DUA

1773 Words
Jaka mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pikirannya memikirkan amplop yang sudah beberapa hari ini muncul bahkan sudah seperti wabah untuknya. Di tikungan lampu merah Jaka terkejut saat sebuah amplop mengenainya dan otomatis membuatnya oleng menabrak trotoar dan terjatuh. Untung saja tidak ada pengendara lain yang melintas juga helmnya masih terpasang rapi di kepala. “Sial!!” pekiknya marah hingga ia merasakan kakinya sedikit ngilu Tak lama beberapa orang menghampirinya yang tergeletak terduduk dan salah satu kakinya tertimpa badan motor besarnya. Dua hingga tiga orang membantunya mengangkat motor yang menimpanya dan membantu Jaka berdiri. Namun, kaki Jaka yang tertimpa tadi terasa sakit dan terlihat ada darah yang menetes “Bawa ke rumah sakit saja ya Mas?” Tanya seorang bapak-bapak dengan peci Namun, baru saja Jaka akan di bantu ke sebuah mobil, seseorang datang menghampiri “Loh Bos? Kenapa?” “Kamu karyawannya?” Tanya seorang bapak-bapak “Iya pak, saya teman kerjanya” “Wah kebetulan, ini tadi jatuh dari motor” jelas seorang bapak tukang becak “Hah!? Oh, ya sudah bawa ke mobil saya pak, biar saya bawa ke rumah sakit” Jaka hanya terdiam dan mengikuti semua yang dilakukan Rio dengan beberapa orang yang memasukkanya ke dalam jok belakang mobil Rio. Sesekali terdengar Jaka yang meringis menahan perih dan sakit di tubuhnya. Terlihat dari jauh, laki-laki yang sejak tadi mengawasi Jaka hanya menganggukkan kepalanya dan segera pergi bersama angin yang berhembus membawanya pergi. Sedangkan itu di dalam mobil, Rio sesekali melihat keadaan sahabatnya yang meringis menahan sakit. “Motor lu udah gue suruh orang bengkel bawa, ntar laporanya gue kasih tau” ucap Rio yang sedang menyetir Jaka hanya meringis menahan sakit, ia berusaha berkonsentrasi memposisikan diri. Menutup kedua kelopak matanya dan mulai memusatkan diri. Kemudian tanpa di duga seseorang sudah duduk di samping Jaka dan langsung mengusap kaki Jaka yang terluka. Rio yang melirik jok belakang seketika menginjak rem mendadak, otomatis Jaka langsung membuka kedua matanya karena dahinya terantuk dan langsung melihat sampingnya. “Maaf Bro, kaget gue ada orang di sebelah lu tadi” pekik langsung Rio saat memastikan lagi orangyang tadi ia lihat “Udah jalan lagi, langsung ke klinik Dokter Ifan” ucap Jaka “Oh oke” Rio yang kembali melihat kebelakang untuk memastikan dan ternyata orang yang tadi ia lihat bahkan sempat tersenyum kecil padanya sudah tidak ada. “Fokus nyetir Yo” ucap Jaka dengan kepala bersandar dan menutup kedua matanya Rio tergagap dan kembali fokus ke jalanan. Tanpa Rio ketahui Jaka sudah pergi dengan membelah sukmanya. Dan menghilang .. Malam menyelimuti sebagai bumi. Menghantarkan hembusan angin dingin yang menusuk kulit. Jaka baru saja turun dari kereta yang membawanya kembali ke sini. Tempat yang ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kemari, ah~ mungkin saat Kakeknya meninggal atau dua tahun lalu. Entahlah ia sudah lupa Memandangi gapura batu yang mungkin usianya lebih tua dari Kakeknya masih berdiri kokoh. Jaka hanya mendongak melihat ke atas, sekelebat bayangan saat ia bermain petak umpet dengan saudara sepupunya. Dan ia bersembunyi di balik gapura ini dan menyaksikan Ayahnya dipermalukan adik Kakeknya. Jaka kecil hanya berdiam di sana sampai malam menjelang. Besoknya Ibu melahirkan adiknya namun, karena kegagalan jantung adiknya meninggal disusul ibunya yang kehabisan darah. Sedangkan Ayahnya saat perjalanan menuju rumah sakit tergelincir dan mobilnya masuk ke dalam jurang. Jaka kecil baru ditemukan bersembunyi di balik gapura keesokannya dengan tubuh yang menggigil. Kakeknya segera membawanya ke rumah sakit dan menginap selama dua minggu. Selama itu Jaka tidak mengetahui jika keluarganya pergi mendahuluinya. Sang Kakek merahasiakannya.   Tepukan di bahu Jaka membuatnya tersentak dan melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Ternyata sepupunya, Dewa. Menatap datar Dewa, Jaka segera berlalu masuk ke dalam istana. Harum melati menyergap indera penciumannya, diikuti Dewa di belakangnya “Oii, Jak tungguin napa?” ucap Dewa menyusul Jaka tentu dengan keahliannya ia bisa langsung berdiri di samping Jaka dalam sekejap Jaka melirik Dewa sebentar, “Simpan energimu” ucap Jaka yang segera berlalu pergi Dewa mendengus dan segera menyusul Jaka kembali   Di pelataran depan pendopo yang sudah banyak orang. Hanya beberapa orang tertentu yang hadir, meski ada kelompok penabuh gamelan di pojokkan pendopo yang sedari tadi mendendangkan alunan gamelan yang mendayu. Menghipnotis setiap orang yang mendengarnya. Jaka berjalan pelan setelah mengganti bajunya dengan baju khas Jawa, mengenakan blangkon dan jarik, mengganti sepatunya dengan selop hitam. Pelan Jaka berjalan menuju area keluarga keraton. “Gila keren lu Jak” celetuk Dewa yang langsung di timpuk oleh Ibunya “Aduh, buk sakit” rintih Dewa sambil memberengut “Bahasanya yang sopan, lagian Jaka ini Kang Mas mu malah lu-gue” nasihat Ibunya yang langsung duduk di samping Bu Dhe Lasmini- kakak Ayahnya “Sudah ayo duduk” ucap Jaka yang sudah duduk di lantai dengan bersila bersebelahan dengan Rama kakak dari Dewa “Sudah lama Jak?” sapa Rama “Baru kemarin sore sampai” “Pantesan gue cariin dari kemarin pagi ternyata lu datengnya dadakan” ucap Dewa yang mencuri dengar Ibunya menoleh pada Dewa dan menatapnya tajam, di balas cengiran oleh Dewa Obrolan mereka terputus saat prosesi di mulai. Mereka dengan khidmat mengikuti semua rangkaian acara. . Bulan berganti merajai langit bersama bintang yang berkedip bergantian. Prosesi yang sudah berlangsung semalam hingga sekarang sudah Jaka ikuti. Ia berencana segera kembali, meski larut ia akan langsung pulang. Segera mengganti pakaiannya dan bersiap pulang. “Mas Jaka” Jaka yang baru saja keluar kamarnya di hadang seorang abdi dalem. “Oh Mas Toto, ada apa?” “Nyuwun sewu, Mas Jaka di tunggu Sultan di aula dalam” Jaka menganggukkan kepala dan mengikuti Toto yang berjalan di depannya. Sampai di sebuah pintu kayu denganukiran khas Jawa dan bau kayu yang memenangkan menguar merasuk di indera penciuman Jaka. Aroma melati kemudian. Tanpa Jaka duga ia memejamkan mata menikmati aroma yang selalu membuatnya tenang kala kecil. Bahkan Jaka juga merindukan ketenangan keraton ini. Dengan segala kenangan masa kecil juga rasa rindunya sebenarnya tanpa di paksa, Jaka akan dengan senang hati pulang. Namun, setelah Kakeknya meninggal, ia rasa tempatnya juga hanya sebatas saudara. “Masuk Ngger” Jaka tersadar dan melihat Toto yang berdiri membukakan pintu untuknya. Mengangguk pelan dan melangkahkan kakinya ke dalam. “Duduk sini Ngger” ucap Sultan menunjuk kursi di sampingnya Jaka menurut dan segera duduk. “Sudah lama ya Ngger, kamu jarang pulang ke sini” ucap Sultan mengawali “Pulanglah sekali-kali” “Inggih Sultan” jawab Jaka pelan “Hah, kamu ini Ngger aku juga kakekmu” Jaka memandang Sultan sekilas, menatap senyum tipis Sultan “Enten nopo, Eyang?” (Ada apa, Kakek) Tanya Jaka pelan “Eyangmu nitipke surat kanggo awakmu, Ngger” (Kakekmu menitipkan surat untuk dirimu, Nak) Sultan mengambil sebuah gulungan dan amplop putih di laci dan meletakkan di meja depannya. Jaka hanya mengamati. “Ambil surat dan gulungan itu Ngger, itu hakmu dari Eyang Kakungmu” ujar Sultan Jaka menurut dan segera menganbil kedua benda di depan meja Sultan pelan. Segera membuka perkat surat namun, di cegah oleh Sultan “Bawa pulang dan baca di rumah Ngger” “Inggih Eyang, kaliyan nyuwun pamit” (Iya Kakek, sekalian izin pamit) “Loh ora nginep tho Ngger?” (Loh, tidak menginap, Nak?) Tanya Sultan “Mboten Eyang, enten sambatan mbenjing. Nyuwun pamit” (tidak Kakek, ada kerjaan besok. Izin pamit) “Ya wes, ngati-ngati Ngger” (ya sudah, hati-hati Nak) -- Ratna memandang langit di atas. Bintang bertaburan mengiringi bulan yang tinggal separuh. Namun, sinarnya menerangi malam ini. Menamati benda langit yang beradu sinar untuk menerangi kegelapan. Di temani derik jangkrik dan hewan malam yang saling bersahutan juga semilir angin yang berhembus lembut membelai rambutnya yang setengah basah. “Hei, Na kok bengong di sini. Yuk masuk dingin”   Ratna, atau biasa disapa Nana menoleh saat sahabatnya Fatma yang baru saja pulang dari rumah sakit. Sahabatnya bekerja sebagai perawat magang di salah satu rumah sakit pemerintah. “Oh kamu Ma, iya bentar lagi deh. Pengen ngadem” “Ayo masuk, aku bawa martabak kesukaanmu nih” bujuk Fatma “Taruh meja aja, nanti aku makan. Kamu masuk sana ntar kemaleman mandimu” ujar Nana “Ya udah kalau gitu, masuk dulu ya” ucap Fatma yang akhirnya masuk dan sebelumnya menepuk pundak sahabatnya pelan Nana hanya diam memandangi langit yang menggelap, sepertinya akan turun hujan “Cepat sekali berubah cuaca” gumam Nana Fatma keluar lagi begitu mendengar angin berhembus kencang, melihat Nana yang kembali melamun dan merasakan angin yang menerpa tubuhnya.   “Na, masuk yuk makin kenceng nih anginnya” bujuk Fatma lagi Nana menoleh dan tersenyum pelan. Fatma membelalakkan kedua bola matanya saat melihat lelehan air mata dari sudut mata Nana. “Na, kamu kenapa?” bisik Fatma pelan meraih Nana ke dalam pelukannya, menusap punggungnya pelan Selanjutnya hanya isak tangis yang terdengar beradu dengan deru angin yang menerbangkan segala yang dilewatinya “Sudah Na, ikhlas ya. Ada aku di sini. Kamu kuat” bisik Fatma pelan Nana yang mendengarnya malah semakin kencang isak tangisnya. Fatma setia menunggui Nana yang mendekap eratnya dengan masik terisak. “Masuk yuk Na, makin dingin” ucap Fatma sambil membimbing Nana berdiri dan memapahnya Sedangkan itu dari jauh terlihat sebuah mobil berwarana biru tua berhenti tidak jauh dari rumah Nana, mengamati aktivitas di teras sana. “Apa benar dia?” gumamnya   Tak lama ia menghidupkan mesin mobil dan pergi Tanpa ia ketahui ada satu kendaraan lagi yang berhenti, dan memperhatikan semua. Sudut bibirnya tertarik ke atas   “Sepertinya Tuan tidak salah mengira” ucapnya sebelum memacu motornya dan berlalu pergi. Lainnya, Fatma menyelimuti tubuh tertidur Nana yang lelah menangis. Setitik air mata jatuh di sudut mata kanan Fatma melihat sahabatnya menangis sampai tertidur. Seketika Fatma ingat sesuatu, segera ia menyambar ponselnya dan memencet sebuah nama di kontak teleponnya “Raf, Nana kambuh” --   Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Hawa dingin sisa embun terlihat menempel di kaca-kaca kereta. Lalu lalang pengendara terlihat memenuhi palang pembatas saat kereta yang Jaka tumpangi akan berhenti di stasiun. Jaka yang masih pulas dalam tidurnya. Menikmati mimpi abstrak yang menghinggapi alam bawah sadarnya. Sesekali petugas dalam kereta berseliweran memeriksa penumpang. Jaka yang masih asyik dengan mimpinya tidak mengindahkan sekitar. Dengan bantuan masker dan topi hitam ia menutupi dirinya. Hingga tepukan pelan dirasakan pada bahunya   “Permisi Pak, kereta sudah sampai di tujuan akhir” ucap petugas tersebut ramah   Jaka yang sudah terjaga sejak pemberitahuan dua menit yang lalu, ia sendiri sengaja masih memejamkan mata untuk menikmati sisa kantuknya. Menegakkan punggungnya, Jaka melihat sekilas pertugas kebersihan yang berdiri tak jauh darinya. Jaka mengangguk pelan dan berdiri. Merogoh sakunya dan memberikan permen coklat ke petugas kebersihan   “Tidak Pak, terimakasih” tolaknya halus Jaka berlalu pergi. Keluar dari gerbong kereta dan mengantongi lagi permen tersebut - - -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD