2. First Time

2207 Words
Jangan lupa tinggalkan jejak! Happy reading. Kenapa realita selalu tidak sesuai ekspetasi? Kenapa semua ini terjadi di saat yang tidak tepat? Baru saja ingin memulai hidup yang baru, tapi ... semuanya sirna begitu saja. Sirna diikuti dengan harapanku. ~ Alisyia Margaretha ~ Kring ... kring ... kring ... Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Semua pintu kelas terbuka lebar dan keluarlah siswa-siswi dari dalam kelas memenuhi sepanjang koridor bahkan sampai kantin. Jangan ditanya kalau soal makanan, itu pasti nomor satu! “Kantin kuy! Perut gue udah keroncongan nih gara-gara tuh guru killer,” ujar Vanya. Kelas Reva baru saja selesai dari pelajaran Kimia dimana guru yang mengajar termasuk guru killer. Siapapun yang diajar oleh beliau harus siap otak dan jantung. Beliau bisa saja menunjuk siapa pun yang akan menjawab pertanyaan yang ia berikan di awal, tengah maupun akhir pelajaran. Kalau tidak bisa menjawab, mereka akan mendapatkan hukumannya. Siapa coba yang tidak sport jantung kalau seperti itu, sampai-sampai perut mereka minta diisi, seperti Vanya saat ini. “Lo mah jangan ditanya, Anya! Makanan nomor satu,” balas Adelyn. “Itu lo tau, udah ah ke kantin, nanti keburu penuh,” ujar Vanya yang sudah menahan rasa laparnya. “Ck, ngapain takut penuh? Orang kita aja duduk bareng 4R, ya kan mereka punya meja sendiri siapa pun gak boleh duduk di sana. Ya santai aja, iya nggak, Va?” “Iya, terserah kalian deh,” balas Reva. Alisyia yang sedari hanya menyimak pembicaraan teman-teman barunya karena tidak paham apa yang mereka bicarakan. “Kalian pada ngomongin apa sih?” tanya Alisyia penasaran. “Astogeh! Gue lupa kalau ada Alisyia, sorry, Al,” ujar Adelyn yang langsung menepuk jidatnya. “Iya, sans aja. Mau ke kantin kan?” tanya Alisyia lagi. “Iya, yuk, ke kantin bareng kita sekalian kenalan sama yang lainnya,” ajak Adelyn. Alisyia pun mengangguk dan bangkit dari posisinya mengikuti ke mana Reva dan teman-temannya pergi. Namun sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkan kelas, seseorang membuat langkah kaki mereka harus terhenti. Siapa lagi kalau bukan seorang Raga Angkasa Dirgantara, pacar Reva Annasthasia. Ia menahan Reva sebelum Reva benar-benar keluar dari kelas. “Ke kantin bareng,” ujar Raga singkat. Singkat, padat dan jelas sudah mencari ciri khas dari seorang Raga bahkan sampai sekarang, sama sekali tidak bisa diubah. “Hm ... oke.” Reva mengangguk-angguk. “Ekhem! Yang pacaran sekelas mah beda, jadi nyamuk bentar lagi. Anya, Al, ke kantin yuk, gue udah laper banget nih!” sindir Adelyn. Matanya menatap kedua temannya itu namun sesekali melirik Reva dan Raga. “Kuylah, perut gue udah keburu demo kalau nungguin mereka,” ujar Vanya ikut-ikutan. “Yaudah, kita duluan, ya, Va. Bye-bye, ketemu lagi nanti di kantin!” Adelyn menarik kedua temannya itu pergi meninggalkan kelas terlebih dahulu. Kini tersisa Raga dan Reva berdua. Reva hanya mengernyitkan alisnya, bingung dengan sikap kedua temannya itu. “Ada-ada aja mereka,” gumam Reva. “Kantin kan?” Raga hanya mengangguk. “Yaudah kita susul mereka.” Reva berjalan terlebih dahulu namun baru saja selangkah, Raga menahannya kembali. Ia menoleh ke arah Raga dengan tatapan bertanya. “Kenapa?” tanya Reva bingung. “Tangan lo,” ujar Raga singkat. “Untuk?” Reva semakin tidak paham dibuatnya. “Ck, sini!” Raga memegang salah satu tangan Reva dan mengenggamnya. “Paham, kan?” Reva mengangguk kecil. Sungguh perlakuan Raga ini memang susah ditebak namun terkadang cukup romantis. Pipi Reva saja sampai memerah, untung saja Raga tidak melihatnya karena ia menunduk. Kalau tidak bisa-bisa Raga menanyai dirinya. “Yaudah, ayo!” Raga menarik Reva melangkah ke luar kelas menyusul teman-temannya yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju kantin. Gerak-gerik mereka tak luput dari pandangan seseorang yang masih diam di tempat duduknya. Entah mereka lupa atau tidak sadar seseorang masih berada di dalam kelas. Seseorang yang sempat mengisi hati Reva namun itu dulu sebelum kenyataan pahit menghantam hubungan mereka. Siapa lagi kalau bukan Revano Aldian, yang kini merupakan saudara kembar Reva. Sudah beberapa bulan terlewati, tahap demi tahap Revano berusaha untuk melupakan semua yang telah terjadi. Berusaha untuk menerima semuanya, menghilangkan perasaannya, ia pun harus menjauhi Reva untuk sementara waktu agar dirinya tidak terus-terusan mengingat semuanya. Ya, semua butuh waktu. Cukup melihat dia bahagia, aku sudah bisa tenang dan perlahan aku melupakan semuanya yang telah terjadi, batin Revano. ❤?❤ “Woy, liat deh itu mubar, kan?” “Gila, cakep banget anjir!” “Iya weh, blasteran lagi.” “Complete pake banget deh, gue juga denger dia tuh sekelas sama most wanted sekolah kita.” “Kelasnya Revano sama Raga kan?” “Iya gila, kelas mereka enak banget deh.” “Iri gue.” “Fix dia itu milik gue!” Tak lelah-lelahnya mereka melontarkan berbagai perkataan yang ditujukan kepada Alisyia alias mubar itu. Selalu saja seperti itu, pasti ada saja yang menjadi bahan pembicaraan. Yap, Adelyn, Vanya dan Alisyia baru saja melewati koridor sekolah. Seketika mereka menjadi pusat perhatian, bukan mereka, lebih tepatnya Alisyia. Tak perlu heran, pasalnya Alisyia memang memiliki paras wajah yang cantik, tinggi putih, hidung mancung, rambut coklat kacang dan jangan lupakan kalau dirinya juga blasteran Indo-Belanda. Idaman sekaligus body goals bukan? “Gila bener nih kantin, berasa di pasar aja!” celetuk Vanya ketika sampai di kantin yang sudah penuh layaknya lautan manusia bahkan suara mereka terdengar seperti mau demo. Untung saja bukan demo beneran. “Biasalah, Anya. Kuylah ke tempat 4R!” ajak Adelyn. Mereka pun berjalan menuju pojok kantin, tempat di mana merupakan wilayah kekuasaaan 4R. Tidak boleh seorang pun yang duduk di sana, terkecuali mereka yang memperbolehkan, seperti Reva dan kawan-kawannya. “WIHH SIAPA TUH?!!” ujar Aldi dengan heboh. Sikap playboy itu tak akan pernah hilang apalagi jika melihat murid baru yang bening-bening seperti Alisyia, ia langsung gercep alias gerak cepat. Berbanding terbalik saat di pelajaran, yang lolanya minta ampun. “Kebiasaan lo! Giliran liat yang baru aja langsung gercep!” sahut Vanya. “Kenapa lo yang sewot? Suka-suka gue lah. Diri, ya, diri gue. Kenapa? Lo cemburu, ya, jangan-jangan?” Aldi mengedipkan mata sebelahnya, menggoda Vanya. “IDIHH AMIT-AMIT GUE AMA LO!! GAK USAH KEGEERAN DAH LO!” Suara Vanya yang melebihi toa mengundang perhatian murid-murid yang berada di kantin. “SIAPA JUGA YANG GEER? GAJE-BO!!” tantang Aldi yang tak mau kalah. Ia pun bangkit berdiri, menyejajarkan tingginya dengan Vanya. Adelyn dan Raffa yang berada di sana sekaligus menjadi penonton hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka. Sudah biasa buat mereka melihat Aldi-Vanya yang selalu seperti Tom and Jerry. Sedangkan Alisyia hanya bisa terdiam memandangi mereka, bingung. “Eh, udah lo berdua duduk aja dulu, biarin tuh mereka,” ujar Raffa pada Adelyn dan Alisyia. “Eh, iya, gue ampe lupa duduk,” balas Adelyn tertawa kecil. Ia pun duduk di hadapan Raffa, diikuti oleh Alisyia yang duduk tepat di sebelahnya. “LO TUH YANG GAK JELAS!!” “KACA MANA, KACA MANA!” “LO JUGA NGACA LAH!” “Astapir! Udah woy! Kalian nggak malu apa dilihatin yang lain??” lerai Adelyn yang sudah lelah mendengar perdebatan mereka. Kalau tidak dilerai seperti ini, perdebatan mereka bisa tambah panjang. “DIEM!!” ujar Vanya dan Aldi secara bersamaan. Sinting mereka! Sabar, Del! batin Adelyn sembari mengelus d**a. “Lama-lama gue jodohin lo berdua juga! Dasar Alvan!” “Idih, ogah gue dijodohin ama playboy cap lele kek dia! Mending gue sama Raffa aja dah,” ucap Vanya asal. Raffa yang merasa namanya disebut memalingkan pandangannya dari ponselnya dan menatap orang yang memanggil namanya. “Lah kenapa gue jadi dibawa-bawa?” “Dia suka, kali, sama lo,” bisik Aldi. Raffa menatap Aldi tajam. “Gak usah sok tahu deh lo!” Raffa menjitak kepala Aldi. “Aduhh ... sakit kali, Beb,” rintih Aldi. Sepertinya otaknya yang tidak waras itu sudah kumat lagi. “Sama bebek aja lo sana!” Raffa menatap jijik Aldi. Ia sampe bingung sendiri, bisa-bisanya ia mempunyai teman dengan otak miring seperti Aldi. Untung saja dua teman es-nya, Raga dan Revano, masih waras, kalau tidak bisa bundir alias bunuh diri. “Lo urus tuh temen lo satu itu, Fa,” ujar Vanya kesal. Ia langsung mendudukkan pantatnya tepat di sebelah Adelyn. “Udah-udah, kalian berantem mulu. Nggak kasian apa sama Alisyia? Dia nggak paham apa-apa,” ujar Adelyn. “Eh nggak papa kok, santai aja. Lagian tadi kalau gue lihat Vanya sama siapa tadi?” “Aldi.” “Iya itu, mereka cocok juga kalau dilihat-lihat.” Ucapan Alisyia mengundang tawa Adelyn dan Raffa. Alisyia sendiri pun tertawa kecil, ternyata asik juga berteman dengan mereka, pikirnya. “Idihh, gue sama dia cocok? Amit-amit jabang bayi! Ogah sama diaa dah,” balas Vanya yang tak terima. “Lo pikir gue sudi? Ogah kali ama cewek yang bawel kek lo, masih banyak cewek di luar sana!” ujar Aldi. “Ck, mulai deh kalian! Udah, ih, akur bentar aja napa? Lama-lama gue suruh orang tua lo berdua jodohi kalian juga,” ancam Adelyn. Sontak Vanya dan Aldi langsung menutup mulut mereka dan memalingkan muka mereka. “Nah gitu dari tadi kek, nggak perlu repot-repot gue diemin lo berdua. Oh, iya, sampe lupa, kenalin ini Alisyia, mubar di kelas gue,” ujar Adelyn memperkenalkan Alisyia. “Hai semua, gue Alisyia. Kalian boleh panggil gue Al,” ujar Alisyia memperkenalkan dirinya. “Salken, Al. Gue Raffa dari kelas 12-IPS-1,” ujar Raffa dan Alisyia mengangguk sebagai tanda mengerti. “Gue Reynaldi, panggil gue Aldi, sekelas, ama, nih anak.” Tunjuk Aldi pada Raffa. “Btw, lo belum punya pacar kan, ya?” Alisyia menggelengkan kepalanya. “Nah, bagus, berarti gue boleh dong jadi pacar lo?” Aldi menaik turunkan alisnya. Vanya baru saja ingin membuka mulutnya. “Udah, Nya. Nggak usah disahutin, biarin aja. Kalau lo sahutin berarti lo suka sama dia,” ujar Adelyn yang mencegah agar Vanya tidak berbicara. “Iya-iya.” “Btw, Raga sama Reva mana?” tanya Raffa. “Oh iya, tadi sih mereka masih di kelas, mungkin lagi jalan ke sini kali,” jawab Adelyn. “Dasar bucin! Terus Revano?” “Keknya masih di kelas tadi.” “Betah amat di kelas. Sejak kejadian itu, dia jadi lebih sering di kelas daripada ngumpul sama kita. Itu pun ngumpul kalo nggak ada Reva.” “Iya, bener juga yang lo bilang.” “Biarin aja dulu, mungkin dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan perasaannya,” sahut Vanya yang sedari tadi menyimak. “Emang mereka ada apa?” tanya Alisyia yang penasaran. “Eh, iya, tuh kan kita ampe lupa ada Alisyia di sini. Bukan apa-apa sih sebenarnya, tapi kalau lo mau tahu boleh-boleh aja sih. Jadi sebenarnya tuh mere-“ “Tuh Raga sama Reva datang!” Ucapan Vanya terpotong ketika Raffa melihat kedatangan Raga dan Reva ke arah mereka. “Yang ditunggu-tunggu pun dateng juga,” sahut Aldi. “Sorry-sorry, nunggunya lama, ya?” tanya Reva tak enak yang baru saja tiba di hadapan teman-temannya. “Iya nih! Sampe lumutan kita nunggunya,” sahut Vanya. “Biasa, beda yang udah jadian mah!” “Emang, bucinnya itu ...” Reva hanya tertawa kecil. Tiba-tiba saja dirinya ditarik oleh Raga untuk duduk di sebelahnya. Adelyn, Vanya, Raffa dan Aldi yang melihat hal tersebut langsung serentak berkata, “CIEEEE!!!” Mendengar hal itu, Reva menundukkan kepalanya. Malu dilihat oleh teman-temannya itu. Hingga Raga mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga Reva. “Gak usah malu, mereka cuman iri sama kamu,” bisik Raga. “Ekhem! Jangan lupa liat tempat kalau berduaan, dunia serasa milik berdua,” sahut Vanya. Dasar teman-teman laknat! Pipi Reva sudah memerah akibat ulah teman-temannya itu ditambah lagi Raga yang tiba-tiba saja mengacak rambut Reva di hadapan mereka. Rasanya mau menghilang sekarang juga. “Udah-udah, kita nggak pesen makanan nih. Bel istirahat tinggal lima belas menit lagi,” ujar Raffa. “Yaudah siapa yang mau pesan makanan?” “Gue sama Raga aja. Seperti biasa kan?” Adelyn dan Vanya mengangguk. “Kalau lo, Al?” “Gu-gue? Samain aja kek mereka,” jawab Alisyia. “Oke.” Raffa dan Raga pun beranjak untuk memesan makanan teman-temannya. “Kamu kenapa, Al?” tanya Reva. Ia menyadari adanya perubahan mimik wajah Alisyia sedari tadi bahkan Alisyia hanya diam saja dengan tatapan yang sulit diartikan. Yap, Reva memang memperhatian Alisyia sejak sampai di kantin. “Gue nggak papa kok, cuman kepikiran temen gue di Belanda,” jawab Alisyia. “Ohh, kirain kenapa.” Reva mengangguk-angguk lalu kembali melanjutkan pembicarannya dengan kedua temannya. Alisyia sendiri kembali ke dalam lamunannya. Pikirannya kacau begitu juga dengan hatinya. Ia menatap nanar yang ada di hadapannya. Pupus sudah harapannya ketika mengetahui faktanya. Semuanya tidak sesuai ekspetasi. Kenangan dan rasa penyesalan itu muncul menguasai pikirannya. Ternyata salah, lo udah nggak ada perasaan sama gue lagi. Ya, ini memang salah gue tapi apa salah gue berharap lo masih punya setidaknya sedikit perasaan untuk gue? Salahkah gue menginginkan kita seperti dulu lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu, Alisyia hanya bisa menyeruakan dalam hati kecilnya. Ia tidak bisa menangis. Bukan tidak bisa, tetapi tidak boleh. Tidak boleh ada yang tahu tentang dirinya dulu karena ia baru saja masuk ke sekolah SMA Antariksa Angkasa. Belum saatnya ... To Be Continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD