Bab 3

1143 Words
Dalam dekapan Paul, Yasmin terus menangis. d**a Paul yang bidang membuatnya nyaman. Tapi kemudian dia tersadar kalau yang baru saja terjadi adalah sebuah kesalahan. Yasmin pun menggeliat keluar dari pelukan Paul. "Apa yang kamu lakukan, Paul? Tidak seharusnya kamu memelukku seperti tadi." Yasmin berdiri, lalu menyeka basah di wajahnya. Paul ikut berdiri. "Aku hanya ingin menjadi tempat berbagi atas kesedihan nona. Aku tau, sejak hari ini, nona akan merasa sendirian. Tuan Darius akan cenderung pada Nona Nia karena bagaimana pun Nona Nia adalah istri baru yang butuh belaian kasih sayang." Jemari Yasmin mengepal mendengar penuturan Paul yang... mungkin benar kalau mulai hari ini Darius suaminya akan cenderung pada Nia. Tapi yang keluar dari mulut Yasmin kemudian, justru sebaliknya. "Tidak. Mas Darius berjanji kalau dia akan menjadi suami yang adil. Jadi... aku tidak akan merasa kesepian." Paul angguk-angguk. "Aku juga berharap seperti itu. Tapi kalau misalnya nona merasa kesepian dan butuh tempat berbagi, aku akan selalu siap." Paul memaksakan senyum. "Oya, kamar kita mulai sekarang berdekatan." Mata Yasmin melebar begitu sadar kalau mulai malam ini dia akan tidur di kamar pembantu yang bersebelahan dengan kamar sopir, yaitu Paul. "Ah, iya." Yasmin lalu menjauhi Paul untuk membereskan kosmetik dan barang-barangnya yang ada di meja rias. Paul mendekat. Dia lalu turut membantu. "Kalau nona butuh bantuanku, bisa ketuk dinding pembatas kamar kita. Maka aku akan siap menolong nona." Yasmin melirik Paul dan tersenyum. "Terima kasih sebelumnya ya, Paul. Kamu baik sekali." Paul menatap wajah Yasmin yang tampak samping. Jika saja Yasmin bukan istri orang atau setidaknya wanita itu bersedia, pasti sekarang dia sudah melakukan lebih dari sekedar menatap. "Akan aku lakukan apa pun demi nona." "Heh?" Jawaban Paul otomatis membuat Yasmin menoleh pada sopirnya itu. Tapi tatapan Paul terlihat berbeda dari biasanya. Begitu tajam menatapnya seperti tatapan raja hutan memindai mangsa. Jantung Yasmin berdetak kencang seketika. Meskipun Paul sangat tampan, tapi kali ini begitu menakutkan. Yasmin pun langsung membuang pandang dan segera membereskan alat-alatnya dengan cepat. Dua jam kemudian, pekerjaan mereka sudah selesai. Kamar yang dulu dia tempati dengan Darius sudah bersih dari barang-barangnya, sudah diganti sepreinya, dan sudah disemprot parfum sesuai dengan perintah Desy. Begitu pun kamarnya yang baru. Meskipun kecil dan tanpa kamar mandi, sudah terlihat rapi. Kini karena perut yang lapar, Yasmin dan Paul bersiap untuk makan bersama. "Paul, apakah kamu mau es teh?" tanya Yasmin. "Aku akan membuatkannya untukmu sebagai rasa terima kasihku." Paul tersenyum. "Boleh kalau memang nona mau membuatkannya. Berarti aku sangat beruntung hari ini dibuatkan es teh spesial buatan tangan nona." "Bisa saja kamu." Yasmin pun segera membuat es teh itu. Di belakang tubuh Yasmin, Paul memperhatikan dengan seksama. Dress biru bunga-bunga yang melekat di tubuh Yasmin tampak begitu pas membalut tubuh indah wanita itu. Membuat Paul menelan ludah beberapa kali. Ingin rasanya Paul mendekat pada Yasmin dan memeluk wanita itu dari belakang dengan konsekuensi yang tidak ada apa-apanya bagi dia. Jika Paul mau tidak sabar, dia bisa mendepak Darius dengan mudah dan mengambil Yasmin. Hanya saja, Paul tidak mau melakukan itu. Paul ingin cerita berjalan sebagaimana mestinya. Hingga saat itu pun tiba. "Es tehnya sudah jadi...." Mata Paul langsung mengedip mendengar suara Yasmin barusan. Dia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Ini untuk kamu." Yasmin menaruh satu gelas di depan Paul dan satunya lagi di depan dirinya sendiri sebelum akhirnya duduk dan meneruskan makan yang sempat tertunda karena membuat es teh. Paul mengambil gelas es teh bagiannya, lalu mereguknya. "Wah, segar sekali. Apa sih yang tidak bisa nona buat? Masakan nona enak. Begitu pun dengan minumannya." "Terima kasih untuk pujiannya. Tapi aku tidak punya uang receh." "Kalau begitu seratus ribu saja." Keduanya tertawa kecil. *** Senja tiba. Rombongan pengantin baru datang. Dari dua mobil yang memasuki halaman, munculah Darius, Asri, Desy, dan Nia atau Dania -istri baru Darius. Paul juga bersama mereka karena beberapa jam sebelum pulang, Darius menelpon minta di jemput oleh Paul. Dari pintu, Yasmin memperhatikan bagaimana Darius menggandeng tangan Nia dengan penuh kasih sayang, yang mencerminkan kalau pria itu mencintai istri barunya itu. Kenyataan ini kembali menjadi bukti kalau Darius menikahi Nia bukan karena terpaksa atau alasan ingin punya anak. Tapi besar kemungkinan karena Darius juga mencintai Nia. Sesak dan sakit Yasmin menyadari hal itu. "Sayang, aku cari kamu di ballroom tadi. Tapi tidak ada. Aku tidak tau kalau kamu pulang," ucap Darius pada Yasmin. Yasmin memaksakan senyum. Wanita itu melirik tangan Darius yang seperti enggan untuk melepaskan tangan Nia sehingga tidak ada rengkuhan kecil buatnya. "Iya. Aku diminta Desy untuk pulang memindahkan barang-barangku ke kamar pembantu." Gila. Bagaimana bisa Yasmin 'nyeplos' seperti ini? Darius menoleh pada Desy. "Benar begitu, Des?" "Ya... iya. Kan aku disuruh ibu." Desy menunjuk wanita tua yang berdiri di sebelahnya. Pandangan Darius kini berpindah ke Asri. "Benar itu, bu?" "Iya. Kalau tidak ke kamar pembantu terus ke kamar yang mana? Di rumah ini kan tidak ada kamar lagi. Ya masak Nia yang harus menempati kamar pembantu? Tidak mungkin kan?" Darius tercenung sejenak. Dia lalu melepaskan genggaman tangannya pada Nia dan menjadi menggenggam tangan Yasmin. "Aku minta maaf untuk yang ini ya, Yas? Karena pernikahan ini, kamu jadi terusir dari kamar yang selama ini kamu tempati." Yasmin menatap wajah Darius. Dia mencari ketulusan di sana. Apakah Darius memang benar-benar menyesali keadaan ini atau hanya pura-pura menyesali. Tapi dia tidak mendapatkan jawabannya. Dia tidak bisa membedakannya. Namun satu yang dia sadari, ada sesuatu yang tidak akan sama seperti sebelum Darius menikahi Nia. Cinta, kasih sayang, dan perhatian yang terbagi dengan bagian yang belum tentu adil. Yasmin menarik tangannya dari genggaman Darius. "Aku mau kembali ke dapur. Aku sedang menyiapkan makan malam." Tanpa menyapa Nia, Yasmin berbalik badan dan langsung menuju dapur. Dia tidak kuasa berlama-lama berada di antara Darius dan Nia. Sesampainya di sana, dia langsung memegang pisau dan wortel. Bersamaan dengan airmatanya yang mengalir, dia mulai memotong wortel itu. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menghentikan gerakan tangannya. Yasmin menoleh dengan wajah tengadah. Dia mendapati wajah tampan Paul. "Biar aku saja yang memotong wortelnya. Dalam keadaan sedih dan menangis, janganlah memegang pisau. Nanti kamu terluka," ucap Paul lembut. Yasmin tak mencegah saat tangan kekar Paul mengambil pisau dari tangannya. Dia sendiri lalu menyingkirkan dan mengerjakan yang lain. Tapi sebelum itu, dia menyeka wajahnya yang sudah terlanjur basah dengan punggung tangannya. "Kalau nona tidak kuat, maka lepaskanlah," ucap Paul sembari terus memotong wortel. "Tak baik menyiksa diri sendiri seperti ini. Nona itu cantik. Nona pantas bahagia." Yasmin menoleh pada Paul. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia bingung dengan keadaannya saat ini. Ya, dia memang terluka. Tapi dia merasa tidak mampu untuk meminta diceraikan. Dia masih mencintai Darius. "Yasmin!" Panggilan Asri mengagetkannya. "Ya, bu?" "Nia haus. Dia ingin minum es. Tolong kamu buatkan ya." Yasmin mengangguk. "Iya, bu." "Jangan pakai lama." Asri melirik Paul. "Kamu sedang apa di sini, Paul?" "Seperti yang nyonya lihat. Aku sedang membantu Nona Yasmin memasak." Asri menyeringai. "Rajin sekali kamu sampai membantu Yasmin memasak? Jangan bilang kamu suka Yasmin." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD