Chapter 2

1958 Words
Mobil yang dikendarai Daffa atas arahan Mia berhenti disalah satu Universitas swasta di Jakarta. Setelah mesin mobil mati sempurna, Mia langsung memoles sedikit wajah cantiknya. Sementara itu, Daffa hanya menatap gadis itu bingung. Berbagai macam pertanyaan sudah siap ia lontarkan pada Mia, namun sepertinya ia harus menunggu hingga Mia selesai berdandan. “Kita ngapain kesini?” Tanya Daffa setelah Mia selesai berdandan. “Jadi gini, di dalam ada salah satu teman gue, oh ralat, teman bersaing gue lagi wisuda.” “Terus? Kenapa kamu bawa aku?” Tanya Daffa lagi. Mia tampak menghela nafas sejenak. “Gue sama dia itu tetanggaan, dari kecil kami itu selalu sama-sama tapi juga selalu bersaing dalam berbagai hal. Jadi waktu gue wisuda, dia datang sama pacarnya yang pengusaha itu dengan begitu bangganya. Gue tau sih maksud dia itu buat pamer, makanya gue gak mau datang sendiri, nanti dia pasti kira kalau gue kalah,” jelas Mia. Benar-benar pertemanan yang aneh pikir Daffa. “Kalau gitu namanya bukan teman,” ucap Daffa pelan namun masih bisa didengar oleh Mia. Mia memutar bola matanya malas, tak perduli apa yang Daffa pikirkan tentang dirinya. Baginya yang terpenting ia tidak ingin terlihat kalah dari Zara. “Kenapa kamu gak ajak pacar kamu?” Tanya Daffa. Lagi-lagi Mia terdengar menghela nafas panjang. “Seminggu yang lalu gue putus sama dia karena dia selingkuh. Terus gue ke Jepang buat nenangin diri dulu, dan gue baru sampai di Jakarta tadi. Makanya gue tadi buru-buru di bandara karena gue mau cari pasangan dulu buat datang ke acara wisuda Zara, teman gue ini. Tadinya gue mau minta tolong salah satu teman cowok gue, eh tapi berhubung ada lo, jadi ya lo aja.” “Nah kan benar, kamu yang tadi gak hati-hati jalannya. Kamu yang nabrak aku, bukan aku yang nabrak kamu.” “Ya maaf, kalau gak gitu, belum tentu lo mau bantuin gue.” “Iya gak papa,” balas Daffa sembari tersenyum. Mia sempat dibuat terpana dengan senyuman Daffa dan suaranya yang berat namun terdengar lembut. “Ya udah yuk turun,” ajak Mia mengalihkan fokusnya dari senyuman Daffa. *** Seperti acara wisuda pada umumnya, sangat ramai. Mia tampak menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Zara. Sementara Daffa terlihat tenang berdiri di samping Mia, mengikuti kemanapun gadis itu pergi. Setelah sekian lama, akhirnya Mia dapat bernafas lega saat melihat keberadaan Zara bersama beberapa temannya tanpa keluarganya. Sepertinya keluarganya sudah pergi, maklum saja keluarga Zara terbilang sibuk. Mia langsung menggandeng tangan Daffa untuk menghampiri Zara. “Hai Zar, Congrats ya,” ucap Mia sembari memberikan sebuah buket bunga yang cukup besar yang sudah ia siapkan sedari tadi. “Thanks Mi,” balas Zara. “Hai No,” sapa Mia pada Nino, kekasih Zara yang sedang berdiri di samping Zara. “Btw siapa nih?” Tanya Zara melirik Daffa yang sedari tadi hanya diam sembari melemparkan senyumnya. “Oh iya, kenalin ini Daffa, pacar gue.” “Daffa,” ucap Daffa memperkenalkan diri yang juga dibalas oleh Zara dan Nino. “Wow, baru. Gue kira lo bakal datang sendiri setelah diselingkuhin Reno,” ucap Zara yang hanya dibalas Mia dengan senyuman kecut. Mia dan Zara terlibat perbincangan kecil. Dari perbincangan kecil itu Daffa dapat mengetahui bahwa Mia adalah Sarjana Ilmu Komunikasi yang baru saja wisuda beberapa bulan yang lalu, sementara Zara adalah Sarjana Ekonomi. Dan dari perbincangan mereka, sepertinya setelah wisuda ini Zara dan Niko akan pindah ke Singapura untuk memulai bisnis disana dan berencana menikah disana juga. Daffa merasa heran kenapa kedua orang ini bisa menyebut dirinya teman padahal mereka bersaing. Terlihat dari perbincangan mereka yang membanggakan apa pun yang mereka punya dan terlihat sekali tak ingin kalah. Memang setiap orang sepertinya memiliki cara tersendiri dalam berteman. “Udah kerja bro?” Tanya Niko pada Daffa disela-sela obrolan mereka. “Udah,” balas Daffa diiringi senyumnya. “Kerja dimana?” “Disalah satu maskapai di Jakarta,” balas Daffa lagi. “Sebagai?” Tanya Niko lagi lebih ingin tahu. “Pilot.” “Wow... keren juga. Dulu sekolah penerbangan dimana?” Mia yang sedari tadi menyimak perbincangan kedua lelaki itu mulai panik mendengar pertanyaan Niko itu. Ia merutuki dirinya yang lupa memberi tahu apa yang harus Daffa jawab bila muncul pertanyaan seperti itu. Bagaimana jika Daffa menjawab yang aneh-aneh? Tamatlah riwayatnya di hadapan temannya yang sombong itu. “Di California Flight Academy,” balas Daffa. Seketika Mia membulatkan matanya tak percaya, namun ia juga merasa lega. “Wow, keren bro,” puji Niko yang membuat Daffa tersenyum. Daffa melirik Mia yang masih menatapnya tak percaya. Daffa tersenyum seolah memberi tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Daffa tahu pasti Mia khawatir ia tidak bisa menjawab. Ini adalah pertanyaan yang sangat mudah, Daffa hanya tinggal mengucapkan sekolah penerbangannya dulu. Setelah beberapa saat berbincang-bincang, dan Daffa menjawab berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan Zara tentang sekolah penerbangan dan pekerjaannya kini, Mia langsung berpamitan untuk pulang. Sudah cukup bagi Mia merasakan jantungnya yang was-was setiap kali Daffa dilempari pertanyaan, takut ia tak bisa menjawab. Namun sejauh ini, Daffa selalu bisa menjawab pertanyaan apa pun yang dilontarkan untuknya dengan begitu tenang. “ahhh... akhirnya...” Mia menyandarkan tubuhnya di samping mobilnya sambil berkali-kali menghela nafas lega karena berhasil selamat dari berbagai macam pertanyaan Zara dan pacarnya itu. Daffa yang melihat Mia seperti baru saja lepas dari kandang harimau hanya mampu tersenyum kecil. Lucu saja rasanya melihat Mia panik, padahal Daffa yang ditanya saja terlihat sangat santai. Mia adalah gadis yang cantik menurut Daffa. Namun sepertinya ia sedikit aneh. Lihatlah bagaimana anehnya saat ia tiba-tiba menyeret Daffa ke dalam urusannya yang menurut Daffa sedikit tidak penting. Gadis bertubuh langsing dengan tinggi kira-kira sama dengan dagu Daffa, rambut cukup panjang, mata bulat yang terbilang indah, hidung mancung, bibir tipis berwarna pink, serta kulit kuning langsat. “Memang benar ya, membaca itu penting banget. Pasti lo sering baca deh makanya bisa jawab pertanyaan-pertanyaan mereka tadi,” ucap Mia mulai membuka pembicaraan. Daffa terdengar terkekeh kecil. Sudah bertahun-tahun Daffa menggeluti bidang itu, tidak mungkin ia tak bisa menjawabnya. “Udah selesaikan? Aku harus pulang.” “Udah kok, thanks ya. Oh iya, ini buat lo. Anggap aja sebagai ganti rugi waktu lo buat hari ini karena lo gak bisa narik.” Mia menyodorkan lima lembar uang pecahan seratus ribuan kepada Daffa. Daffa melirik uang itu sejenak kemudian kembali tersenyum. “Gak usah, lagian seperti yang kamu bilang, ini bentuk pertanggung jawaban meskipun aku gak salah.” “Beneran? Atau lo gue antar pulang aja ya.” “Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang aja,” tolak Daffa secara halus. “Oke deh kalau gitu, sekali lagi makasih ya.” Daffa mengangguk pelan dengan senyum yang belum pudar. Mia ikut tersenyum kemudian memasuki mobilnya untuk bergegas pergi. “Daffa,” panggil Mia sebelum benar-benar memasuki mobilnya. “Iya?” “Lo ganteng,” ucap Mia sembari menggigit bibir bawahnya gugup. Ia tidak tahan menahan kekagumannya sedari tadi kepada Daffa. Jika orang berpikir Mia adalah gadis yang pemalu, jaim atau sebagainya, orang itu salah besar. Mia adalah pemuja pria. Ia sangat menyukai pria-pria tampan dan tidak akan segan-segan mengagumi ketampanannya secara terang-terangan. Teman-teman dekat Mia sudah sangat hafal dengan sifat gadis itu. Entah sudah berapa kali ia berganti-ganti pasangan, entah itu yang resmi pacaran atau hanya sekedar menjadi gebetan. Mia adalah tipe yang cepat bosan, saat ia melihat yang lebih tampan atau lebih menarik, ia akan berpaling. “Lebih baik lo jadi artis deh dari pada jadi sopir. Main sinetron GGS aja, Ganteng-Ganteng Sopir,” ucap Mia lagi diiringi tawanya kemudian dengan cepat ia bergegas masuk ke dalam mobilnya tanpa berniat untuk melihat reaksi Daffa. Rasanya ia malu karena baru saja menggoda seorang sopir. Ah tapi jika sopirnya seperti Daffa, ia rela meninggalkan mini cooper berwarna coklat miliknya ini dan menaiki angkot Daffa kemanapun ia pergi. Daffa hanya mampu tersenyum melihat kepergian Mia. Benar-benar gadis yang aneh, pikir Daffa. Daffa memang sangat jarang dekat dengan seorang gadis, mungkin karena itulah terkadang Daffa bingung bagaimana menghadapi seorang gadis. Apalagi seperti Mia, benar-benar unik. Daffa mengambil ponselnya di dalam saku. Benar saja seperti dugaannya, sudah banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari orang tua dan adik-adiknya. Wajar saja, ia sudah melampaui waktu seharusnya ia sampai di rumah. Dengan segera Daffa bergegas mencari taksi untuk pulang. *** Daffa menatap kedua gadis dengan wajah serupa di hadapannya dengan memasang wajah memelas. Setelah omelan demi omelan diterima olehnya dari kedua gadis itu, kini ia hanya bisa berharap agar keduanya sama-sama melunak. Ah Daffa sudah menduga hal ini sejak tadi bahwa kedua adik kembarnya itu akan sangat marah karena Daffa pulang terlambat. Daffa mengambil posisi duduk di tengah-tengah mereka. “Udah dong sayang marahnya, kak Daffa kan udah bilang kalau dia telat karena abis nolongin temannya,” bujuk Alian lembut kepada kedua putrinya yang sedari tadi hanya memilih diam dengan posisi duduk memunggungi Daffa. Mungkin sudah lelah mengomeli Daffa. “Katanya kangen, kok sekarang kakaknya malah didiami,” tambah Ily. Acha  dan  Icha  tampak  saling melirik satu  sama  lain.  Sepertinya sedang mentransferkan pikirannya untuk sama-sama memikirkan apa yang harus mereka lakukan sekarang. Namun sesaat kemudian bibir tipis berwarna merah muda milik mereka tertarik membentuk seulas senyuman. Dengan bersemangat mereka langsung sama-sama memeluk Daffa yang saat itu sedang duduk di antara mereka. “Kangennnnnn.....” pekik mereka secara bersamaan. Melepas rindu yang selama ini mereka tahan. “Kakak kangen juga kok,” balas Daffa sembari tersenyum lembut menyambut pelukan hangat kedua adiknya. Alian dan Ily sama-sama tersenyum melihat anak-anaknya yang terlihat sangat saling menyayangi satu sama lain. Pemandangan yang begitu indah bagi mereka tentunya. “Kakak bawa banyak banget hadiah buat adik-adik kakak ini.” “Oh ya? Mau.....” Acha dan Icha berteriak antusias. Sebenarnya selain merindukan Daffa, hal inilah yang juga sangat mereka tunggu-tunggu. Faktanya adalah, Daffa selalu memiliki selera yang baik untuk barang-barang tentang wanita. Mungkin karena sudah sangat sering membelikan sesuatu untuk adik-adik dan mommy nya membuat Daffa sudah sangat hafal apa yang disukai wanita dan merek apa yang paling mereka gemari. “Nanti kakak kasih ya, hadiahnya masih di koper,” ucap Daffa yang langsung mendapat anggukan dari Acha dan Icha. Memang Daffa sudah menyiapkan berbagai hadiah untuk adiknya. Ada tas, sepatu, jam, bahkan Daffa sudah menyiapkan ponsel keluaran terbaru untuk kedua adiknya. Daffa bangkit dari duduknya kemudian berjalan menghampiri Ily yang saat itu sedang berada duduk di samping Alian. Daffa berjalan terus hingga berhenti tepat di belakang ibunya. Ia tiba-tiba mengambil sebuah kalung berlian dari dalam sakunya dan memasangkannya kepada Ily. Ily sempat dibuat kaget oleh aksi putranya, namun sesaat kemudian ia tersenyum saat melihat kalung berlian itu kini sudah sukses terpasang di lehernya. “Kalung yang cantik buat wanita paling cantik.” Daffa mencium pipi Ily lembut. Ily kembali dibuat tersenyum. Tangannya mengelus pipi Daffa penuh sayang. “Makasih Sayang,” balas Ily lembut. “Jam tangan yang gagah buat pria yang gagah.” Daffa menyodorkan sebuah jam tangan dengan merek terkenal pada Alian. “Wah, daddy dapat juga? Kirain khusus cewek doang. Thanks jagoan,” ucap Alian diiringi dengan mengacak-acak pelan rambut putra kebanggaannya. Keluarga ini terlihat sangat bahagia. Obrolan-obrolan kecil yang terjalin diantara mereka terlihat begitu indah. Mereka saling membagikan pengalaman dan ceritanya masing-masing. Rasanya Alian dan Ily sudah sangat sukses menjadi orang tua. Jika mengingat bagaimana perjalanan diawal pernikahan mereka yang begitu sulit, mungkin tak pernah terpikir bagi mereka jika bisa memiliki keluarga seperti sekarang. Ya, perjalanan pernikahan mereka yang berawal dari perjodohan terbilang tidak mudah. Apalagi dulu Ily sangat menentang perjodohan itu membuat Alian harus berusaha ekstra untuk memperjuangkan pernikahan mereka. Mungkin jika dulu tak ada perjuangan, tak akan ada hasil yang memuaskan. Sebab itulah Alian dan Ily selalu percaya dan mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa perjuangan itu perlu. Karena sesuatu yang diraih karena perjuangan, akan memberikan begitu banyak pelajaran, dan berakhir dengan kebahagiaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD