noda darah pada sprei tempat mereka tidur semalam.
Sialan dia memerawani Raline.
Alkohol dan obat perangsang satu kesatuan sialan, dan cemburu sialannya itu harus membuat ia meniduri Raline. Dia ingat dengan jelas jika semalam ia menyentuh Raline bukan Alanis. Ia memang salah kamar dan seharusnya ia bisa mengontrol. Tapi karena cemburu melihat Alanis mengobrol dengan mantannya terdahulu, membuat dia cemburu buta dan ia malah meniduri Raline. Seharusnya ia menghukum Alanis dengan menidurinya sampai wanitanya itu tidak bisa berjalan. Tapi ia malah salah kamar, kamar yang seharusnya ia datangi itu di sebelah kamar ini. Dan dirinya benar-benar menyesali perbuatannya semalam, dia seperti pria b******n yang beruntung.
Memanfaatkan Raline dengan rasa cemburunya, wanita itu pasti kesulitan berjalan. Setelah ia menyentuhnya berjam-jam dengan kasar, pengalaman pertama yang menakjubkan mungkin bagi Raline. Karena jelas baginya, meniduri Raline adalah kesalahan nikmat dan indah yang tidak bisa ia tampik begitu saja. Raline yang perawan, tubuh wanita itu yang responsif setiap sentuhan dan cumbuannya membuat dia gila maka wajar saja jika dirinya meniduri sahabat sang kekasih berjam-jam. Dan ia berharap jika kesalahannya kemarin malam tidak menimbulkan kekacauan, karena dia lupa memakai pengaman yah semoga saja jika benihnya itu tidak menghasilkan bayi. Karena toh setiap dirinya tidur dengan Alanis sampai puluhan kali, tanpa pengaman wanitanya tidak hamil juga. Jadi seharusnya itu tidak mengganggunya bukan? Yah seharusnya.
***