Bab 2

1093 Words
Paul tersenyum simpul mendengar jawaban Jasmin. Di benak pria tampan ini sekarang, Yasmin wanita luar biasa. Sudah jelas disakiti oleh orang-orang di sekitarnya, tapi masih berpura-pura tidak merasa disakiti. "Jadi nona merasa bahagia suami nona menikah lagi?" tanya Paul dengan pandangan menyipit. Yasmin terdiam. Pertanyaan Paul barusan seperti menjebaknya. "E... kalau itu... harusnya iya kan?" "Jadi benar nona bahagia melihat Tuan Darius menikah lagi?" Paul menegaskan pertanyaannya dengan ekspresi tak percaya. Yasmin menelan saliva. Dia benar-benar tidak bisa menjawabnya kini. "Aku cariin mbak kemana-mana ternyata ada di sini!" ucap Desy pada Yasmin tapi sempat melirik tidak suka pada Paul. Desy ini adalah adiknya Darius, suami Yasmin. Yasmin langsung berdiri. "Memangnya ada apa Desy mencari mbak?" "Aku diminta ibu untuk menyuruh mbak pulang duluan. Mbak harus membersihkan kamar yang selama ini mbak tiduri dengan Mas Darius dan mengeluarkan barang-barang mbak dari sana." Mata Yasmin melebar mendengar itu. "Lho, kenapa barang-barang mbak harus dikeluarkan dari kamar mbak, Des?" "Ya karena mulai malam ini akan ditempati oleh Mas Darius dan Mbak Nia." "Terus kalau begitu, mbak tidur di mana?" "Kata ibu mbak tidur di kamar yang kosong di dekat dapur." "Bukannya itu kamar pembantu ya, Des?" "Ya kan pembantunya tidak ada? Toh, selama ini yang beres-beres rumah juga mbak kan?" Sesak hati Yasmin mendengar itu. Dia merasa jadi seperti sedang disamakan dengan seorang pembantu. "Tapi Des, mbak ini kan istri pertama. Masak mbak diusir dari kamar yang selama ini sudah mbak tempati?" "Kok mbak jadi tidak terima sih? Mbak Nia itu kan istri barunya Mas Darius. Mereka baru jadi pengantin baru. Masak harus ditempatkan di kamar pembantu? Kan tidak sopan? Tidak mungkin juga mbak tetap di kamar itu menyaksikan mereka berdua menghabiskan malam pertama? Memangnya mbak sanggup melihat Mas Darius belah duren Mbak Nia? Nanti nangis karena cemburu lagi? Terus merasa terdzalimi." Yasmin mengepalkan kedua tangannya mendengar semua perkataan Desi yang seolah-olah paling benar. Tidakkah Desy sadar kalau keputusan Darius menikah lagi saja sudah menyakiti hatinya? "Kok diam saja, sih? Mengerti tidak?" tanya Desy dengan nada yang naik. Yasmin mengangguk. "Ya, mbak mengerti." "Ya sudah. Pulang sana. Bereskan kamarnya. Ganti sepreinya dengan yang bersih. Jangan lupa dikasih parfum. Biar malam pertama mereka jadi sangat hot dan beronde-ronde." Lagi-lagi Yasmin hanya mengangguk. "Ya, Des. Mbak pulang sekarang untuk beres-beres." Desi menoleh pada Paul. Sebenarnya dia suka dengan pria satu ini karena sangat tampan dan gagah. Sayang Paul hanya pria miskin dan sopir keluarganya. Kalau orang kaya saja, dia sudah tidak melepaskan Paul. Kalau perlu dia akan naik ke ranjang Paul. Tapi karena kenyataan Paul tidak sesuai dengan keinginan, ya... dia tidak mau. "Paul, kamu antar Mbak Yasmin pulang. Kalau perlu bantu dia beres-beres agar cepat selesai." Seperti Yasmin, meskipun rasanya Paul ingin menjambak rambut Desy, dia menganggukkan kepala. "Ya, nona." Maka mereka berdua pun keluar dari ruang pesta untuk pulang ke rumah. *** 'Aku diminta ibu untuk menyuruh mbak pulang duluan. Mbak harus membersihkan kamar yang selama ini mbak tiduri dengan Mas Darius dan mengeluarkan barang-barang mbak dari sana.' 'Mulai malam ini akan ditempati oleh Mas Darius dan Mbak Nia.' 'Kata ibu mbak tidur di kamar yang kosong di dekat dapur.' Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Desy, terus terngiang-ngiang di telinga Yasmin. Membuat dadanya terasa sesak sekali. Dia ingin sekali menangis tapi malu karena di kursi depan ada Paul yang sedang menyetir mobil. Pria itu bisa dengan jelas melihat apa yang terjadi dengannya dari kaca tengah. Tapi tanpa menangis pun, Paul tahu kalau Yasmin saat ini perasaannya tidak sedang baik-baik saja. Dia tahu Yasmin sedang menderita menahan sakit akibat luka yang menganga di hatinya. "Terus terang aku tidak suka dengan sikap nona tadi," ucap Paul tiba-tiba. Dari jalanan, Yasmin mengalihkan pandang pada Paul. "Maksud kamu sikap yang mana?" "Yang membiarkan Nona Desy memerintah nona seenaknya. Harusnya nona tidak diusir dari kamar itu, karena nona yang menempatinya pertama kali." Yasmin tahu ini tidak adil untuknya. Tapi dia tidak berani untuk mengakui. "Tapi Desy benar. Nia dan Mas Darius baru saja menikah. Tidak mungkin Nia ditempatkan di kamar pembantu." "Nona Nia itu sudah mengambil suami nona," sahut Paul. "Harusnya dia tau diri untuk tidak ngelunjak meminta kamar nona. Pengorbanan nona sudah luar biasa untuk pernikahan ini. Salah satunya adalah mengorbankan perasaan. Nona Nia harus ditegaskan tentang ini." "Mungkin ini bukan keinginan Nia tapi keinginan ibu." "Mau keinginan siapa pun, nona harus bisa melawan. Jangan biarkan siapa pun menginjak-injak nona." "Mereka tidak bermaksud menginjak-injak aku, Paul. Tapi memang tidak sopan kalau menempatkan tamu di kamar belakang." "Nona Nia bukan tamu, nona. Nona Nia adalah calon penghuni rumah yang sekarang nona tempati. Kalau sekarang Nona Nia menempati kamar nona, maka selamanya dia akan di sana. Apa nona berani mengusirnya seminggu kemudian dari kamar itu?" Yasmin membisu. Wajahnya menunduk. Paul melirik Yasmin sekilas dari spion tengah. Wanita yang cantik jelita itu muram tak berdaya. Paul mendengus keras. "Jangan pernah mau diperlakukan tidak adil, nona. Diri nona itu sangat berharga. Aku sendiri pun sangat mengagumi nona." Tak ada jawaban. Yasmin memilih untuk diam. Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di kediaman mereka. Mereka berdua langsung naik ke kamar yang selama ini ditempati oleh Yasmin dan Darius. Tanpa basa-basi, Yasmin langsung membuka lemari pakaian dan mengeluarkan pakaiannya dari dalamnya. Selama tiga tahun menikah dengan Darius, dia mempunyai cukup banyak pakaian. "Nona, bagaimana kalau aku yang mengangkut pakaian-pakaian ini ke kamar pembantu? Biar nona tidak capek bolak-balik naik turun tangga." Yasmin mengangguk. "Iya. Terima kasih sebelumnya kamu sudah mau membantu ya, Paul." "Ini sudah kewajibanku, nona." Paul membuka koper yang besar dan memasukkan baju-baju yang sudah dikeluarkan oleh Yasmin dari lemari ke dalam koper itu hingga penuh. Setelah dia menarik kopernya keluar. Setelah semua pakaiannya keluar dari dalam lemari, Yasmin berbalik badan hendak mengambil peralatan kecantikanya di meja rias. Tapi begitu kedua matanya bertemu dengan tempat tidur. Seperti ada benda tajam menusuk hatinya. Selama ini tempat tidur itu adalah saksi bisu dirinya memadu kasih dengan Darius dan melayani syahwat pria itu dengan sebaik-baiknya tanpa pernah menolak. Namun sejak malam nanti, saksi bisunya itu akan ternoda oleh darah perawan yang lain. Darius suaminya akan menikmati tubuh wanita lain. Membayangkan itu, seketika tangis Yasmin meledak. Dia terduduk lemas di lantai dengan airmata yang tak mampu dia bendung lagi. Dia memukul dadanya. Dia menjambak rambutnya yang panjang. Dia meraung seperti orang yang sedang disiksa. Paul yang mendengar suara itu, dan kebetulan langkahnya sudah berada tak jauh dari kamar Yasmin, tersentak kaget. "Yasmin!" Paul pun langsung berlari masuk ke dalam kamar. Dia mendapati Yasmin yang terduduk di lantai, memukuli dadanya, dan ... meraung. Tanpa pikir dua kali, Paul mendekat, memutar tubuh Yasmin dengan cepat, lalu memeluk wanita itu erat. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD