Chapter 4

1253 Words
Mia menyeret  kopernya kesal  memasuki  bandara. Wajahnya  tidak  lepas  ia tekuk  untuk menandakan bahwa sekarang ia benar-benar sedang kesal. Bahkan sesekali ia sengaja mengentak- entakkan kopernya membuat Rita yang kini akan menemani Mia ke Bali sesuai permintaan ibunya Anita harus berkali-kali tersentak kaget. Ia hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Mia. Rita yang merupakan karyawan di perusahaan milik Anita awalnya sempat kaget saat diberi tahu bahwa Mia akan ikut dengannya untuk mengecek pembangunan Resort di Bali. Rita sangat tahu bagaimana sikap Mia, karena Rita memang teman sekolah Mia dulu. Bahkan Mia lah yang merekomendasikan Rita agar bisa bekerja di perusahaan ibunya. “Jagain bentar ya koper gue, gue mau ke toilet,” ucap Mia memberikan kopernya pada Rita kemudian bergegas pergi. Gadis berkaca mata itu hanya pasrah dan mengambil alih koper milik Mia dan memutuskan untuk mencari tempat duduk. Sementara itu Mia pergi menuju toilet. Namun saat di perjalanan, Mia menyipitkan matanya melihat seseorang yang cukup tidak asing di matanya. Orang itu sedang berjalan dengan seragam pilot lengkap. Salah satu tangannya menyeret koper, sementara tangannya yang lain memegang topi pilotnya. Mia mempertajam penglihatannya untuk memastikan apa yang ia lihat. Saat semakin yakin, Mia langsung berlari menghampiri orang itu. “Daffa....” panggil Mia yang sukses membuat orang yang ia panggil menghentikan langkahnya. Itu artinya Mia tidak salah panggil. “Hai... Mia,” balas orang itu yang ternyata benar, adalah Daffa. “Kok lo ada disini? Terus ini...?” Mia memperhatikan penampilan Daffa dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan heran bercampur kaget. Sementara Daffa yang ditatap seperti itu hanya mampu tersenyum. “Bukannya lo sopir ya?” “Seperti yang kamu bilang, pilot kan sopir juga.” “Jadi lo beneran pilot?” Daffa mengangguk sebagai jawaban. “Oh My God!” Mia menutup mulutnya tidak percaya. “Capt, saatnya briefing. Setelah itu pesawat sudah siap untuk dicek di hanggar,” ucap seseorang yang berseragam sama dengan yang Daffa pakai namun memiliki perbedaan pada barnya. Yang bisa diyakini bahwa pangkat Daffa lebih tinggi darinya.  “Siap, nanti saya akan menyusul,” balas Daffa. Seseorang itu langsung berlalu dari Daffa dan Mia. “Aku  udah  harus  pergi,  aku  duluan  ya,”  pamit  Daffa  kemudian  bergegas  pergi  untuk menjalankan tugasnya. “Daffa.....” Daffa harus kembali menghentikan langkahnya saat lagi-lagi Mia memanggilnya. “Habis 08 angka selanjutnya apa?” tanya Mia. Daffa menautkan alisnya heran. “Maksudnya?” “Nomor HP lo.” Daffa tertawa geli mendengar jawaban Mia, ada-ada saja. Sementara Mia mengerucutkan bibirnya kesal. Dasar tidak peka, pikirnya. Daffa mengeluarkan sesuatu dari dompet yang berada di saku belakang celananya kemudian memberikannya pada Mia. Ternyata adalah sebuah kartu nama. Dengan bersemangat Mia menerimanya. Setelah merasa yang Mia butuhkan sudah ia dapati, Daffa kembali melanjutkan langkahnya. Namun Mia kembali menahannya. “Lo ada flight kemana?” “Sekarang aku mau ke Singapura.”  “Pulangnya kapan?” “2 minggu lagi.” “Ikuttttt....” Daffa lagi-lagi dibuat tertawa dengan sikap Mia. Gadis yang aneh. Pertama bertemu ia terlihat sangat garang, namun lihatlah kini, ia terlihat seperti kucing peliharaan yang manja.  “Aku benar-benar harus pergi. Kalau ada keperluan hubungi kontak di kartu nama aja ya.” Daffa langsung mempercepat langkahnya agar bisa terhindar dari Mia. “Daffa....” lagi, lagi dan lagi Mia kembali memanggil, padahal Daffa sudah cukup jauh. “Aku perlunya kamu, cepat pulang ya...” Mia melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya seolah mengiringi kepergian Daffa. Daffa hanya membalas dengan senyuman dan bergegas pergi. Mia langsung memekik girang sembari melompat-lompat senang. Tak peduli jika ia sekarang sedang menjadi pusat perhatian. Ia memandangi tempat tadi Daffa berjalan, masih terbayang-bayang olehnya wajah tampan Daffa dengan seragam pilot yang membuat ia malah terlihat menggemaskan. Mia sudah bertekat dalam hati bahwa ia akan mendapatkan Daffa. Mia tidak pernah berhubungan dengan seorang pilot selama ini, dan Daffa akan menjadi yang pertama. Entah kenapa rasa antusias Mia kali ini terasa berbeda dengan rasa antusias saat ia bertemu dengan para lelaki tampan lainnya. Kali ini rasa antusiasnya diikuti dengan debaran kuat di dadanya. “Aaaaaaa kalau minta dinikahin sekarang, kecepatan gak ya?” ucap Mia pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian ia tertawa geli menyadari pertanyaan bodohnya. “Mia dicariin dari tadi taunya disini, udah kelar belum ke toiletnya? Entar kita ketinggalan pesawat,” ucap Rita. Ia memutuskan untuk menyusul Mia karena mereka sudah harus segera pergi. “Ah gue udah gak kebelet lagi. Yuk ah pergi,” balas Mia kemudian berjalan mendahului Rita. “Rit lo tau gak, tadi gue ketemu pilot, ganteng banget. Ya ampun Rit, kayaknya dia jodoh gue deh. Kata orang nih ya, kalau kita ketemu jodoh kita, kita bakal rasain rasa deg-degan yang gak pernah kita rasain sebelumnya, dan gue rasain itu sekarang. Dan yang harus lo tau lagi, kami udah ketemu secara gak sengaja selama 3 kali, itu artinya fix dia adalah tulang rusuk gue,” cerita Mia disela-sela perjalanan mereka. Rita hanya bisa menggeleng mendengar ucapan Mia. Hanya tentang prialah yang bisa membuat Mia seantusias itu. Ia dari dulu tidak pernah berubah. *** Mia mengedarkan pandangan ke sekeliling Resort yang sudah hampir siap itu. Hanya tinggal beberapa sentuhan yang akan membuatnya sempurna. Resort yang dibangun di tepi pantai dengan fasilitas yang sangat lengkap ini nantinya akan menjadi salah satu Resort termewah di Bali. Tahun lalu perusahaan milik keluarga Mia sudah membuka Resort di Lombok. Namun setelah melihat peluang yang cukup besar, tahun ini perusahaannya kembali membuka Resort namun lebih mewah di Bali. Sesekali Mia tampak menulis sesuatu di buku catatan miliknya. Berbagai macam laporan dari pekerja disana ia tulis untuk nantinya ia jadikan laporan resmi yang akan ia ajukan kepada pimpinan perusahaan yang tidak lain adalah ibunya sendiri. “Semangat banget kelihatannya Mi,” ucap Rita yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Mia. “Iya dong, biar cepat selesai. Malas banget gue di Bali malah kerja kayak gini. Bali itu tempat liburan, bukan kerja.” “Habis ini kita jalan-jalan yuk, bosan nih gue,” ajak Mia. Rita pun mengangguk setuju. Setelah mengerjakan tugasnya, seperti yang dikatakan Mia tadi, ia ingin berjalan-jalan di Bali. Tujuan mereka pertama kali adalah kafe yang sangat terkenal yang berada di tepi pantai. Sembari duduk-duduk dan merasakan terpaan angin laut, Mia yang teringat kartu nama yang kemarin diberikan Daffa langsung memutuskan untuk menghubungi salah satu kontaknya. Mia memilih untuk mengirim Daffa pesan line. Namun sudah berkali-kali ia mengirim pesan, tidak ada satu pun balasan. Mia memilih untuk menelefonnya, namun nomornya tidak aktif. Mia menghela nafas kasar, sesusah inikah menghubungi seorang pilot? “Eh, itu ada apaan tu?” tanya Rita yang membuat Mia mengalihkan pandangannya dari ponsel dan melihat apa yang dimaksud Rita. “Kalau banyak kamera dan ada artis gitu, berarti lagi syuting,” balas Mia. Sepertinya tak jauh dari mereka duduk sekarang ini sedang ada proses syuting. Maklum saja, Bali menjadi salah satu tempat yang biasa dipakai untuk keperluan syuting. “Lo kan lulusan ilmu komunikasi, kenapa gak kerja gituan aja Mi? Bukannya lo bilang, lo gak suka kerja kantoran ya? Terus keluarga lo kan punya PH, dulu bokap lo juga produser terkenal, kenapa gak lo aja yang ambil alih PH itu?” tanya Rita. Mia terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Rita. “Iya sih, tapi gue belum siap aja buat kerja. Gue masih mau senang-senang,” balas Mia santai. “Mau sampai kapan sih Mi? Selagi masih muda, lagian kasihan nyokap lo.” “Udah ah, gue mau balik ke hotel.” Mia bangkit dari duduknya dan berlalu pergi. Rita hanya mampu menghela nafas melihat sikap Mia yang selalu saja acuh. Entah kapan ia akan berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD