5. Berbaikan

1928 Words
                Syafima duduk termenung di teras yang menghadap langsung ke arah kolam renang yang berada di belakang rumahnya. Ia menikmati keheningan malam dan dinginnya malam itu. Kakinya sengaja ia luruskan di sofa dan tubuhnya dibiarkan menyadar pada sofa berwarna merah bata itu.                 Papahnya tau jika Syafima sudah duduk di sofa itu tanpa melakukan kegiatan apapun pasti ia sedang menghadapi masalah. Papahnya memutuskan untuk menghampirinya dan meluangkan waktu untuk anak bungsunya. Saat itu pukul 10 malam. Syafima nampaknya sudah siap dengan dress tidurnya.   “Syasya!” panggilnya sebelum akhirnya ia duduk di sebelah Syafima dan menirukan gaya duduk sang anak                 Syafima tak menjawab. Ia hanya menoleh dan kemudian menatap lurus ke depan. “Papah tau. Jika kamu duduk disini dan termenung pasti kamu sedang ada masalah. Ada apa Sayang? Cerita dong sama papah.” Katanya kemudian merangkul anaknya itu. “Hanya penat saja, Pah. Syasya ga apa-apa kok.” Katanya ringan walau dalam hatinya sebenarnya masih ada yang mengganjal. “Tapi, papah tidak melihat bahwa kamu sedang baik-baik saja Sayang. Apa ini ada hubungannya dengan Ravindra?” tanya dengan penuh kelembutan.                 Syafima mengehela nafas dan memejamkan matanya sejenak. “Kamu harus bisa menerima jika Ravindra memang masih belum bisa berkomitmen. Kamu tau masa lalunya. Maka sudah terimalah. Apapun latar belakangnya kamu harus menerima dan belajar untuk mendampinginya jika memang kamu mencintainya. Jika memang kamu tidak kuat maka lepaskanlah dia dan cari penggantinya. Kamu yang memilihnya untuk bertahan. Maka kamu harus menjalaninya dan menerima segala konsekuensinya.” Syafima tampak mendengarkan papahnya yang masih menasehatinya. “Dulu, waktu papah sama mamih kamu ketemu lagi. Itu rasanya seneng banget. Ya, walaupun papah belum tau apakah mamih sudah menikah atau belum. Papah ingin menjadikannya sahabat karna papah tau mamih pasti akan menolak jika papah memintanya menjadi istri. Ditambah lagi dulu kami putus secara tidak baik.”                 Syafima menatap papahnya yang duduk di sebelahnya. Papah sedang bercerita tentang masa lalunya dengan mamihnya. “Seiring berjalannya waktu disaat usia kami sudah sama-sama tidak muda lagi. Papah sangat bersyukur karna mamihmu mau menerima papah. Dan papah lebih beruntung lagi karna dia juga bisa menerima kedua gadis cantik kebanggan papah. Apapun latar belakangnya seharusnya kalau kamu memang mencintai dia, tunjukkan kalau memang kamu adalah orang yang pantas untuk bisa dicintainya. Seperti mamihmu, menunjukkan cintanya pada papah dan bisa menerima kalian. Walau kalian bukan darah dagingnya. Tapi dia sangat menyayangi kalian. Itu yang selalu diucapkannya pada papah. Sebaiknya kamu bicarakan baik-baik dengan Ravindra, tapi jangan terlalu mendesaknya. Karna tidak bagus juga untuk hubungan kalian.” “Entahlah, Pah. Nalarku masih belum sampai, kenapa sampai sekarag Ravindra masih belum mau berkomitmen. Padahal jika dilihat dari umurnya. Seharusnya ia sudah berumah tangga bahkan memiliki anak. Well, lagi-lagi dia itu adalah seroang laki-laki. Jadi, kapanpun bisa saja menikah dengan wanita pilihannya.” “Papah, tidak akan pernah melarang putri papah menikah atau berhubungan dengan siapapun. Mau laki-laki itu kaya atau dari keluarga sederhanapun yang penting dia harus bisa bertanggung jawab, pekerja keras dan yang paling penting dia harus sayang dengan anak-anak papah juga kelak dengan cucu cucu papah.”   / / / / / /                   Dering suara telpon yang berasal dari iPhone Syafima yang ia taruh di nakas kamarnya langsung membuat Syafima terbangun. Syafima baru saja terlelap. Entah apa yang mengganggu fikirannya. Sedari tadi ia masih membolak balikkan tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman dan membuatnya bisa mengistirahatkan otak dan tubuhnya sebentar. Namun, lagi-lagi ia harus terganggu dengan dering telpon yang baru saja masuk. Ia langsung melihat id penelponnya. Dan ternyata itu adalah ‘Ravindra’. Ia membetulkan posisinya hingga terduduk dan menyandarkan kepalanya kepada head board ranjangnya. Berfikir sejenak apakah ia harus menjawab telpon dari mantannya itu. “Hmmm …” jawabnya sekenanya “Akhirnya kamu menjawab telponku, Sya.” Kata Ravindra terdengar lega mendengar suara Syafima walau hanya sebuh deheman                 Syafima diam dan masih malas berbicara dengan Ravindra. “Maafkan aku Sya. Aku mohon, mengerti keadaanku.” “Aku lelah Shaquille. Bisakah aku istirahat?” dengan nada memohon. “Tapi, Sya. Aku tidak bisa tenang jika kamu tidak memaafkan aku.” “Iya-iya aku memaafkanmu.” “kamu serius?” dengan nada senang. “Iya” “Aku senang sekali Sya. Terimakasih! aku bisa membiarkanmu istrahat sekarang. Tapi apa kamu sudah makan?” “Sudah.” Jawabnya masih dengan nada datar dan sekenanya. “Baiklah, besok aku akan mengantarkanmu praktik. Jadi jangan pergi dulu sebelum aku datang.” “Baiklah baiklah. Sekarang biarkan aku istirahat. See you Shaquille.” “Sya!” “Apa lagi?” sarkas. “Aku cinta kamu Sya. Aku harap kamu bisa menunggu dan memahamiku, Sya.” “Aku lelah Quille.” Katanya dengan nada lemas dan segera menutup sambungan telponnya.   / / / / / /                   Paginya Ravindra benar-benar menjemput Syafima. Ketika Ravindra datang, Syafima sedang sarapan bersama dengan papah dan mamihnya. Sika sudah berangkat lebih dulu sekitar sepuluh menit sebelum Ravindra datang. Hari ini Sika akan berangkat menuju Jogja untuk mengurus surat-surat kelulusannya. Pagi itu Ravindra mengenakan kemeja polos berwarna putih berlengan panjang dipadukan dengan celana bahan berwarna abu-abu yang sangat pas ia kenakan.                 Namanya juga sehati ya, Syafima juga mengenakan baju yang sama. Kemeja berwarna putih berlengan ¾ dan juga rok pensil berwarna abu-abu. Tak lupa Syafima menguncir rambut coklatnya setengah dan menambahkan aksesoris seperti anting-anting dan juga kalung pemberian Ravindra ketika ulangtahun Syafima tahun lalu. Padahal sejak kemarin Syafima sudah melepaskan kalung itu dari lehernya. Tapi entah kenapa ia ingin mengenakannya lagi hari ini. “Selamat pagi Om, Tante.” Sapa Ravindra begitu melihat kedua orangtua Syafima yang sedang menikmati sarapan mereka di ruang makan dekat dengan kolam renang. “Pagi, Ravindra.” Jawab mamih sambil tersenyum ramah “Pagi.” Jawab papah Syafima sambil melipat korannya dan meletakkannya di meja. “Ayo duduk. Bi, tolong placematenya ya.” Kata mamih kepada salah satu ARTnya dan mempersilahkan Ravindra duduk. “Sya, kok Ravindranya ga disapa?” bisik mamih begitu Ravindra sudah berada di depannya.                 Syafima hanya balas menggedikkan bahunya sambil acuh memakan makanannya. Syafima memang selalu duduk di samping mamihnya. Entah kenapa anak itu manja sekali dengan mamihnya. Padahal, Nada hanyalah ibu sambungnya. Tapi ia sangat bersyukur karna langsung memiliki kedua anak gadis yang juga sangat menyayanginya dan tak pernah menganggap dirinya jahat seperti yang ada di dongeng-dongeng pada umumnya. “Pagi, Syasya!” sapa Ravindra lebih dulu dengan lembut. Tak lupa mengulas senyum di bibirnya.   “Pagi.” Jawabnya singkat kemudian menikmati sarapannya tanpa melihat Ravindra yang sedari tadi memandangnya. “Bagaimana Ravindra? Usaha kamu lancar?” tanya papah yang berusaha mencairkan suasana. “Lancar, Om. Bersyukur banget semuanya lancar. Bulan depan Ravindra mau buka gerai ice cream yang ke lima di mall deket sini Om.” Sambil tersenyum “Wah, semoga lancar ya. Kamu itu sukses sekali Ravindra. Tante senang anak tante bisa punya teman sesukses kamu.” Puji Nada sambil melirik kearah Syafima yang masih tak bergeming dan masih betah membungkam mulutnya. “Ah Tante, bisa saja. Itu juga semuanya berkat Syasya yang selalu memberikan aku semangat.” Katanya tersenyum kepada mamih dan papah terakhir kepada Syafima yang masih enggan menatapnya.                 Setelah Syafima sudah selesai dengan sarapannya. Ia kembali ke kamarnya dan membawa serta tas berwarna hitam bertali satu berbahan bludru. Tak lupa ia juga menenteng pump heelsnya yang berwarna hitam dengan tinggi 7cm yang mempelihatkan jenjang kakinya. “Mih, Pah aku berangkat dulu ya.” Mencium pipi orangtuanya bergantian. “Iya hati-hati ya,” “Iya, Mih” “Ravindra titip Syafima ya.” Kata Nada tersenyum ramah. “Siap, Tante!” katanya membalas senyuman Nada. “Sya, besok malam kita makan malam ya. Ravindra jangan lupa pesan Om tadi ya. Dan besok kamu juga harus datang.” “Iya om Ravindra pasti datang.” Kemudian mencium tangan orangtua Syafima bergantian.   / / / / / /   “Papah pesen apa sama kamu?” tanya Syafima memulai pembicaraan begitu sudah berada di mobil Ravindra. “Ehmm … oh itu, suruh pelan-pelan saja katanya. Jangan ngebut-ngebut dia takut anaknya kenapa-kenapa.” Kata Ravindra sambil fokus menyetir. “Masa sih? Kok aku ga yakin ya?” dengan nada yang sedikit curiga. “Iya, Sayang. Aku serius!” “Berhenti panggil aku Sayang!” dengan penuh penegasan lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Memangnya kenapa? Kamu ga suka aku panggil Sayang? Aku kan memang sayang kamu Syasya.” Katanya lalu meraih tangan Syafima dan mencium punggung tangannya.                 Syafima yang sedang butuh kepastian atas hubungannya dengan Ravindra hanya bisa membulatkan matanya menerima perlakuan Ravindra tanpa bisa menolaknya. Setiap kali Ravindra menyentuhnya dan menatapnya seperti sekarang ini, rasanya status sahabat yang selama ini mereka gadang-gadangkan luntur begitu saja. Hatinya selalu berkata ia ingin sekali dinikahi oleh Ravindra. Tapi nyatanya Ravindra tidak akan pernah melakukan itu untuknya. Sungguh benar-benar menyedihkan. Bahkan hatinya tidak sepenuhnya diisi oleh laki-laki lain yang selama ini ia pacari. Walaupun ia dengan mudahnya berganti-ganti pacar. Masih ada Ravindra terus dan terus hanya nama itu yang akan ada terus dihatinya. “Aku benci kalo kamu ngomong sayang sama aku,” “Aku memang sayang kamu Sya. Apa kamu tidak mengerti juga?” “Sudahlah Quille. Aku lelah harus berdebat denganmu tentang ini.” Menarik tangannya dari genggaman Ravindra.                 Tapi Ravindra lebih dulu menahannya, malah mencium punggung tangan Syafima lagi dan meletakkannya di pahanya. Ia juga makin mengeratkan genggamannya itu. “Biarkan begini. Aku ingin begini terus dan ini membuatku nyaman.” Kata Ravindra dengan nada perintah namun sangat lembut.                 Syafima kemudian melemparkan pandangannya keluar jendela mobil lagi. Cukup lama perjalanan mereka menuju rumah sakit. Jalanan kota Jakarta dipagi hari sangatlah padat dan membuat dirinya harus betah berlama-lama dengan Ravindra yang masih menggenggam tangannya dan sesekali mencium tangan Syafima tanpa memperdulikan Syafima yang sudah kebaperan dengan sikapnya. “Quille!” panggil Syafima “Ya” jawabnya sambil menatap ke arah Syafima. “Aku ada kefikiran untuk berlibur.” “Sama siapa?” “Mungkin seorang teman.” “Teman yang mana?” tanyanya posessive. “Kamu masih belum pernah bertemu dengannya.” “Cewe atau cowo?” “Mungkin cewe mungkin juga cowo. Aku juga belum memastikan, karna ada dua orang yang mengajakku.” “Kalau gitu, kamu pergi dengan temanmu yang cewe.” “Loh, kok gitu?” tanyanya tak percaya “Karna aku tidak ingin ada laki-laki lain yang bisa berlibur denganmu.” Jawabnya singkat namun penuh penegasan. “Kalau kamu ingin pergi berlibur dengan teman laki-lakimu. Batalkan saja, dan jangan pernah berharap aku akan mengizinkannya. Jika kamu tetap memaksa untuk pergi, aku akan menyeretmu dan mengurungmu di penthouseku.”                 Syafima mengerucutkan bibirnya. Dan itu berhasil membuat Ravindra setengah mati menahan godaan ingin melahap bibir ranumnya. “Jangan ngambek! Aku janji kalau aku sudah ada waktu, kita akan berlibur berdua.”                 Syafima kemudian menoleh pada lelaki di sebelahnya itu dan menatapnya kesal. “Tapi aku ingin berlibur dengan teman-temanku. Hei, kamu itu adalah sahabatku. Bukan kekasihku! Jadi jangan mengaturku!” katanya tegas dan menarik tangannya paksa. Namun, tak berhasil karna Ravindra lagi-lagi menahannya. “Sudahku bilang, biarkan seperti ini!” protes Ravindra. “Kalau begitu, ayo kita balikan. Biar kamu mau berlibur bersamaku.” Lanjutnya “Hahahahaha …” Syafima tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan cinta Ravindra pagi itu. “Memangnya ada yang lucu?” Ravindra terdengar kesal. “Jangan bercanda! Sudahku bilang, jika kita kembali lagi bersama. Aku ingin kamu segera menikahiku. Lalu, apa kamu bisa?” masih sambil tertawa.                 Dalam hatinya sebenarnya Syafima sangat deg-degan ingin sekali mendengar pernyataan cinta dari Ravindra yang sudah siap dengan komitmen. Tapi nyatanya lelaki itu malah menggeleng dan ikut menertawai dirinya yang masih belum bisa memberikan kepastian pada sahabatnya itu.   / / / / / / 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD