Bab 2 (1 bulan kemudian)

2098 Words
Raline berjalan mondar-mandir di apartementnya, ia merasa wawas. Sudah beberapa hari ini tubuhnya merasa tidak enak, ia sering tertidur di kantor, nafsu makannya berubah drastis. Terlebih bentuk tubuhnya kini yang terasa membengkak, lenggannya lebih terlihat berisi. Pipinya mendadak chuby, dan jangan lupakan jika tubuh bagian depannya terasa senstif ketika tak sengaja bersentuhan dengan apapun. Ia mulai berpikir, tidak mungkin bukan jika dirinya hamil? Lagi pula masa priode tamu bulanannya itu memang sering tidak teratur. Dan ia merasa jika ia tidak mungkin hamil, karena ia merasakan mual dan tidak enak badanya itu baru beberapa hari ini. Mungkin dirinya akan datang bulan, karena gejalanya hampir sama. Jadi seharusnya ia tidak perlu khawatir atau pun takut, toh mana mungkin jika dirinya hamil. Mereka hanya tidur sekali, tidur sekali dengan beberapa kali posisi dan beberapa kali rahimnya di banjiri air semen milik pria itu. Gila! Dia tidak tahu tidur dengan Adjie membuatnya kesulitan berjalan, dua hari dia tidak masuk kantor. Sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah yang pria gila itu lakukan, bibirnya bengkak seperti di sengat lebah. Dadanya begitu sakit setiap dia akan memakai pakaian, ia selalu meringis menahan nyeri. Ia berpikir apakah Alanis mengalami hal yang sama dengannya ketika sehabis bercinta dengan Adjie? Jika yah, dia benar-benar kuat, Adjie begitu gila jika berada di atas ranjang dan Alanis lebih gila lagi dapat bertahan dengan Adjie. Tapi setidaknya Alanis lebih beruntung darinya karena dia akan menjadi istri Adjie pria yang mengambil mahkotanya. Sedangkan dirinya? Dia hanya bisa menangis pilu meratapi nasibnya, mahkota berharganya di ambil oleh calon suami sahabatnya. Dan dia tidak tahu apa Choki akan memutuskan hubungannya jika ia tahu dirinya kini tidak perawan lagi. Menghela napasnya dengan kasar ia mulai berjalan meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi. Raline mulai menanggalkan semua pakaiannya, ia memandang pantulan tubuhnya di cermin yang terlihat berbeda. Lekuk tubuhnya lebih berisi dari yang diingatnya, ia memandang dadanya yang terlihat lebih besar dari sebelumnya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan kejadian satu bulan lalu, saat dirinya bercinta dengan Adjie. Pria itu benar-benar pria b******k yang beruntung, sekuat tenaga ia mencoba menolak dan membrontak tapi ia tidak bisa. Adjie terlalu kuat dan sulit untuk dia lawan dan tubuh mereka berdua yang dipengaruhi oleh alkohol membuat kesatuan yang pas untuk menghabiskan malam panjang itu. Raline masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa bibir tebal Adjie yang menari-nari pada bibirnya, serta pada bagian tubuhnya yang lain. Dia masih bisa merasakannya dengan jelas setiap sentuhan Adjie pada seluruh tubuhnya. Dan jika mengingat itu semua selalu membuat tubuhnya merinding, Adjie benar-benar sialan. Seakan tersadar jika dirinya tengah melamunkan hal yang iya-iya, membuat ia tersadar jika dirinya belum membasuh tubuhnya. Raline dengan segera membasuh tubuhnya, kemudian mengambil sabun yang biasa ia gunakan. Namun, baru saja ia membuka sabun favoritnya. Raline seketika melempar sabun tersebut, tiba-tiba saja perutnya serasa di aduk-aduk membuatnya mual ingin muntah. Ia memuntahkan isi dalam perutnya, tapi yang keluar berupa cairan bening yang terus menerus keluar dari dalam mulutnya. Membuat tubuhnya lemas tidak berdaya, ia jadi malas untuk mandi. Akhirnya ia memilih mandi tanpa menggunakan sabun, dia pikir tidak masalah baginya jika tidak memakai sabun toh tinggal menyemprotkan parfume semuanya beres. Pikirnya. Setelah selesai dengan acara bersih-bersih ia pun lantas keluar dari dalam kamar mandi. Raline berjalan menuju lemari, ia mulai memilih pakaian yang dikenakannya. Ia mengambil kemeja biru langit, dengan rok span di atas lutut berwarna hitam. Selesai dengan pakaiannya, ia menuju meja riasnya mematut dirinya di cermin merasa sudah siap. Ia pun mengambil parfume yang selalu ia pakai, tapi lagi-lagi ketika dirinya baru membuka tutup botol parfumenya itu, perutnya kembali berulah. Ia ingin kembali muntah, padahal ia merasa sudah baikan tadi tapi kenapa sekarang malah kembali mual. Perutnya benar-benar mesti di periksa, asam lambungnya pasti naik. Akhir-akhir ini memang dirinya susah untuk makan, dia jadi pilih-pilih makanan tidak seperti biasanya dan itu benar-benar membuatnya stress. Akhirnya ia memilih minyak telon untuk menggantikan parfume dan beruntungnya tidak membuat perutnya mual. Benar-benar aneh memang, tapi tak apalah yang penting dirinya tidak bau badan. Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Raline pun hanya memguncir rambut panjangnya asal kemudian bergegas pergi meninggalkan apartemennya. *** Selama di kantor Raline benar-benar tidak fokus bekerja. Ia sering mengantuk, kadang ia mengomeli teman seruangnnya karena menyetel lagu-lagu melow yang membuat perasaannya tiba-tiba ingin menangis. Dan beruntunglah jam kantornya sebentar lagi selesai, ia harus segera mengeceknya. Karena ia merasa ada yang aneh pada perutnya, tadi saja saat dia makan siang bersama beberapa teman kantornya. Ia tiba-tiba saja ingin muntah ketika mencium aroma makanan dengan bau yang menyengat, seperti rendang misalnya atau sambal terasi. Padahal dua makanan itu makanan kesukaannya, tapi kenapa sekarang ia malah balik membencinya. Dia sudah seperti wanita hamil muda, dan ia benar-benar takut akan kenyataan tersebut. Sibuk dengan pikiran negatifnya membuat Raline tidak sadar jika sudah waktunya pulang. Sampai ia sendiri ditegur oleh salah satu teman kantornya yang melihatnya sedari tadi menatap kosong komputer di hadapannya. "Line... You oke?" tanya Tika sambil menghampiri meja Raline. Raline seketika tersadar kemudian mengerjap-erjapan matanya. "Hah, kenapa Tik?" tanya balik Raline dengan bingung. Tika menggeleng melihat Raline. "Aku yang harusnya nanya ke kamu, kamu nggak apa-apa dari tadi liatin terus layar komputer?" Seakaan tersadar akan tindakan bodohnya, Raline terkekeh merasa konyol. "Hehe sorry, aku lagi banyak pikiran." "Dasar, yaudah yuk pulang." ajaknya yang langsung di angguki Raline. Raline pun mulai membereskan meja kerjanya yang masih berantakan dengan segala macam. Sedangkan Tika sendiri menunggunya dengan sabar, setelah selesai dengan beres-beresnya. Mereka berdua pun keluar dari ruangan, lalu mulai berjalan meninggalkan kantor. Sesampainya di lantai dasar kantor mereka, mereka berdua pun berpisah. Tika sudah ditunggu pacarnya di loby, sedangkan dirinya meneruskan langkahnya menuju jalan besar yang membawanya ke tempat pemberhentian bus. Namun ketika dirinya akan berjalan menuju halte, ia melihat apotik yang letaknya tidak jauh dari sana. Dengan ragu ia berjalan menuju apotik tersebut, dengan pelan ia mendorong apotik itu seketika harum carbol menyengat penciumannya. Seharusnya ia muntah karena bau, tapi entah kenapa ia biasa-biasa saja benar-benar aneh kan? Begitu ia sampai di depan meja besar yang menyatu dengan kasir, salah seorang karyawan di sana menyambutnya dengan senyum ramah. Ia menanyainya apa yang dirinya cari, Raline dengan ragu menyebutkan apa yang ia butuhkan. Wanita yang di perkirakan seumurannya itu tersenyum kemudian menyebutkan beberapa merk alat test kehamilan. Tanpa pikir panjang Raline menyetujuinya bahkan ia membeli 10 alat test tersebut, tanpa sadar ia sedari tadi diperhatikan oleh seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda dengan netra gelap cokelat tajamnya itu terus memerhatikan Raline dengan pandangan yang sulit di artikan. Sampai kemudian ia disadarkan oleh penjaga wanita di hadapannya. "Ehem maaf, Mas. Jadi Mas mau beli yang mana yah?" tanya pegawai apotik merujuk pada sebuah merek pengaman, itu yang terus menatapnya sambil tersenyum penuh minat. Adjie menghela napasnya kemudian menyebutkan merk dari kedua pengaman yang sering dibelinya itu, membuat si pegawai wanita mengangguk dengan senyum lebarnya. Begitu ia membalikan tubuhnya, ia sudah tidak menemukan Raline di sana. Dengan kesal begitu pegawai yang memberikan barang yang ia butuhkan, ia segera mengambil barang tersebut tanpa mengambil kembaliannya. Adjie keluar dari apotik dengan langkah besar, netra cokelat gelapnya ia arahkan kesemua penjuru jalan. Menghela napasnya dengan lega begitu menemukan wanita yang dicarinya itu, tanpa menunggu lagi ia bergegas menuju mobilnya untuk mengejar Raline yang sudah melangkah jauh. Raline berjalan dengan pikiran yang berkecamuk, dia seperti orang linglung. Untuk apa dirinya membeli test pack sebanyak ini? Seharusnya ia pergi saja ke dokter kandungan agar lebih akurat. Tapi ia takut, takut jika dirinya benar-benar hamil. Raline yang berjalan sambil melamun tidak menyadari jika sedari tadi ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang. Begitu mobil itu berhenti karena bus yang berada di belakangnya itu tiba-tiba berjalan menyusulnya, membuat ia mendengus kasar karena ternyata Raline telah menaiki bus tersebut. Dengan kesal Adjie kembali menjalankan mobilnya, mengikuti bus yang ditumpangi Raline. Bus yang ditumpangi Raline berhenti di pinggir jalan, Raline turun tak lama kemudian. Wanita dengan tubuh mungil itu kembali berjalan untuk menuju apartemennya yang jaraknya sudah dekat. Dan Adjie kembali mengikuti Raline dari belakang, sampai kemudian ia melihat langkah Raline yang perlahan melambat karena apartemen yang didiaminya telah sampai. Adjie segera menepikan mobilnya di sisi jalan, ia segera mengejar Raline yang sudah berjalan masuk ke dalam. Begitu pintu lift akan tertutup, sebuah tangan besar menahannya membuat Raline terperangah karena kaget. Ia kemudian memijit tombol lift untuk terbuka dan membiarkan Adjie masuk. Adjie menatap tajam wanita di sampingnya itu, ia memerhatikan tubuh Raline yang terlihat berisi. Wanita itu terlihat berbeda dari saat terakhir dia melihatnya, Raline terlihat lebih seksi membuat tenggorokannya tiba-tiba kering. Sial Wanita bertubuh mungil itu benar-benar sialan. Adjie terus menatap Raline dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuat Raline yang berada di sampingnya berdiri dengan gelisah. Dirinya benar-benar gugup dan merasa terancam, terancam akan tatapan Adjie kepadanya. "Kau... Apa kau hamil?" tanya Adjie setelah beberapa detik dirinya berada di dalam lift. Pertanyaan tidak terduga Adjie membuat tubuh Raline seketika menegang, dia diam saja tidak menjawab pertanyaan Adjie. Untuk apa dia menjawab kalau dirinya pun tidak tahu. Sebelum Adjie kembali bertanya, pintu lift telah terbuka membuat Raline bisa bernapas dengan lega. Ia pun segera keluar dari lift tersebut, Adjie yang melihat Raline keluar dari lift dan enggan menjawab pertanyaannya membuat pria tinggi itu mengejar langkah Raline yang terlihat tergesa-gesa. Raline benar-benar takut akan kehadiran Adjie yang tiba-tiba. Dari mana pria itu bisa tahu apartemennya, dan dari mana dia bisa menyimpulkan jika dirinya hamil. Dengan terburu-buru ia memencet tombol yang berada di samping pintu apartemennya, begitu pintunya terbuka Raline segera masuk dan hendak mengunci pintu. Lagi dan lagi usahanya tidak berhasil membuat Adjie bisa masuk ke dalam apartemennya. Raline memundurkan tubuhnya dengan pelan sambil menelan saliva nya dengan berat. Tatapan mata Adjie benar-benar membuatnya takut, sebenarnya apa yang pemuda itu inginkan darinya? Kenapa dia terus mengikutinya. "Jadi?" tanya Adjie lagi sambil menatap Raline dengan tatapan menuntut. "A-aku tidak tahu," jawabnya pelan sambil menunduk. "Kalau begitu cepat test, aku akan menunggumu di sini." ucapnya final dengan nada yang tidak ingin di bantah membuat Raline seketika mendongak menatapnya. "Cepat, aku tidak mempunyai banyak waktu. Mau aku yang membantumu cek? Atau kau sendiri yang mengeceknya?" ujarnya lagi dengan seringai yang entah kenapa membuat Adjie terlihat jauh lebih tampan. Raline mendengus dengan kasar, ia kemudian berbalik menuju kamar mandi meninggalka Adjie sendiri. Di dalam kamar mandi Raline mengeluarkan semua test pack yang dibelinya dengan beberapa merk ternama. Ia kemudian mulai mencoba satu persatu dan menunggunya, membuat Adjie yang berada di depan pintu kamar mandi Raline berjalan mondar-mandir dengan berbagai pikiran. Raline sendiri hanya bisa terdiam membatu begitu melihat hasilnya, semua test pack yang dia coba menunjukkan hasil yang sama, yaitu garis dua. Dan dirinya benar-benar lemas, bagaimana mungkin ini bisa terjadi kepadanya? Dia ingin menangis, tapi tangisannya tidak bisa keluar. Raline yang masih kalut melihat hasil dari test pack nya membua dirinya melamum dan melupakan Adjie yang telah menunggunya. Sampai kemudian pintu kamar mandinya di ketuk membuat ia tersadar. Raline segera mengambil semua hasil test pack nya, ia lalu keluar dari kamar mandi. Wajah datar Adjie menjadi pandangan pertamanya. "Bagaimana hasilnya?" tanya Adjie langsung. Raline tidak menjawab ia hanya menaruh hasil test tersebut di atas nakas membuat Adjie segera melihatnya. Pemuda berwajah tampan namun tembok itu terdiam melihat hasilnya, dan Raline sudah memikirkan bagian terburuknya. "Aku tidak tahu kenapa aku bisa hamil. Aku hanya sekali melakukannya denganmu dan itu yang pertama bagiku, tapi kenapa aku bisa hamil? Kita melakukannya dua minggu lalu dan hanya sekali? Kenapa aku bisa hamil?!" tanyanya entah pada siapa. Ucapan Raline dengan nada sedih dan frustrasi tak membuat Adjie ingin mengeluarkan suara. Pria yang masih menatap test pack itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa bulan lagi dia akan menikah dengan tunangannya, bukan wanita yang sedang mengandung anaknya. Dia benar-benar tidak percaya akan hal ini, masa depan yang sudah ia rancang bersama Alanis kemungkinan besar akan hancur jika kekasih hatinya itu mengetahui masalah ini. Lalu apa yang harus dia lakukan, dan kenapa bukan Alanis saja yang mengandung anaknya. Bukan Raline yang notabene sahabat dari tunangannya itu. "Yeah kau benar, kenapa kau bisa hamil? Padahal aku sering melakukannya bersama Alanis, tapi dia tak kunjung hamil? Sedangkan denganmu, hanya sekali tapi, kau hamil juga, ini membuatku gila!" serunya tak kalah frustrasi. Bagaimana tidak hamil, jika Adjie melakukannya seperti singa yang kelaparan ... "Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Adjie kepada Raline setelah beberapa saat mereka terdiam. Raline yang sedari tadi masih berdiri di depan pintu toilet mendongak menatap sepasang netra gelap yang memandangnya dengan tatapan sulit di artikan. "Aku... Tidak tahu," balas Raline sendu. Adjie mengeluarkan napasnya dengan kasar. "Kalau begitu, gugurkan bayi itu atau.... Kau tinggal denganku---" "Sampai bayi itu lahir." ujar Adjie mantap yang membuat Raline hanya mengerjap-erjapkan matanya bingung. *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD