Setelah tadi mereka berdua habis kehujanan dijalan, Sekarang mereka berdua sudah sampai di rumah keluarga bramasta. Tentunya dengan badan yang basah kuyup.
"Rev, mampir dulu. Gue buatin coklat hangat buat Lo." Tawar Qiana kepada Revan. Dia memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.
"Gak, gue langsung pulang aja." Tolak Revan yang juga kedinginan gara-gara tadi jaketnya dia pinjamkan kepada Qiana. Melihat bibir pucat cewek itu, membuat rasa tidak tega menyelinap masuk kedalam diri Revan.
Saat Qiana dan Revan sedang berdebat, Tiba-tiba pintu rumah terbuka, lalu menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sekarang. Rambutnya digelung rapi, bibirnya tersenyum kearah Qiana dan Revan.
"Masuk nak. Qiana itu teman kamu suruh masuk dulu, nanti kalian sakit gara-gara kedinginan." Seru Helena, mama Qiana. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya ketika melihat kedua remaja yang tidak bergeming dari tempatnya.
"Tuh Rev, disuruh nyokap gue buat masuk dulu. Jadi lo gak punya alasan buat nolak. Lagian diluar juga masih hujan, pulang nanti kalau udah reda aja." Bujuk Qiana sambil tersenyum manis kearah Revan. Bibir pucat itu terkesan ramah, persis seperti wanita paruh baya yang berada didepan pintu utama.
Tanpa menjawab Qiana, Revan langsung menghidupkan mesin motornya. Dia memasukkan motornya kedalam halaman rumah Qiana.
Qiana dan Revan berjalan memasuki rumah bersama. Pijakan kaki mereka membuat lantai putih rumah itu basah.
"Assalammualaikum, Ma." Seru Qiana. Padahal mamanya baru saja masuk kedalam rumah. Otomatis jika Qiana mengucapkan salam dengan pelan, mamanya pasti akan mendengarnya.
Revan tidak habis pikir, terbuat dari apa bibir cewek disampingnya, Seperti tidak punya lelah sama sekali. Dia terus berbicara dan berteriak.
"Dasar toa." Gumam Revan yang berada tepat disamping Qiana.
"Gue denger Rev." Kesal Qiana sambil memutar kedua bola matanya malas.
"Bodo amat." Revan seakan tidak perduli. Dia mengusap rambut hitamnya yang basah.
"Bisa gaksih kamu Qi kalau masuk rumah gak usah teriak-teriak" Tegur Helena sambil menasehati anaknya. Putrinya itu memang selalu begitu. Berteriak adalah kebiasaannya dari dulu saat masuk kedalam rumah.
"Heee...., udah kebiasaan ma." cengir Qiana kepada mamanya. Sedangkan mamanya hanya memutar kedua bola matanya malas.
"Nak Revan kan? Ini handuknya. Kamu ganti baju dikamar Ken dulu. Kasihan nanti kalau kamu kedinginan, bisa-bisa nanti kamu sakit." Ucap Helena sambil menyodorkan handuk kepada Revan.
"Tapi tante, aku gak bawa baju ganti." Revan meringis pelan. Kulit putihnya terlihat sangat pucat.
"Pakai bajunya Ken dulu gak apa-apa nak Revan." Suruh Helena kepada Revan yang sedang menggigil kedinginan.
"Ahem, ahem," Dehem Qiana yang mampu membuat Helena dan Revan menatapnya.
"Ayo gue kasih tahu kamar kakak gue." Ajak Qiana. Dia berjalan lebih dulu. Dia menaiki satu-persatu anak tangga rumahnya.
Setelah berkata seperti itu, Qiana langsung berjalan menuju lantai dua rumahnya. Diikuti Revan yang berjalan dibelakangnya.
"Ini kamar kakak gue." Tanpa menjawab Qiana, Revan langsung masuk kedalam kamar Kenzo.
12 menit berlalu, Revan dan Qiana turun dari tangga bersamaan.
"Ma, Qiana mau s**u coklat hangat." Seru Qiana sambil berjalan menuju dapur rumahnya. Revan hanya geleng-geleng kepala saat dirinya kembali mendengar suara toa dari Qiana.
"Udah mama siapin diruang keluarga. Kamu kesana aja. Ajak teman kamu juga" Balas Helena ikut berteriak.
Revan dan Qiana berjalan menuju ruang keluarga kediaman bramasta. Saat Qiana masuk kedalam ruangan keluarga, dia sungguh sangat terkejut saat melihat lelaki yang sangat dia sayangi terlihat sangat kacau. Rambutnya acak-acakkan, bajunya basah, dan matanya sembab.
"Kakak..." Panggil Qiana, lirih. Qiana memeluk Ken erat. Seakan memberi kehangatan kepada kakaknya.
"Kakak kenapa?" Tanya Qiana kepada Ken yang masih menangis sambil menjambak rambutnya frustasi.
"Kakak gak apa-apakan?" Tanya Qiana panik.
"Kakak kenapa?" Isak Qiana menatap lembut mata kakaknya.
Dari semua pertanyaan Qiana tidak ada satupun yang dijawab oleh Ken. Disaat Qiana sedang menghapus air mata Ken, tiba-tiba ada seorang lelaki yang berlari dan langsung berdiri dibelakang Qiana. Qiana yang mengerti situasi itu langsung mundur. Dia berdiri disamping Revan.
"Bang Devan." Beo Revan saat mengetahui siapa yang datang dan langsung menarik Ken untuk berdiri.
"Ken, gue bisa jelasin." Ucap Devan kepada Kenzo yang sedang berdiri lemas didepannya.
"Ken, yang lo lihat itu salah. Gue tadi cuma....."
"Cuma apa? Cuma lagi ciuman sama Klara saat gue gak ada, gitu?" Teriak Ken kepada Devan yang masih berdiri mematung di depan Ken.
"Bukan, lo salah Ken. Gue tadi sama Klara...."
"Alah, Dasar b******k! Gak nyangka gue sama lo. Lo itu sahabat gue dari gue masih SMA, tapi kenapa lo tega ngehianati gue Dev? kenapa?" Teriak Ken sambil menonjok pipi Devan. Hingga membuat Devan terhuyung kebelakang.
"Gue kira lo itu sahabat terbaik gue. Tapi cuih, gue salah. Lo itu tidak jauh beda sama penghianat bermuka dua." Ucap Ken penuh penekanan. Devan yang masih berdiri didepannya, terlihat pasrah dimaki olehnya.
"Ken, dengerin penjelasan gue sama Klara dulu. Gue tadi sama Klara...."
"Halah, mau lo jelasin apapun didepan gue, gue gak akan pernah percaya lagi. Dasar b******n lo. Gue nyesel pernah nganggap lo sahabat" Teriak Ken yang langsung pergi dari ruang keluarga.
"Satu lagi, sekarang lo bukan sahabat gue. Pergi lo dari sini. Dan lo Revan, jangan pernah lo deketin adik gue Qiana." Lanjut Ken penuh amarah.
Saat Ken sudah pergi, Sekarang suasana ruang keluarga menjadi canggung. Revan mendekati Devan yang masih tertunduk lemas. Sedangkan Qiana, dia tengah bingung sendiri. Ada masalah apa antara kakaknya, Klara, dan Devan, abang Revan?
"Qi, abang boleh minta tolong?" Mohon Devan, memelas kepada Qiana yang masih duduk disofa ruang keluarga bramasta.
"Abang mohon, tolong bantu abang jelasin semua kesalahan pahaman ini kepada kakak kamu." Mohon Devan kepada Qiana yang masih terdiam. Sebenarnya Qiana dan Devan sudah saling mengenal. Qiana kenal Devan saat pertama kali Devan main ke rumahnya. Itu sudah sangat lama semenjak lulus SMA. Devan sudah tidak pernah main ke rumahnya lagi.
"Sebenarnya Abang punya masalah apa sama Kak Ken?" Tanya Qiana, halus.
Saat Qiana bertanya, Devan langsung menjelaskan dengan detail dari mulai dia bertemu dengan Klara, sampai kesalah pahaman itu terjadi.
"Jadi Kak Ken sama Kak Klara itu pacaran? Bukannya mereka hanya temenan? Kapan mereka jadian?" Tanya Qiana kepada Devan dengan cara beruntun.
"Iya, mereka pacaran. Mereka jadian kemarin." Jawab Devan, menjelaskan.
"Kenapa kamu gak pernah cerita tentang Kak Ken, bang?" Tanya Revan sambil menatap abangnya kesal.
"Kamu gak nanya." Jawab Devan kepada Revan yang hanya dijawab dengusan oleh Revan saja.
"Qi, abang sama Revan pulang dulu." Pamit Devan sambil tersenyum tipis.
"Mama lo mana, Qi? Gue mau pamitan." Tanya Revan kepada Qiana yang masih duduk disofa.
"Mungkin pergi." Jawan Qiana, tidak yakin. Karena dia sendiri tidak tahu dimana mamanya.
"Yaudah, gue sama abang gue pamit dulu." Pamit Revan berubah lembut. Entah kemana sikap dinginnya dulu.
Setelah berpamitan kepada Qiana, Revan dan Devan langsung pulang.