bc

MARLIN : The Great Witches

book_age16+
146
FOLLOW
1K
READ
others
drama
tragedy
heavy
mystery
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Kelahirannya menjadi malapetaka bagi Bebiluan, tapi menjadi berkah bagi semenanjung Britania Raya. Ia dikenal sebagai penyihir terhebat, dengan mantra sihir tak terbatas. Menguasai berbagai sihir, meskipun memiliki sebutan demi-cubus.

Marlin, penyihir setengah abadi, guru dari Vivien dan juga sebagai penasehat dari keluarga Pendragon sang penguasa Britania Raya. Namun, semua tak semudah yang dibayangkan. Ketika ia harus terusir dari gereja, kehilangan ibu dan sang kekasih, serta terkurung di bola kristalnya sendiri, akibat Naniduan.

chap-preview
Free preview
01. Para Pelayan Suci dan Ramalan Malapetaka
Burung kecil yang baru saja berlatih terbang, membumbung mencoba meninggi mengitari kota Beliluan, di bagian pulau tanpa nama di semenanjung Britania Raya. Sebuah pulau raksasa yang suatu saat akan menjadi negara kedaualatan di bagian Eropa, di kelilingi lautan lepas yang indah. Beliluan di kenal sebagai kota bebas, di haramkannya perang dan pertumpahan darah dalam bentuk apapun. Di kota itu pusat dari agama ortodoks, dengan gereja terbesar mereka The Great of Lord Lelunia. Setiap pagi dan menjelang malam. Suara lonceng-lonceng kecil di dalam gereja akan terdengar riuh, menandakan ibadah akan dimulai. Sementara lonceng besar di samping gereja akan berbunyi satu minggu sekali setiap hari sabtu tengah hari. Pemujaan pada Dewi Lelunia; pemberi kesuburan, ilmu dan kemakmuran. Dengan di pandu Pendeta serta Biarawan dan Biarawati. Orang-orang akan berbondong-bondong datang, sekedar berdoa atau memberi penghormatan pada Tuhan mereka.  Seperti malam itu, seorang Biarawan membunyikan lonceng-lonceng di dalam gereja, membuat para abdi Tuhan mempercepat langkah menuju aula tempat ibadah. Hal yang sama dilakukan Margareta, ia memasang rapi pakaian biarawati yang berwarna putih-keabu-abuan. Teman-temannya yang beberapa langkah di depan memaksanya untuk bergegas. Margareta yang baru selesai mengunci kamarnya, mendadak kaget saat ia tak sengaja terdengar suara benda jatuh di samping kamarnya sesaat setelah bayangan hitam melewati jendela. Sebagai gadis perawan yang selalu penasaran, Margareta ingin melihat apa yang terjadi di luar jendela kamarnya. Jika hanya seekor tupai, mungkin hewan itu terjatuh dan ia bisa mengobatinya. Sesekali ia menoleh untuk melihat keadaan. Lalu ia berlari memutar arah dan memastikan benda besar jatuh itu. Ada pintu menuju luar tak jauh dari kamar para biarawati beristirahat. Margareta keluar melewati pintu itu, yang langsung menunjukkan kearah luar dengan kegelapan dan tak jauh dari sana ada hutan dengan pepohonan rimbun. Margareta mengambil salah satu lampu yang tadi menggantung di pintu luar, ia memanjangkan sedikit lehernya untuk memastikan benda yang jatuh tadi. Hingga ia sampai dibatas gereja dengan kayu yang ditancapkan ketanah seukuran pinggang, mengelilingi daerah gereja. Pendeta besar melarang siapapun keluar melewati batas itu. Menurut Pendeta malam hari adalah tempat berbahaya bagi pelayan suci seperti mereka. Margareta tak begitu paham, tapi tak ada pilihan lain selain mengikuti. "Aku tak menemukan apapun. Mungkin itu tupai atau burung hantu," ucap Margareta setelah tak menemukan apapun di sana. Ia berniat bergegas pergi, karena dari sana suara pujian-pujian dan nyanyian sudah terdengar nyaring dari para pelayan suci. Namun, belum lima langkah ia meninggalkan batas itu. Sebuah suara memanggilnya, suara itu langsung menusuk telinganya. Dingin dan membuat rambut tipis di lehernya berdiri. "Kau bisa menolongku," ujar suara itu. Margareta membalikkan badan. Lalu memeriksa kembali. Kini lampu apinya menyorot wajah seseorang dengan satu tanduk diatas dahinya. Margareta kaget, sedikit terhuyung kebelakang dan menjatuhkan lampu apinya. Ia seperti bermimpi, yang dilihatnya mirip iblis. Dengan sedikit ketakutan, Margareta menyatukan kedua telapak dan jari-jari tangannya untuk mulai berdoa. Tapi, sesosok itu mencegah. "Berhenti, jangan berdoa. Aku tak berniat berbuat jahat padamu," sambung sosok itu. "Tapi, kau iblis kan?" tanya Margareta. "Iya, aku iblis. Tapi, aku tak sengaja berada di sini. Aku terjatuh dari langit kedua." Sesosok iblis itu berusaha meyakinkan Margareta. Ia tak ingin Margareta membacakan doa untuknya, terkena batas gereja saja akan menyakiti tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan betapa tersiksanya jika sampai Margareta menghujaninya dengan doa. "Lalu? Apa yang bisa aku tolong? Kau terluka?" Margareta kini mendekati iblis itu. Sebagai pelayan suci, selama ia terlindungi batas dan dalam keadaan sadar tak akan ada iblis yang bisa mengganggunya. Begitu kata pendeta besar. "Tidak ada. Hanya saja pergelangan kaki kiriku patah, tapi ini akan sembuh beberapa jam lagi," ucap iblis itu. "Ah iya, aku Rados. Iblis jenis Incubus." Rados berusaha memperkenalkan dirinya. Sedangkan Margareta belum menanggapi, karena dalam pikirannya dan dari cerita-cerita yang ia dengarkan, juga dari kitab suci. Iblis itu makhluk terkutuk yang memiliki rupa menyeramkan, tapi kenapa Rados tidak? Ia memang memiliki tanduk dan juga sayap berwarna hitam yang sedikit berantakan, mirip burung gagak yang terkena hujan. "Apa kau melamun?" tanya Rados membuyarkan lamunan Margareta. "Aku Margareta, biarawati di sini," ucap Margareta memperkenalkan dirinya dengan sedikit ragu. "Margareta ... nama yang bagus. Terima kasih atas bantuanmu, izinkan aku duduk di luar sini sampai aku bisa kembali terbang lagi," kata Rados. Kini mulai terduduk begitu saja di rerumputan. Margareta mengangguk. Lalu meninggalkan Rados sendiri di luar batas. Ia mengambil lampu apinya yang sempat terjatuh tadi dan berjalan menjauh. *** Satu jam berlalu setelah ibadah, Margareta tadi sempat ikut meskipun terlambat. Tak ada yang menyadari hal itu, ia berdiri di belakang yang lain. Bahkan saat ia melakukan pujian ia sudah berada di sana. Ketika malam kian melarut, semua biarawan dan biarawati, begitu juga para pendeta mulai meninggalkan Altar dan bergegas menuju tempat mereka masing-masing untuk beristirahat. Saat itu ketika Margareta bersama biarawati lain berjalan meninggalkan Altar. Pendeta Besar memanggilnya, yang seketika menghentikan langkah Margareta. Apa aku ketahuan terlambat tadi? Tanya batin Margareta saat berjalan mendekati Pendeta besar yang biasa di panggil Tetua Pendeta. "Ikut aku keruangan," ujar Tetua Pendet yang seperti perintah bagi Maragerta. Margareta mengangguk, lalu berjalan mengekor Tetua Pendeta. Pria tua dengan Velum berwarna emas dan stola yang melingkar dipundaknya itu berjalan sedikit membungkuk. Menurut cerita usianya sudah lebih dari 100 tahun, dan ketika berusia 30 tahun ia sudah di sejajarkan dengan pendeta besar lainnya diseluruh pulau tanpa nama. Satu-satunya pendeta yang memiliki pangkat tertinggi di Beliluan. Di Gereja Lelunia Agung ia sangat di hormati, semua menganggap omongannya beracun, doanya menjadi malapetaka dan menimbulkan karma. Tak ada yang berani menentangnya, bahkan ketika semua rambut di kelapanya memutih dan keriput di wajahnya sudah sangat jelas, Tetua Pendeta masih rajin memimpin ibadah setiap harinya. Tak banyak yang tahu nama aslinya, semua orang hanya memanggilnya Tetua Pendeta atau Imam Besar. Namun, menurut ceritanya ia bernama Ramunemes va Aldebergh, keturunan bangsawan dari kerajaan Kundrp di ujung timur Britania Raya, yang telah runtuh 100 tahun lalu. Bisa dikatakan Tetua Pendeta adalah keturunan teakhir. Sebagai keturunan terakhir dan telah dianggap pelayan suci, ia tak memiliki garis penerus lagi. Setelah keluar altar dan melewati lorong-lorong gereja yang berpilar puluhan, Margareta serta Tetua Pendeta sampai di ruangan yang dimaksud. Margareta tak pernah berada di sana sejak ia ingat pertama kali menjadi seorang biarawati. Ruangan Tetua Pendeta bagi mereka haram dimasuki orang lain, karena akan menimbulkan masalah. Ketika pintu ruangan setinggi dua setengah meter itu terbuka, bola mata Margareta langsung mengitari sekeliling. Ruangan bersih yang tertata rapi, jejeran kitab tersusun simetris di dalam rak, meja kerja, ruangan pertemuan dan dekorasi dengan mozaik berwarna di dinding, Dewa Lelunia Agung. Margareta mulai berpikir, berapa kali para Suster membersihkan ruangan ini dalam satu minggu? Dan harus berapa orang? Kini Tetua Pendeta sudah duduk di tempatnya, Margareta berdiri tak jauh dari depannya. Dengan mata sayu yang menyipit terus menatap Margareta, sedangkan Margareta hanya bisa menelan salivanya berulang kali. "Aku melihat ketakutan dimatamu," ujar Tetua Pendeta yang membuat Margareta hanya bisa terdiam. Kawan-kawannya mengatakan untuk memilih diam sampai disuruh berbicara. "Keturunanmu akan menciptakan sejarah malapetaka." Margareta kini mulai mengangkat wajahnya, menatap wajah serius Tetua Pendeta. Omongan itu seperti sambaran petir pada pohon. Bagaimana mungkin seorang pelayan suci memiliki keturunan? "Tapi Tetua, aku seorang pelayan suci. Bagaimana aku bisa memiliki keturunan?" tanya Margareta bingung. "Sang Penguasa Semesta memberikan ramalan padaku, bahwa anak terkutukmu akan lahir setelah aku mati dan ketika Beliluan mengalami kemunduran," ujar Tetua lagi. Masih membuat Margareta bingung. "Kau harus terus berada di dalam batas gereja siang dan malam, berdoa setiap hari dan setiap minggu mandilah dengan air suci (air Luniar) di gereja." Margareta masih mencoba memahami ucapan dari Tetua Pendeta. Untuk pertama kalinya ia berbicara dengannya, juga untuk pertama kalinya masuk keruangannya, tapi saat ini ia sudah berbicara tentang ramalan serta bayi terkutuk pembawa malapetaka. Jika benar ucapannya beracun dan menimbulkan karma, apa Margareta benar akan hamil? Tetapi dengan siapa? Pikiran itu menganggu Margareta, bahkan hingga ia keluar dari ruangan Tetua Pendeta. Tetua Pendeta mempersilahkan ia pergi sesaat setelah melihat Margareta yang kebingunan, wajah ketakutan yang seolah tak tahu apa-apa, karena seharusnya begitu. Sementara di tempat yang sama, Tetua Pendeta kini menatap keluar jendela ruangannya. Tepat di matanya ada sebuah bukit di tumbuhi pepohonan lebat, cahaya bulan melewati celah-celah batang besarnya. Satu minggu sejak mendapatkan ramalan itu, ia berpikir bahwa itu hanya sekedar khayalannya ketika melamun, tapi tidak. Bayangan kehancuran Beliluan dan Bagras sangat jelas sekali, dan satu-satunya yang selamat adalah seorang biarawati yang baru saja berbicara dengannya, serta seorang anak kecil berambut hitam sebatas pundak. Mata anak itu seperti menyimpan amarah serta dendam yang tak berkesudahan, tetapi di belakang anak itu ratusan ribu serdadu prajurit nampak menghormatinya. Jika itu akhir dari Beliluan ataupun Bagras, mungkin sudah saatnya ia menyerah dan menikmati doa-doanya. Sebab ia ingin tetap setia dengan doa yang ia panjatkan pada sang dewa. Beberapa puluh tahun lalu, ketika kerajaan Kundrp mengalami keruntuhan akibat ekspansi, sebagai pangeran mahkota ia tak bisa melakuan apapun. Ia mengasingkan diri jauh melewati banyak kerajaan termasuk Camelot, Lyonese, Gemvirt dan juga kerajaan lain. Namun, ia lebih memilih tinggal dan menetap di Beliluan. Berserah diri dan mengabdi pada sang dewa. Ia serahkan hidup dan matinya di sana, meninggalkan gelar dan menghapus garis keturunan Aldebergh. Tetapi Beliluan kini diambang kehancuran. Kehancuran akibat malapetaka keturunan terkutuk.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.7K
bc

Time Travel Wedding

read
5.5K
bc

Romantic Ghost

read
162.7K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.6K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook