7. Makan malam serius

1611 Words
                Sika dan Syafima sampai di resto masakan Jepang yang terkenal dengan daging sapinya yang kelezatannya. Resto itu memang resto favorite keluarga mereka. Sika dan Syasya datang lebih dulu dan menempati meja yang sudah dipesan oleh Nada sehari sebelumnya. Nada dan papahnya sedang dalam perjalanan menuju resto itu. Ravindra baru saja datang dan langsung duduk di sebelah Syafima.                 Sika kemudian pergi sebentar untuk membeli sesuatu keluar resto. Resto itu terletak di sebuah mall. Jadi Sika bisa dengan mudah berbelanja sambil menunggu orangtuanya datang. Sedangkan Syafima juga sudah ada yang menemani, jadi daripada ia menjadi nyamuk bagi kedua orang itu. Ia lebih memilih pergi keluar sebentar.    “Udah lama?” tanya Ravindra begitu Sika pergi tak lupa Ravindra langsung mengamit jari-jari tangan Syafima dan menggenggamnya. “Lima belas menitlah. Macet ga tadi?” Syafima juga mengelus kepala sahabatnya itu dengan lembut. “Lumayan. Aku cape banget nih, tadi abis ketemu client.” “Duh kasian,” godanya sambil mengelus-elus kepala Ravindra dan menatapnya.                 Tak lama kemudian papah dan mamihnya datang dan melihat mereka sedang bermesraan. “Hayoooo … ngapain?” kata papahnya yang datang dari arah belakang mereka dan mengagetkan mereka. “Eh, Papah!” kata Syafima tersenyum malu.                 Papah dan mamihnya langsung duduk hadapan mereka. “Mana Sika? Kok ga ada?” papah celinguk mencari anak sulungnya. “Lagi nyari baju baby Pah. Buat temennya. Mumpung di mall juga kan jadi sekalian katanya.” “Ohhh …” mamihnya berooh ria. “Kalau begitu cepat telpon. Bilang papah dan Mamih sudah sampai.” Titah papahnya kepada Syafima.   / / / / / /   “Jadi, sebenarnya papah dan Mamih mengumpulkan kalian semua disini untuk memberitahukan keputusan papah yang sudah lama sekali ingin papah realisasikan. Papah ini sudah saatnya pensiun Sya. Papah ga mungkin ngurus semuanya sendirian lagi. Papah bersyukur banget karna Sika menggeluti dunia yang sama seperti papah. Jadi papah meminta bantuan Sika untuk ikut ke Jepara kota kelahiran papah dan menetap disana. Menghabiskan masa tua bersama Mamih.” Kata papah memulai pembicaraan intinya. “Papah mau pindah kesana?” tanya Syafima terkejut. “Iya, Sayang. Karna hanya disana, sepertinya papah akan betah.” “Lalu aku disini sama siapa Pah kalau kalian bertiga tinggalin aku?  Kerjaanku juga kan ga bisa aku tinggal gitu aja,” matanya mulai berkaca-kaca. “Papah sudah membicarakan hal ini sebelumnya dengan Ravindra dan Sika. Sika mengusulkan kamu akan tinggal bersama dengan Ravindra. Ravindra juga berjanji akan menjaga kamu. Dia juga sudah menyetujui itu. Jadi mulai minggu depan, kamu akan pindah ke penthouse Ravindra.” “Tapi Pah, mana mungkin aku tinggal sama Ravindra? Aku ga mau ngerepotin dia.” “Maaf Om, aku menyela.” Katanya meminta izin untuk berbicara dengan Syafima yang masih menahan air matanya. “Silahkan!” papah memberikan izin dan tersenyum. “Kamu nyamannya tinggal dimana?” tanya Ravindra dengan penuh kelembutan. “Dimanapun Ravindra. Tapi aku ga mau tinggal sama kamu.” “Loh, kenapa?” tanyanya bingung hingga ia mengerutkan dahinya.   “Kita belom menikah dan aku ga mungkinlah satu atap sama kamu. Aku ga mau ngerepotin kamu juga.” “Syasya … mana ada istilah ngerepotin diantara kita. Sudahku bilang berkali-kali aku sayang sama kamu. Mana mungkin ada istilah itu.” “Gw ga bisa Sya buat ninggalin lo sendirian di Jakarta. Papah dan Mamih ga akan tenang pastinya. Ravindra ga mungkin juga ngawasin lo kalo lo ga tinggal bareng sama dia. Lo juga ga mungkin tinggal sendirian, lo ga bisa bela diri kalo ada apa-apa gimana? Kalo lo sama Ravindra, gw yakin Mamih sama Papah pasti akan tenang, ninggalin anak gadisnya di Jakarta sendirian. Ditambah kalo sakit, ga mungkin lo ngurus diri lo sendiri. Pasti harus ada orangkan yang jaga lo. Mangkanya biar Papah dan Mamih tenang. Ya, Ravindralah yang harus jaga lo. Ga ada lagi. Ya kan Pah, Mih?” Sika ikut buka suara dan pada bagian terakhirnya meminta konfirmasi pada kedua orangtuanya. “Iya, Sayang!” jawab mamih lalu beralih pindah duduk di sebelah Syafima dan memeluknya, “mamih ga akan tenang sebenarnya kalo harus tinggalin kamu sendirian di Jakarta. Jadi kamu mau ya, tinggal sama Ravindra?” sambungnya dengan nada penuh kelembutan seperti biasanya. “Gw yakinlah Ravindra ga akan macem-macem sama lo.”Sika tersenyum melihat adiknya yang mellow, kemudian padangannya beralih  pada Ravindra dan tersenyum. “Gw juga kan ga selalu disana, bisa aja sekali-kali gw ke Jakarta. Sekarang juga kan zaman teknologi udah canggih Sya. Kita bisa video callan tiap hari kalo lo mau.” Lanjutnya.                 Ravindra hanya cengar cengir memperlihatkan deretan giginya yang sangat rapi. “Mamih juga janji akan telpon kamu terus Sayang.” “Bener ya Mih.” Katanya membenamkan wajahnya dipelukan mamihnya. “Iya, Sayang masa iya mamih bohongin kamu. Memangnya pernah?”                 Isak tangis mulai terdengar dari bibir anak gadisnya itu. Ravindra mulai mengelus punggung Syafima agar isak tangisnya tak semakin menjadi. “Quille, kamu bener ga apa-apa tinggal sama aku?” “Ya ga apa-apalah, Sya. Aku janji akan jagain kamu. Kamu juga jangan nakal, jadinya aku ga susah buat jagain kamunya.” Mulai mengamit jari-jari Syafima. “Ih kapan aku nakal?” menyeka air matanya. “Bercanda deng,” katanya tertawa. “Jadi kamu udah setuju ya kalo kamu tinggal sama Ravindra?” tanya papah mengkonfirmasi. “Akan Syasya fikirkan Pah. Aku ga mau terlalu terburu-buru juga memutuskan.” “Kalau kamu lebih nyaman di rumah kamu. Aku ga masalah pindah ke rumah kamu, tapi kalo kamu nyaman di penthouse ku. Kamu boleh tinggal di sana bersamaku.” Katanya tersenyum lalu mengelus kepala Syafima lembut. “Iya aku fikirkan ya. Aku ga bisa kasih keputusan sekarang.” Berusaha tersenyum.   / / / / / /   “Om, apa saya boleh bawa Syasya ke penthouse saya malam ini? karna ada yang perlu saya bicarakan dengan Syasya. Besok akan saya antarkan Syasya pulang kerumah. Setau saya juga besok Syasya libur,” ujar Ravindra meminta izin kepada Sabil begitu keluar dari resto. “Boleh-boleh saja. Om menyerahkan kepada Syasya. Jika memang Syasya mau, om mengizinkannya. Lagi pula ini kan kamu yang bawa Syasya. Om, ga mau khawatir. Mulai sekarang, Syasya om percayakan padamu Ravindra.” Kata Sabil tersenyum dan memegang pundak lelaki itu “Sya, kamu sama Ravindra ya. Papah dan mamih pulang duluan. Kayanya kolestrol papah naik nih.” Pura-pura memijit kepalanya yang tak sakit. “Aku sama Ka Sika, Pah. Papah ga apa-apa?” tanya Syafima yang langsung terlihat cemas begitu melihat papahnya mengaduh kesakitan. “Engga. Nanti minum obat juga sembuh. Kamu balik ke penthouse Ravindra ya.” Tersenyum kemudian menggandeng istrinya. “Tapi Pah-“ “Udah ga pake tapi-tapian. Kamu juga besok libur kan? Sana ikut Ravindra.” Kemudian melangkah pergi bersama dengan istri kesayangannya.                 Sika masih di dalam mengurus pembayaran. Setelah Sika selesai dengan urusan pembayaran di resto itu, ia pun menghampiri Syasya dan Ravindra yang sedang mengobrol ringan di depan resto. “Sika, gw sama Syasya balik ke penthouse ya.” Kata Ravindra begitu melihat gadis itu keluar dari resto. “Oh ya udah. Kenapa ga kalian tinggal aja tadi gw biar ga kemaleman,” jawab Sika enteng. “Lo ga apa-apa Ka pulang sendirian?” “Ga apa-apalah. Kaya anak bocah aja gw pake dikhawatirin segala.” Sika tersenyum lalu membelai kepala Syasya. “Ya udah yuk,” kata Ravindra kemudian menautkan jari-jari lentik Syafima padanya.   / / / / / /                   Dering suara telpon mengagetkan Syafima. Ponselnya sengaja ia taruh di kantungnya dan getarannya itu, sejujurannya yang membuatnya terkejut. Ravindra yang masih menyetir sampai ikut kaget karna Syafima sedikit berteriak ketika getaran dan bunyinya itu secara tiba-tiba terdengar saat mereka berdua sedang sama-sama terdiam menikmati kota Jakarta di malam hari. “Arrggh …” pekik Syafima. “Astaga ada apa sih?” tanya Ravindra. “Hehehe … suara handphoneku,” Syafima cengar-cengir. “Kamu ini mengagetkan saja. Sudah cepat di jawab.” “Tapi ga ada namanya, Quille!” “Sudah ga apa-apa. Siapa tau penting.” Usulnya santai.                 Syafima kemudian menuruti saran Ravindra. “Haloo … Oh, Hai! Dari mana kamu tau nomor ponselku? Oh, tidak masalah. Aku sedang dijalan. Tidak apa-apa. Sahabatku yang sedang menyetir. Bisa, aku kan sudah berjanji. Kamu tenang saja. Ok, sampai bertemu besok.” Kata Syafima yang masih mengulas senyum tipisnya di bibir yang sebenarnya tidak bisa terlihat oleh lawan bicaranya di telpon tadi.                 Syafima kemudian menaruh iPhonenya di totebag yang ia bawa tadi. “Siapa?” tanya Ravindra langsung ketika Syafima sudah menaruh iPhonenya di totebagnya. “Salah satu temanku. Hari ini adalah hari pertamanya di Hospi.” Jelas singkat Syafima pada Ravindra. “Siapa namanya?” “Derral … orangnya sangat ramah Quille. Dia dokter penyakit dalam. Baru saja pindah minggu lalu ke sini.” “Lalu? Mau apa dia menelponmu malam-malam begini?” dengan nada bicara yang sedikit sarkas yang walau diartikan oleh Ravindra sendiri adalah rasa cemburunya pada gadis itu. “Hanya memastikan besok aku bisa datang ke apartemennya.” “APA? MAU APA KAMU KESANA?” Ravindra langsung menoleh padanya. “Ih, kamu kenapa? Aku juga ga sendirian, Sayangku! Aku juga bersama dengan teman-teman dokterku dan mungkin juga ibu Nadya akan ikut hadir di sana.” “Ga boleh!” “Kok kamu gitu sih? Aku juga kan perlu bergaul sama teman-temanku. Tuh kan, belum apa-apa. Aku udah ga boleh kemana-mana. Gimana kalau aku tinggal di penthousemu. Bisa-bisa aku disuruh diam di sana tanpa bisa melakukan apapun.” Katanya melipat tangannya dan mengerucutkan bibirnya. “Ya pokoknya ga boleh!” jawab lelaki tampan itu.                 Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Syafima merasa kesal dan juga diam cukup lama sampai mereka benar-benar masuk ke dalam basement tower penthousenya.   / / / / / / 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD