Pintu kamar terbuka, terdengar seseorang mendorong daun pintu pelan. Terbuka ke dalam, Jaka yang melihatnya hanya diam dan mengawasi. Jaka melihat Raffa yang mendorong tiang infus dengan tangan kiri dan tangan kanannya melingkari pinggang Nana membantunya berjalan. Tertatih Nana masuk ke dalam kamar, begitu masuk pandangannya tidak sengaja mengarah pada Jaka yang sedang duduk di ranjangnya.
Pandangan mereka saling bertemu, Nana yang merasa malu langsung menundukkan kepalanya dan berjalan pergi. Sedangkan Jaka masih menatap Nana dan tanpa sadar ia menarik sudut bibirnya. Sekilas ia melihat aura warna merah muda di sekitar Nana saat melihatnya tadi. Berbeda dengan Raffa yang terlihat biru bercampur putih.
“Pelan-pelan aja Na, kamu masih lemes gini malah jalan-jalan” ucap Raffa lirih dan perhatian
“Bosen Raf, lagian udah hampir dua hari tiduran aja” jawab Nana sambil menggerutu kecil
“Siapa suruh gak makan seharian kemarin?!” ujar Raffa terselip nada kesal meski tetap dengan membantu Nana naik ke ranjang rawatnya
“Infusmu hampir habis, setelah itu kalau kondisimu udah baik bisa keluar rumah sakit” tambah Raffa
Nana mengangguk kecil. Membuat Raffa gemas dan mengusak rambut Nana pelan
Langsung di tepis Nana, karena merasa malu dan aneh dirasakannya
“Rambutku kusut Raf, belum ku cuci sejak di sini” ucap Nana merasa sungkan
Raffa hanya tersenyum kecil
“Gak apa, rambut kamu emang udah lusuh biar makin jelek” canda Raffa dengan senyum jahilnya
Langsung membuat Nana cemberut dan memukul pelan lengan Raffa dengan tangannya yang terrtancap jarum infus. Otomatis jarumnya tertarik dan hampir membuat darahnya naik
“Astaga Nana!!” pekik Raffa panik dan langsung menarik kembali tangan Nana, memperbaiki jarum infusnya
Nana hanya diam
Jaka yang mendengarkan dari balik tirai hanya diam tapi, terselip kesal namun tidak kentara. Mengingat kembali laporan dari orangnya. Ada sedikit keanehan dalam diri Nana. Bukan hanya dia yang istimewa tapi, sesuatu yang Jaka belum paham
Jaka berbaring di ranjangnya, mengambil ponselnya dan mendial deretan angka
“Lagi dimana?”
“Ada operasi gue? Kenapa?”
“Habis operasi ke kamar gue”
Langsung Jaka memutuskan sambungan telepon, sedangkan si lawan bicara sudah mencak-mencak tidak jelas.
“Dasar!! Kebiasaan nih bocah” gumamnya
Meletakkan ponselnya di meja dan segera memakai penutup kepala warna hijaunya. Ketukan di pintu membuatnya melirik pintu yang sudah di buka
“Dok, semua sudah siap”
“Oke ayo ke sana”
Di kamarnya Jaka mulai mencoba game yang baru dirilis kemarin, sesekali ia mengkerutkan kening saat melihat beberapa tokoh yang kurang bagus. Mencatatnya dan kembali fokus.
Dilain itu, Nana yang mulai merasa sehat dan berencana keluar rumah sakit sore nanti. Ia bersiap untuk membereskan pakaiannya juga barang-barangnya. Jaka yang mendengar suara sedikit berisik di balik tirai mengkerutkan keningnya
Melihat jam di dekat pintu, sudah siang – batinnya
Meletakkan ponselnya dan menyamankan diri untuk duduk kembali, Jaka meraih tirai yang tak jauh darinya.
Melihat Nana yang sedang membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas berukuran sedang. Sekilas Jaka melihat warna aura putih dan setelahnya menghilang
Nana yang merasa ada yang melihatnya langsung mendongakkan kepalanya. Pandangannya bertubrukkan dengna Jaka yangjuga sedang melihatnya
“Ah~ Pak Jaka maaf ada apa?” Tanya Nana yang langsung menundukkan kepalanya dan sesekali melirik Jaka yang masih melihatnya dengan intens
“Kamu mau pulang?” Tanya Jaka akhirnya setelah lama terdiam
Nana mengangguk dan buru-buru menjawab “Iya Pak” jawabnya dengan suara pelan
“Tunggu sebentar”
Nana langsung mendongak dan melihat Jaka yang sedang menelpon seseorang. Tak lama sambungan teleponnya terputus dan menengok pada Nana yang sedang melihatnya
“Nanti ada orang saya yang nganterin kamu pulang. Jangan pulang sendiri” ujar Jaka dengan nada datar
Nana yang baru mendengar ucapan bosnya langsung akan memprotes.
“Gak ada protes!” tambah Jaka dalam keadaan ia berbaring dan menutup kedua kelopak matanya
“Baik Pak,” ujar Nana mengalah
Jaka hanya tersenyum tipis tidak kentara. Lucu – pikirnya
. . .
Langit senja mulai terlihat, semburat oranye dan gelap mulai menyelimuti sebagian bumi. Semilir angin dingin berhembus dari lereng gunung. Kicauan burung malam juga menmabah suasana sore itu.
Ifan melepas masker juga penutup kepalanya. Menghembuskan napas lega. Menaruhnya di bak yang ada di luar dan mencuci tangannya. Satu persatu orang berbaju seragam dengannya keluar dan menyapanya.
“Mari dok”
Ifan menangguk pelan dan merogoh sakunya.
“Ponsel gue di meja nih kayaknya” gumamnya mengingat letak benda persegi tersebut
Merapikan diri sedikit, Ifan segera berjalan menuju sebuah kamar. Sesekali perawat juga dokter yang berpapasan dengannya menyapa dan dibalas anggukan oleh Ifan. Baru saja ia akan berbelok, pandangannya melihat keluar. Menemukan seorang gadis yang berjalan dengan seseorang yang sepertinya ia kenal
“Kayaknya itu Zaki deh, orangnya Jaka” gumamnya
Dahinya mengkerut, pikirannya sudah berkelana.
“Tumbenan si Jaka sampai ngutus Zaki” ujarnya lagi dan kemudian berjalan lagi
Berjalan menuju salah satu kamar rawat pasien, Ifan yang baru saja berganti baju dan sedikit mandi setelah selesai operasi tadi.
“Jak, lu-..” Ifan melongo
Jaka tertidur di ranjang sebelahnya. Merasa ada yang aneh, Ifan segera mendekati Jaka yang masih memejamkan matanya
Baru saja Ifan akan menyentil dahi Jaka, si empunya berujar
“Gak usah macem-macem, duduk sana” ucap Jaka yang sudah membuka kedua kelopak matanya
Ifan hanya nyengir jenaka dan duduk di ranjang Jaka.
“Ngapain lu tidur di situ?” Tanya Ifan
Jaka hanya diam, dan menyamankan diri di sandaran ranjang. Menarik napas pelan dan menatap langit kamar
“Gue lagi mikir aja”
Ifan menaikkan satu alisnya. Merasa aneh dengan ucapan sepupunya ini
“Lu harus mulihin diri dulu, gak usah macem-macem dulu deh” ucap Ifan kemudian
“Gue juga lagi pulihin diri ini Fan, lu tenang aja. Lagian gue juga lagi ngisi energi gue lagi” ucap Jaka ambigu
“Terserah lu deh, eh sore nanti elu udah boleh pulang. Tanda vital lu udah baik gak ada yang aneh. Tunggu infus lu tuh tinggal dikit lagi” ujar Ifan
“Oh ya lu tadi nelpon gue kenapa?” Tanya Ifan yang baru ingat tujuannya datang ke kamar rawat Jaka
“Gue butuh bantuan elu” ucap Jaka
Ifan merasa aneh,
“Apaan?”
Jaka melihat Ifan, wajahnya serius. Ifan yang melihatnya semakin penasaran. Mereka saling berpandangan, dan tak lama Ifan mengkerutkan keningnya
“Dia bukan pasien gue” ujar Ifan langsung
“Bantuin gue cariin datanya” ucap Jaka
“Buat apaan sih?!”
Jaka hanya diam. Ifan menarik napas pelan dan mengangguk pasrah
“Oke gue bantuin” ujar Ifan akhirnya
“Besok serahin ke gue”
Ifan hanya berdehem sebagai jawaban. Jika bukan karena ia sepupu juga orang yang banyak membantu Ifan, ia tak akan mau
“Gak usah ngedumel, berisik” ucap Jaka yang memejamkan mata
Ifan hanya mendengus sebal, “Gue keluar dulu, habis ini elu bisa keluar”
“Hn” jawab Jaka
Ifan berlalu, keluar dari kamar rawat Jaka. Sedangkan, Jaka yang kembali berkonsentrasi untuk memulihkan diri dari dalam.
. . .
“Loh, Na kamu udah boleh pulang?”
Nana yang ditanya hanya tersenyum tipis. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan hendak mengambil minum sesudahnya
“Iya, dari kemarin siang” jawab Nana yang sedang menuangkan air dari teko
“Kok kamu gak ngasih kabar aku?” ujar Fatma yang sudah berdiri di samping Nana
Nana hanya diam dan menikmati air yang masuk ketenggorokkannya. Segar air meresapi kehausannya
“NA??!!” pekik Fatma yang gemas
Nana hanya tersenyum kecil, tangannya menarik Fatma untuk duduk di kursi sampingnya. Yang ditarik hanya manut dan menahan semua pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya
Gadis berkerudung tersebut duduk di samping Nana
“Kamu lagi sibuk Fat, aku juga udah sehat kok ini. Kamu tenang aja” ucap Nana mencoba memberika pengertian ada Fatma
“Tapi, tetep aja Na. kamu sendiri pulang dari rumah sakit. Baru sembuh, trus mana itu si Rafa gak nganterin kamu?” cerocos Fatma
“Dia lagi ada operasi Fat, lagian aku gak mau ganggu juga. Dia udah banyak bantu kita, terutama aku. Jadi aku gak enak” jawab Nana tenang
Ia tidak menceritakan bagian di antar sopir bosnya. Bisa tambah khawatir nanti
“Ya udah deh, sekarang yang penting kamu udah sehat. Aku ikut senang dan lega jadinya”
Nana tersenyum tipis. Sedangkan Fatma meski ikut tersenyum juga terselip rasa khawatir
. . . .