Apa Cinta Berubah?

1468 Words
Adam terjatuh dalam dosa karena hawa yang merayunya, hingga banyak yang mengira jika pria berbuat dosa karena pihak perempuan yang memulai lebih dulu. Membujuk dan menggiring pria ke jurang neraka. Nyatanya, tidak seperti itu perselingkuhan bisa terjadi. Jika tak ada yang membuka pintu, maka tak ada orang ketiga yang bisa masuk. Pada akhirnya, perselingkuhan terjadi karena kedua belah pihak menginginkan hal itu untuk terjadi. Ada yang merasa semua itu karena permainan hati, ada juga yang terang-terangan mengatakan jika semua itu hanya tentang hasrat semata, tapi apa pun itu, pengkhianatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimaafkan. Keduanya duduk bersantai di ruang keluarga. Lestari begitu bahagia. Suaminya sangat jarang berada di rumah, sering tak punya waktu, dan mereka menjadi lebih jarang berkomunikasi. Oleh karena itu, bertemu dengan suaminya di rumah di siang hari seperti ini seperti sebuah keberuntungan baginya. Aneh bukan. Bagaimana bisa dirinya terus merindu jika mereka setiap hari bertemu dan menghabiskan waktu bersama? Mungkin karena kesibukan. “Mas … aku merindukanmu,” Ujar Lestari sembari membawa tangan suaminya ke dalam genggamannya, “Seharusnya, kita sesekali bolos seperti ini, Mas. Kita sudah sangat jarang bersama,” Lanjut Lestari sambil merajuk, membuat pria di sampingnya tergelak pelan. “Kamu yang terlalu sibuk, Sayang. Bukannya aku yang nggak mau membolos. Takutnya, semua urusanmu kacau kalau aku kecanduan untuk bolos denganmu,” Pria itu mengusap puncak kepala istrinya, “Aku juga merindukanmu, Sayang,” Lanjut pria itu seraya mengecup puncak kepala istrinya, membuat wanita yang tengah menyandarkan kepalanya di d**a bidang suaminya itu tersenyum senang. Ah, entah sudah berapa lama mereka tak bermesraan. Wanita itu segera mengubah posisi duduknya dan mengarahkan tubuhnya kea rah suaminya. Pria itu melakukan hal yang sama. Keduanya saling bertukar senyum. Wanita itu menatap lekat wajah suaminya. “Aku benar-benar merindukanmu, Mas,” Si wanita mempertipis jarak di antara wajah mereka. Ia menginginakn sentuhan pria itu yang selalu membuatnya merasa tenang. Tanpa aba-aba, wanita itu mempertemukan bibir mereka. Pria itu merasa kikuk dengan kemesraaan yang diinginkan oleh istrinya dan gerakan bibirnya mendadak kaku. Sementara itu, Lestari sudah berpindah duduk di pangkuan suaminya. Ia melumat bibir suaminya dengan lembut. “Tunggu, Tari. Bagaimana jika Tina keluar? Nggak elok jika dia melihat kita bermesaraan. Dia masih muda, Sayang,” Pria itu menghentikan ciuman mereka dan menatap sekelilingnya. Meski asisten rumah tangga mereka hanyalah wanita simpanannya, akan tetapi dirinya tak ingin menyakiti hati wanita itu ketika melihat mereka bermesraan, “Jangan begini, Sayang,” Lanjut pria itu sembari tersneyum kikuk dan menatap istrinya dengan tatapan memelas, sedang wanita yang tadinya bersemangat itu mulai merendahkan bahunya, terlihat lemas dalam seketika. Ia mengerucutkan bibirnya, kesal dengan suaminya yang menghancurkan suasana di antara mereka. “Kamu nggak lagi pernah menyentuhku, Mas. Sudah enam bulan loh,” Wanita itu memajukan bibirnya, “Kamu selalu beralasan capek. Mentok-mentok, kita hanya berciuman dan grepe-grepe saja. Sebenarnya apa yang terjadi? Kamu udah nggak nafsu lagi melihatku?” Perempuan itu tak lagi bisa menahan semua kegelisahan yang selama ini mengganggu benak maupun hatinya. Tak banyak yang berubah dari tubuhnya. Ia pun rutin melakukan perawatan. Dirinya tak bisa dikatakan jelek, tapi anehnya suaminya seperti tak lagi memiliki hasrat dengannya. Apa yang salah? Lestari sungguh tak mengerti dan rasanya ia siap meledak sekarang. “Sayang … bukan begitu. Kamu kenapa berpikir yang aneh-aneh?” Pria itu selalu bisa membuat Lestari luluh dengan senyum lembut yang diberikannya. Apa lagi ketika pria itu mengusap wajahnya seperti sekarang, Lestari kesulitan marah pada pria itu. Mungkin karena cintanya yang terlalu besar atau memang pria itu sellau tahu akan kelemahannya. Entahlah. “Nggak mungkin aku nggak nafsu sama istriku sendiri,” Pria itu tersenyum menggoda, “Tubuhmu masih sangat menggiurkan. Semua sudah berada di tempat yang semestinya. b****g dan juga dadamu,” Pria itu meremas b****g istrinya dan mengedipkan sebelah mata, “Tapi saatnya yang nggak tepat, Sayang. Kita sedang ada di ruang tamu dan kalau kamu lupa, aku lagi sakit perut, kan?” Pria itu menunjukkan wajah sedih. Padahal, pria itu tak lagi memiliki tenaga untuk melayani hasrat istrinya. Sejak pagi, ia sudah memompa tubuh pembantu mereka sebanyak enam kali. Bagaimana bisa ia memiliki tenaga lebih jika hasrat asisten rumah tangganya yang masih berumur Sembilan belas tahun itu begitu besar? Ah, tidak justru dirinya yang tak pernah puas menikmati tubuh montok wanita itu. Memikirkan wanita itu saja sudah membuat Wisnu ingin melanjutkan kegiatan mereka itu. Dirinya harus mencuri waktu, membiarkan Lestari pergi ataupun tertidur. Apa pun itu yang bisa membuatnya kembali menjamah tubuh Tina. “Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud membuatmu kesusahan. Apa perutmu masih sakit?” Perempuan itu menatap suaminya dengan tatapan cemas, sedang pria itu menggeleng, “Sebaiknya, kamu istirahat, Mas. Aku akan memanggil Om Alex untuk memeriksamu.” “Jangan, Sayang. Kamu nggak perlu melakukan itu karena aku sudah baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat sebentar saja, Sayang,” Jawaban pria itu membuat Lestari menghela napas panjang dan segera berdiri dari pangkuan suaminya, “Apa kamu mau kembali bekerja atau seharian di rumah?” Lanjut pria itu yang membuat Lestari menatapnya penuh tanya. Entah mengapa, Lestari merasa jika suaminya itu tak begitu suka dengan keberadaannya di rumah, seolah pria itu ingin dirinya pergi. Entah hanya perasaannya atau memang seperti itu. “Apa kamu merasa nggak nyaman kalau aku di rumah seharian? Kamu nggak mau aku temani? Apa kamu lebih suka aku pergi?” Lestari menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya. Selama ini, Lestari tak menaruh rasa curiga pada suaminya, tapi semakin hari, pria itu semakin aneh. Meski masih memperhatikannya, membantunya dalam beberapa masalah, akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Pria itu seolah tak ingin jika terlalu lama bersamanya. “Apa ada wanita lain di hatimu, sehingga kamu selalu saja mau cepat-cepat menyudahi kebersamaan kita? Pasti hal itu juga yang membuatmu nggak bisa menyentuhku,” kali ini Lestari tak lagi bisa berpikir positif, membuat pria itu menghela napas gusar dan bangkit berdiri. Kini, keduanya berdiri berhadapan dan pria itu menangkup kedua lengan perempuan di depannya. “Sayang, jangan mulai lagi. Aku nggak mungkin berkhianat darimu. Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu. Semua ini karena kita sama-sama sibuk, jangan berpikir yang aneh-aneh,” Pria itu mengusap wajah istrinya, “Bagaimana jika ada waktu luang nanti, kita pergi liburan. Aku akan mengikuti semua kemauanmu. Katakan saja ke mana kamu mau pergi, maka aku akan mengikutinya, Sayang. Jangan berpikir buruk karena aku sangat mencintaimu dan cintaku abadi. Jangankan berkhianat, melihat perempuan lain saja aku nggak bisa. Cintaku ini nggak akan berubah,” Lanjut pria itu sembari menatap dalam sepasang mata Lestari, membuat perempuan itu merasa bersalah karena sempat meragukan suaminya itu. Lestari tersenyum dan mengangguk. Ia tak seharusnya meragukan pria yang sudah menemaninya selama tiga tahun pernikahan. Tak mungkin cinta di antara mereka bisa berubah. Mungkin benar, dirinya hanya banyak berpikir. “Maafkan aku, Mas. Aku hanya merasa kalau ada yang salah,” Ujar perempuan itu dengan penuh rasa bersalah, sedang Si pria tersenyum menenangkan, dan menggeleng. Kemudian membawa wanitanya ke dalam dekapannya. Ia mengusap-usap punggung Lestari dengan lembut, berusaha mengusir segala keresahan dan juga kecurigaan istrinya itu. Tampaknya, Wisnu harus melakukan sesuatu agar istrinya itu tak menaruh curiga agar hubungannya dengan Tina bisa berjalan lancar. Ia menikmati hubungan mereka saat ini dan tak mau semuanya kacau. “Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga harus minta maaf karena terlalu sibuk,” Ujar pria itu setelah melepaskan pelukan mereka, dirinya membawa tangan istrinya ke dalam genggamannya, “Kamu udah makan? Tadi Tina memasak ayam goreng dan juga bayam rebus kesukaanmu. Bagaimana kalau kita makan bersama? Sudah lama kita nggak makan bersama, kan?” pertanyaan suaminya itu membuat Lestari tersenyum senang dan mengangguk antusias. “Aku memang belum makan. Aku mau disuapi sama Mas makannya,” Lestari bersikap manja. Sebelum mengenal Wisnu, Lestari bukanlah sosok yang manja ataupun ceria. Hidupnya terlalu kelam, hingga tersenyum saja sulit dilakukannya. Terlahir di keluarga kaya tak semudah yang orang-orang banyangkan. Sejak kecil, Lestari hampir tak memiliki teman. Dirinya dituntut untuk selalu menjadi yang nomer satu, baik dari segi akademis ataupun di dalam kehidupan. Di usia muda, ia sudah mempelajari tentang saham, kepemimpinan, dan berbagai hal yang tak lazim dipelajari oleh anak seusianya. Hingga Lestari tumbuh menjadi sosok yang keras. “Ya, Sayang. Aku akan menyuapimu,” Pria itu mengecup kening istrinya sekilas dan keduanya berjalan ke arah meja makan. Jantung Lestari berdebar tak menentu. Bersama dengan Wisnu membuatnya merasa begitu bahagia, dimanja, dan juga diinginkan. Pria itu sempurna. Selang beberapa menit kemudian, keduanya sudah tiba di meja makan. Lestari menyiapkan peralatan makan dan melayani suaminya. Gerakannya terhenti saat mendengar langkah yang mendekat. Wanita itu tersenyum saat menemui Tina yang tersenyum kikuk saat pandangan mereka bertemu. Tina mengangguk sekilas dan segera melanjutkan langkah ke meja makan untuk melayani keduanya. Entah mengapa Lestari malah memperhatikan Tina yang jalannya terlihat aneh. Seolah perempuan itu kesulitan berjalan. Apa kaki Tina sakit? “Apa yang terjadi padamu, Tina? Apa kamu baik-baik aja. Jalanmu terlihat aneh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD