Chapter 3

1690 Words
“Jadi kamu bakal mulai kerja di maskapai yang lama Daff?” Daffa yang sedang duduk santai di pinggir kolam renang sembari menikmati langit malam dibuat cukup kaget dengan kedatangan Alian. “Iya Dad, kan kemarin itu cuma cuti, lagian tugas dari maskapai juga kan,” balas Daffa. Alian mengangguk paham kemudian duduk di kursi yang berada di samping Daffa. Ia teguk kopi hangat yang ada di tangannya sebelum kembali melanjutkan perbincangan dengan Daffa. “Daddy tadi ke kantor?” “Iya,  tapi  Cuma  sebentar.  Cuma  tanda  tangan  beberapa  kontrak  kerja  sama.”  Daffa mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Memang sudah satu tahun belakangan ini Alian meninggalkan segala macam pekerjaan yang berhubungan dengan penerbangan dan lebih memilih untuk memegang perusahaan dan menjalankan beberapa bisnisnya yang berkembang sangat pesat.  Meskipun harus melewati pertimbangan yang sangat panjang dan juga berdiskusi dengan anak dan istrinya, akhirnya inilah yang dipilih Alian. Lagi pula menurut Alian sudah ada Daffa yang kini dapat melanjutkan tugasnya. Namun jika Alian rindu ingin mengendarai pesawat, biasanya ia mengajak Ily berkeliling dengan menggunakan helikopter pribadi milik mereka. Meskipun rasanya tidak sama dengan mengendarai pesawat, namun bagi Alian sudah cukup untuk mengobati sedikit kerinduannya. “Oh iya, jadi gimana sama cewek yang kamu tolong tadi? Siapa namanya?... ah ya, Mia,” tanya Alian saat tiba-tiba mengingat seorang gadis yang tadi diceritakan oleh putranya. “Ya gak gimana-gimana Dad.” “Ceritanya cukup sampai disitu aja? Gak ada tukaran nomor HP gitu?” tanya Alian dengan senyum menggoda putranya. “Dad...” Alian dibuat tertawa mendengar balasan putranya. “Come on Boy, mommy kamu udah protes terus sama daddy, katanya kenapa pesona yang daddy punya gak menurun di kamu, sampai sekarang belum ada satu cewek pun yang kamu bawa kesini.” Daffa hanya mampu tertawa mendengar penurutan Alian. Mommy nya selalu saja seperti itu. “Dad, aku masih terlalu muda, lagian jodoh akan datang pada waktunya kan,” sela Daffa. Ah bahkan Alian sudah sangat hafal dengan kalimat itu. “Ya udah, daddy mau masuk dulu. Kamu jangan lama-lama disini, angin malam gak bagus buat  jomblo,” ledek Alian. Daffa hanya mampu tertawa menerima ledakkan dari ayahnya itu. *** “Lo belanja atau mau buka butik sih Mi?” “Gue itu kalau lagi suntuk ya harus belanja, kalau enggak ya masih suntuk.” Mia terus melanjutkan proses memilih baju yang ia rasa akan sangat pas jika ia gunakan meskipun sekarang ditangannya sudah banyak baju yang berhasil ia pilih setelah mengelilingi took ini selama hampir satu jam.  Kini mia sedang berada disalah satu pusat perbelanjaan ditemani oleh temannya yang ia pilih secara acak yaitu Anggun, temannya saat kuliah. Mia memang tidak begitu memiliki teman yang akrab. Hal itu disebabkan Mia dulu lebih sering menghabiskan waktu dengan pacarnya dari pada teman-temannya.  Tidak memiliki aktivitas lain selain rebahan membuatnya cukup frustasi. Akhirnya ia memilih untuk berbelanja. Seperti wanita pada umunya, berbelanja adalah suatu hal yang sangat disenangi. Tidak perduli dengan kaki yang bisa saja lelah mengitari toko demi toko yang penting ada sesuatu yang bisa dibawa pulang.  “Kayaknya udah cukup deh.” Mia melihat hasil buruannya hari ini yang sudah cukup banyak itu. Sepertinya ia harus segera menyudahinya, karena jika tidak, bisa saja ia memborong habis isi toko yang cukup ternama ini.  “Bukan cukup lagi ini mah, udah berlebihan.” Anggun terlihat mencibir. Mia hanya menjulurkan lidahnya mengejek, tidak peduli. Kedua gadis itupun tampak bergegas menuju kasir. Mia memberikan kartu debitnya pada penjaga kasir Karena ia sedang tidak memiliki pegangan uang tunai. Jangan tanya mengapa Tamia tidak memiliki kartu kredit karena nanti pasti kalian tahu sendiri jawabannya.   “Maaf mbak, saldonya kosong. Jadi tidak bisa digunakan.” Mia membulatkan matanya mendengar ucapan penjaga kasir itu. Saldo di rekeningnya kosong? Yang benar saja.  “Masa sih mbak? Lagi gangguan deh kayaknya. Coba lagi mbak.”  “Silahkan masukin pin nya lagi mbak.” Mia kembali menekan beberapa digit pinnya.  “Tetap gak bisa mbak.” Mia mulai panic. Ia mencoba mengingat mengapa bisa saldonya kosong. Tidak butuh waktu lama gadis itu berhasil mengingat. Pantas aja saldonya kosong, ia kan sudah menghabiskan semua tabungannya untuk liburan keluar negri saat itu. Mia merutuki dirinya yang bisa-bisanya lupa kalau ia kini sudah tidak memiliki sisa tabungan.  “Anggun, gue pinjem uang lo dulu dong,” bisik Mia pada Anggun  “Gue mana punya uang sebanyak itu. Lo lihat aja total belanjaan lo berapa,” balas Anggun. Mia mengela nafas kasar. Memalukan sekali sudah mengambil barang sebanyak itu namun tidak mampu membayar. Mia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Rasanya ingin sekali ia menghilang. Belum lagi orang-orang dibelakangnya sudah banyak yang mengantri untuk membayar.  “Pakai ini aja Mbak.” Tiba-tiba seseorang berdiri disebelahnya sembari menyodorkan sebuah kartu kepada penjaga kasir. Mia sontak langsung menoleh ke orang tersebut sedangkan yang ditatap hanya memperlihatkan senyuman. Mata Mia menyipit memperhatikan seseorang yang seperti tidak asing itu.  “Elo yang ketemu di bandara waktu itukan?” orang itu mengangguk sebagai jawaban.  “Ini Mas, terimakasih.” Penjaga kasir mengembalikan kartu itu pada pemiliknya.  “Yaudah aku duluan ya, buru-buru soalnya.” Orang itu hendak berlalu dari hadapan Mia namun dengan cepat Mia menahannya.  “Thanks banget ya Daff, gue gak tau lagi deh gimana kalau gak ada lo. Tapi gue janji bakal ganti. Tapi jumlahnya banyak banget. Lo abis jual oplet lo ya?” Mia bertanya lucu membuat Daffa terkekeh geli. Ternyata gadis ini masih berpikiran bahwa ia adalah sopir.  “Gak usah diganti, aku duluan ya.” Daffa sempat melemparkan senyum manisnya sebelum meninggalkan Mia yang diam mematung ditempatnya. Senyuman Daffa mampu membuat darahnya berdesir. Bahkan Daffa terlihat lebih tampan dari pertemuan pertama mereka saat itu.  “Asli Mi, kaki gue lemes. Dia ganteng banget, plis kenalin ke gue.” Tak jauh berbeda dengan Mia, Anggunpun tampak diam mematung melihat kepergian Daffa dengan tatapan kagum. “Enak aja lo! Meskipun dia sopir, kalau nanti gue sukses dengan hasil kerja keras gue sendiri, gue bakal modalin dia buat usaha biar jadi pengusaha sukses dan nikahin gue,” ucap Mia penuh percaya diri. Anggun membulatkan matanya tidak percaya. Sopir? Yang benar saja. Ia bahkan terlihat sangat berkelas dan lebih cocok menjadi sopir sebuah pesawat.  Untung saja Daffa sedang berada di tempat yang sama dengan Mia pada saat itu. Kebetulan saat itu Daffa sedang menemani adik-adiknya berbelanja, lebih tepatnya membelanjakan mereka. Acha dan Icha selalu suka saat Daffa asda di rumah, karena pada saat-saat seperti itu hanya dengan sekali rengekan saja mereka bisa mendapatkan apapun dari kakaknya. Tadinya mereka berkeliling ditoko itu melihat-lihat mana yang bagus, namun karena tidak ada yang disukai oleh kedua adik kembarnya, akhirnya merekapun memutuskan untuk pidah ke toko lain. Namun saat akan mengikuti adik-adiknya keluar toko, tiba-tiba saja Daffa mendengar suara sesorang yang sepertinya pernah ia dengar sebelumnya dari arah kasir yang dekat dengan pintu masuk. Benar saja, ternyata disana ada gadis yang ia temui di bandara kemarin. Sayup-sayup Daffa mendengar sepertinya ada masalah saat melakukan pembayaran. Entah apa yang mendorong Daffa mendekat dan langsung memberikan kartu kreditnya kepada penjaga kasir itu untuk membayar seluruh belanjaan gadis itu. Ya menurut Daffa karena ia kenal, ia merasa harus membantunya, tidak ada salahnya bukan?  *** “Tamia Karbela!” Suara yang terdengar begitu tegas dan penuh kegeraman itu membuat Mia yang sedang melahap setoples keripik singkong yang berada di pangkuannya tersentak kaget. Kini sudah berdiri seorang wanita dengan setelan khas kantor di hadapannya. Wanita itu kini sedang menatap Mia dengan tatapan mengintimidasi. Mia merutuki dirinya dalam hati, karena terlalu asyik menonton sinetron kesukaannya, ia jadi lupa kalau ibunya akan pulang mala mini dari kerjaannya diluar kota. Padahal tadi ia sudah berencana sebelum ibunya pulang ia akan segera mengurung diri di kamar agar hal seperti sekarang ini tidak terjadi. Sekarang yang bisa dilakukan Mia hanya pasrah, apa pun yang terjadi nantinya. “Masih ingat jalan pulang?” tanya Anita Bellana yang tak lain adalah ibu dari Mia. Seingatnya sebelum ia pergi keluar kota putrinya itu sedang pergi entah kemana. “Ingat dong Ma, kalau lupa kan ada google maps.” “Mama lagi serius!” Mia langsung bungkam. Kalau sudah begini, ibunya tidak akan berhenti sebelum ia puas melampiaskan kekesalannya. “Kamu ini maunya apa sih? Keluar negeri gak bilang-bilang sama mama dulu. Putus lagi sama pacar kamu? Gak ada cara lain apa buat galau selain keluar negeri? Setiap putus selalu kabur, kalau putusnya satu atau dua kali gak papa, tapi ini berkali-kali. Kamu sadar gak sih yang kamu lakuin ini bikin mama pusing,” omel Anita bertubi-tubi. Untuk sesaat Mia memutar bola matanya malas. “Mia keluar negeri bukan karena galau Ma. Gak ada ya sejarahnya Tamia Karbela galau. Mia Cuma bosen aja kalau gak punya pacar, gak ada yang ngajak jalan-jalan, jadi Mia jalan aja keluar negeri. Malu dong kalau tetap di Jakarta tapi jalan sendiri,” balas Mia santai. “Jalan-jalan, senang-senang, cuma itu kan yang kamu mau? Mau sampai kapan sih Mia?” nada Anita terdengar melemah di akhir ucapannya. “Lusa kamu pergi ke Bali, lihat pembangunan  Resort kita disana. Laporkan sama mama perkembangannya. Kamu mama rekrut jadi karyawan di perusahaan kita. Kalau kamu menolak, semua fasilitas kamu mama tarik,” ucap Anita tegas kemudian berlalu dari hadapan Mia. “Ma... Ma... Mama... gak bisa gitu dong, Mia gak mau kerja di kantor,” tolok Mia mengejar ibunya.  Yang benar saja, ibunya bahkan sudah menarik kartu kreditnya waktu itu saat Mia tidak ingin ikut keluar kota untuk mengurusi urusan kantor mereka. Masa Mia harus kehilangan fasilitas lainnya yang hanya tersisa mobil itu. “Jadi kamu maunya kerja dimana?” tanya Anita. Anita tersenyum miring saat melihat Mia tidak bisa menjawab. selalu saja seperti itu. “Kerjakan yang mama suruh sebelum kamu bisa menjawab pertanyaan mama.” ucap Anita lagi sebelum benar-benar berlalu ke kamarnya. Mia mengusap wajahnya kasar. Bukannya tidak tahu ingin kerja apa, Mia hanya merasa ia belum siap untuk bekerja. Ia merasa kesal, dulu ibunya memaksanya untuk segera lulus kuliah, kini ia sudah selesai kuliah, ibunya memaksanya untuk bekerja. Mia tahu Anita yang sebagai orang tua tunggal setelah kematian suaminya beberapa tahun lalu ingin Mia juga sukses, namun menurut Mia kesuksesan itu tidak perlu dikejar terburu-buru. Selagi ada waktu bersenang-senang, kenapa tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD