10. Serangan Derral

2293 Words
                      Syafima dan Derral sama–sama duduk di sofa balkon. Derral memberikan soda untuk Syafima nikmati sedangkan dirinya, menikmati wine yang sudah dibukanya sejak tadi. Derral sebenarnya ingin sekali menawarkan wanita itu wine. Tapi mengingat wanita itu menyetir sendirian ke apartnya, jadi untuk berjaga–jaga lebih baik ia tidak memberikan apalagi menawarkan padanya. Tanpa terasa sudah pukul sepuluh malam dan itu saatnya Syafima untuk pamit setelah saling bertukar cerita satu sama lainnya untuk mengenal. “Derral, sepertinya aku harus pamit.” Kata Syafima sambil melihat ke layar ponselnya dan raut wajahnya beubah tidak enak karna harus berpamitan.                 Sudah banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Ravindra dan pesan singkat yang memintanya untuk segera pulang. Kalau ia tidak pulang sekarang juga, lelaki itu pasti akan semakin berisik. Bisa–bisa ia akan mendatangi Syafima dan membuat keributan di sana. Apalagi hanya tinggal Syafima dan Derral di sana. Pasti akan tambah panjang urusannya. “Sebenarnya aku ingin kamu masih tetap di sini. Tapi tidak apa-apa. Ini juga sudah malam, tidak baik jika kamu pulang terlalu malam. Apalagi menyetir sendirian.” Jawabnya sambil tersenyum. “Aku suka mengobrol denganmu.” Kata Syafima tersenyum. “Terima kasih, lain kali jika boleh. Aku ingin mengajakmu jalan–jalan.” “Boleh …” tanpa berbasa–basi. “Apa jika berdua saja, kamu akan menyetujuinya?” tanyanya sedikit ragu. “Hahaha … tentu saja. Aku tidak akan menolaknya Derral. Lagi pula kenapa harus aku tolak?” tanyanya balik. “Ya, mungkin saja ada yang marah jika aku mengajakmu pergi berdua.” Tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tidak ada yang akan melarangku, Derral. Kamu tenang saja.” Katanya sambil mengerlingkan sebelah matanya dan tertawa.                 Namun, ketika hendak berdiri dari sofa yang mereka duduki. Kaki Syafima tersangkut sehingga membuat tubuhnya limbung. Derral yang melihat itu langsung menangkapnya dan sukses membuat Derral ikut terjatuh. Posisi mereka sekarang sama–sama di lantai dan Derral berada di atas Syafima dengan tangan kirinya yang menahan kepala Syafima agar tidak terbentur lantai dan yang sebelahnya menahan tubuhnya sendiri agar tidak menindih Syafima yang berada di bawahnya. Sudah tidak ada lagi jarak diantara mereka. Bahkan lelaki itu menatap dalam pada iris matanya dan bergantian ke arah bibir ranum Syafima yang sedari tadi menggodanya. Tatapan mata mereka berdua saling bertumbuk dan sepertinya saling menikmati moment itu. Derral memberanikan diri perlahan-lahan untuk mendekatkan wajahnya pada wajah Syafima.                   Tanpa di duga, Derral terus mendekatkan bibirnya tanpa bisa dicegah. Ia mengecup bibir Syafima dan memperdalam ciumannya. Pagutan itu terasa begitu memabukkan baginya, Syafima hanya bisa terdiam tak membalasnya. Matanya melabar walau perlahan-lahan ia mulai menutup matanya. Derral terus berusaha agar Syafima membalas ciumannya. Bibir Syafima begitu manis dan ia tak kuasa untuk terus melanjutkannya. Derral menggigit sedikit bibir bawah Syafima dan wanita itu mulai membuka mulutnya. Diam-diam Syafima mulai menikmati ciuman lelaki itu. Ia membelitkan lidahnya pada lidah Syafima dan bertukar rasa. Bunyi cecapan terdengar di balkon. Dan Derral diam-diam tersenyum karna ciumannya dibalas oleh Syafima, wanita yang dikaguminya.              Terdengar bunyi dentuman dari jantung Syafima yang bertalu–talu, ia berharap agar Derral tak mendengar suara dentuman itu. Akhirnya Derral melepaskan ciuman itu duluan walaupun sebenarnya ia masih tak ingin melepaskan penyatuan bibir mereka. Mereka kehabisan oksigen dan butuh bernafas. Derral kemudian duduk dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia juga membantu Syafima untuk duduk di sebelahnya dengan ada jarak beberapa centi diantara mereka berdua.   “Maaf Sya. Maafkan aku.” Kata Derral yang menatap canggung pada wanita di sebelahnya itu.                 Syafima terdiam dan membetulkan posisi bajunya yang sepertinya agak berantakan akibat terjatuh tadi. Syafima tersenyum tanpa membalas perkataan Derral. “Aku pamit, ya.” Kata Syafima sebelum keluar dari apart milik Derral.                 Derral terpaku di tempatnya sambil memandang punggung Syafima yang menghilang di balik pintu.   / / / / / /   “Darimana? Kenapa sampe semalem ini baru pulang?” tanya Ravindra yang duduk di sofa sambil menonton tv di ruang keluarga.                 Laki-laki itu bahkan berkali-kali menelponnya dan mengirimkan pesan singkat namun tak kunjung dibalas oleh wanitanya itu. Syafima yang mendengar suara itu langsung mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamarnya. Ia tau jika Ravindra pasti akan protes dengan sikapnya yang tadi tidak memperdulikannya ketika tadi bersama dengan teman-temannya. “Kan sudahku bilang, aku akan segera pulang jika semuanya sudah beres.” Jawabnya enteng sambil duduk di sebelah Ravindra. “Ya, tapi bukan berarti tidak menjawab telpon dan pesan singkatku kan?” katanya berdiri sambil berkacak pinggang di depan Syafima. “Sudahlah, yang penting aku sudah pulang kan?” menatap Ravindra malas. “Aku mengkhawatirkanmu, Syasya. Lain kali aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan teman-temanmu ya jika kamu seperti ini.” kata Ravindra dengan nada ketus.   “Iya aku minta maaf. Kamu kan tau, jika aku sudah bersama dengan teman-temanku. Aku jadi lupa daratan. Jadi maklumi saja.” Katanya tersenyum garing sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Aku tau! Tapi bukan berarti tidak menjawab telpon dan pesan singkatku. Aku khawatir padamu, Sya! Aku paling tidak suka diacuhkan olehmu! Apa jangan-jangan kamu sebenarnya hanya pergi dengan seorang laki-laki ya? sehingga kamu tidak mau menjawab telpon dariku?” “Bukan seperti itu. Tadi aku bersama dengan dokter dan staff Hospi yang lainnya juga kok. Jika kamu tidak percaya, tanyakan saja pada dokter Dean. Sudahlah jangan  terlalu dibesar-besarkan. Yang penting aku sudah di sini bersamamu dan aku sedang malas berdebat Shaquille. Aku lelah dan kita bicarakan lagi lain waktu, ya.” Katanya kemudian berdiri dan mencium pipi kanan Ravindra dan mulai melangkah ke kamarnya. “Selamat Malam, Shaquille.” Ucapnya seraya melenggang masuk ke kamarnya.                 Ravindra kemudian hanya bisa pasrah mengalah dengan wanitanya itu. Ia mengusap wajahnya kasar dan segera duduk di sofanya lagi.   / / / / / / /                   Syafima masuk ke kamarnya dan langsung berbaring di kasur. Ia memegang bibirnya dan terus mengusap lembut bibirnya. Ciuman Derral masih begitu terasa di bibirnya. Sejak kejadian di apart Derral tadi, fikirannya selalu melayang lagi kepada lelaki itu. Dan ingatan tentang ciuman mereka tadi bahkan masih terasa dan hilir mudik di kepala cantiknya. Sungguh, ini benar-benar tidak baik untuk dirinya dan kondisi jantungnya. Karna jantungnya terus berdetak dengan kerasnya bahkan ia sendiri saja sampai takut jika Derral akan mendengar bunyi jantungnya yang bertalu-talu.   TOK-TOK-TOK                 Suara pintu diketuk memecahkan lamunannya. Ia tau itu pasti Ravindra yang masih ingin meneruskan lagi pembicaraannya. Syafima tau, jika laki-laki itu sedang ingin bicara, maka permasalahan itu harus selesai malam itu juga. Bahkan ia tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak jika permasalahannya dengan Syafima belum selesai. Syafima langsung melangkah dengan gontai walau sebenarnya ia sedang malas untuk menghadapi lelaki itu.  “Ada apa?” tanya Syafima begitu membukakan pintu dan melihat Ravindra ada di depan pintu kamarnya. “Kita belum selesai dengan pembicaraan tadi Sya.” Kata Ravindra dengan tatapan mata tajamnya.                 Ia bahkan langsung maju begitu kata terakhirnya selesai diucapkan. Syafima refleks mundur dan membentur tembok yang ada di belakangnya. “Quille … bisakah bicaranya besok lagi? Aku lelah!” Syafima menatap Ravindra dengan tatapan penuh kecanggungan dan sedikit memohon.                 Laki-laki itu bahkan tidak mengubah tatapannya dan malah mengurung Syafima di antara kedua tangannya. “Ok jika kamu tidak ingin bicara apapun. Dan aku hanya ingin mengingatkan, sekarang aku adalah penanggung jawabmu. Jadi tolong jangan macam-macam.” Lelaki itu kemudian menangkup wajah Syafima dan berbicara dengan nada lembut.                 Tak lama ia juga mengusap bibir Syafima dengan ibu jarinya. Dan itu nyaris membuat Syafima gila, karna langsung teringat lagi dengan Derral yang baru saja memberikan ciuman untuknya. Ravindra kemudian mendekatkan bibirnya pada bibir Syafima yang bahkan sudah menjadi candu baginya. Syafima langsung menolehkan kepalanya ke arah lain dan berhasil dicegah oleh Ravindra yang sedang menangkup wajahnya. Bahkan untuk menolaknya, Syafima tidak mampu. Ravindra pasti akan mengejarnya hingga mendapatkan yang ia inginkan. Ia kemudian menyatukan bibirnya dengan wanita yang berdiri di depannya itu. “Kamu minum wine?” tanya Ravindra begitu tiba-tiba berhenti mencium bibir Syafima.                 Syafima langsung menggosok bibirnya sedikit dengan kecanggungan. “JAWAB AKU, SYAFIMA SAIKARA PRAGATA!” katanya dengan penuh penegasan.                 Syafima hanya terdiam dan membuang pandangannya ke arah lain. Ia bingung harus menjawab apa. Tapi rasa wine itu pasti di dapat dari bibir Derral yang sempat melumat dari bibirnya tadi. Karna tidak mendapatkan jawaban dari Syafima, Ravindra menatap wajahnya sekali lagi dan keluar dari kamar Syafima dengan keadaan kesal dan membanting pintu kamarnya. Tak lama terdengar bunyi ponsel milik Syafima ketika Ravindra baru saja keluar dari kamar mantan kekasihnya itu.   / / / / / /   “Haloo!” sapa Syafima. “Oh, thanks God kamu menjawab telponku, Syafima!” kata Derral terdengar lega mendengar suara Syafima melalui sambungan telponnya. “Ada apa?” tanyanya sedikit menyunggingkan senyuman walau tidak bisa terlihat oleh Derral. Ada perasaan senang karna ternyata laki-laki itu menelponnya setelah tadi mereka bertemu. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja dan sudah sampai rumah dengan selamat.” Ucap lelaki tampan itu. “Ya, aku sudah di rumah. Terima kasih untuk hari ini, Derral.” Kata Syafima berterima kasih sambil duduk di sisi ranjangnya. “Sama-sama. Sya …” “Ya?” “Aku minta maaf sekali lagi atas kejadian tadi ya. Aku sungguh tidak bermaksud …” kalimatnya langsung dipotong oleh Syafima. “Iya aku tau kamu hanya ingin melindungiku tadi saat aku terjatuh.” Katanya sambil tersenyum canggung. “Aku hanya tidak ingin kamu salah faham padaku. Tapi sejujurnya aku …” kalimatnya terhenti, Derral seperti sedang berfikir sesuatu yang ingin disampaikan olehnya namun masih ragu. “Katakan saja,” pintanya. “Aku menganggumimu, Sya. Mungkin ini hanya pernyataan bodoh dan mungkin semua orang pernah mengatakannya padamu. Kamu boleh tidak menjawabnya setelah ini jika kamu tidak ingin menjawab. Aku  … menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu di Hospi, hari itu aku datang pertama kali dan diajak ibu Nadya berkeliling untuk mengenal staff di sana. Dan saat itu aku melihatmu. Aku jatuh cinta padamu, Sya. Hemm … mungkin ini terlalu cepat. Tapi sungguh, aku tidak bisa lagi menahannya Sya. Apa lagi ada kejadian tadi yang membuatku semakin tidak bisa menguasai diriku. Aku sungguh meminta maaf atas pernyataanku.”  Akunya jujur. “Ehmm … Derral, aku …” kalimatnya terpotong. “Kamu boleh menjawabnya nanti, Sya. Aku tau ini terlalu terburu-buru. Tapi aku mohon, untuk fikirkan lagi jawabanmu. Aku akan menunggu jawabanmu dan akan membahas ini lagi nanti.” “Baiklah, aku akan fikirkan jawabannya.” “Terima kasih, Sya. Aku harap itu akan menjadi kabar yang membahagiakan untukku.” Katanya tersenyum. “Aku istirahat dulu, Ya. Sampai bertemu lagi.” Syafima kemudian menyudahi panggilan telponnya.                 Di sisi lain, Ravindra nyatanya tidak benar-benar pergi dari kamar Syafima. Lelaki itu diam-diam menguping dan mencari tau siapa yang sedang berbicara dengan Syafima. Ia membatin pasti laki-laki lain, karna Syafima berbicara begitu lembut dan sempat mengucapkan ‘terima kasih untuk hari ini’. Syafima juga beberapa kali menyebut nama lelaki yang sedang menelponnya itu. Dan benara saja, itu Derral. Lelaki yang hari ini sempat ditemui wanitanya. Ravindra mengeratkan tangannya, buku-buku tangannya mulai memutih. Hatinya benar-benar cemburu dan membakar hatinya.   / / / / /   “Ayo, berangkat!” ajak Syafima pada Ravindra begitu selesai dengan sarapannya.                 Ravindra mengekor di belakang Syafima yang lebih memilih jalan lebih dulu. Di dalam lift, Ravindra bahkan tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya bunyi suara Ketikan di keyboard ponsel Syafima. Ia hanya memandang Syafima yang sedari tadi sibuk dengan iPhonenya. Bahkan sedari tadi Ravindra hanya diacuhkan. Mungkin Syafima masih enggan berbicara dengannya. Tapi ia tidak mau terlalu memikirkannya.                 Keluar dari lift Ravindra meraih tangan Syafima dan gantian berjalan di depannya sambil menggandeng tangan wanitanya. Syafima hanya bisa pasrah menerima perlakuan Ravindra. Ravindra juga kemudian memasangkan safety belt kepada Syafima ketika wanita itu sudah duduk di bangku sebelah kemudi. Ia juga menatap Syafima dengan tatapan tajam penuh dengan intimidasi Ketika memasangkan safety belt untuk mantan kekasihnya. “Aku ga suka kalau kamu jalan sama laki-laki lain. Bisakah kamu serius padaku saja, Sya?” tanya Ravindra tiba-tiba yang sudah geram dengan sikap Syafima dan teringat dengan pembicaraan Syafima dengan Derral. “Kamu sudah tau jawabannya, tidak perlu untuk aku menjawabnya lagi dan lagi Shaquille.” “Jika aku bersungguh-sungguh mau serius denganmu dan mau menikahimu apa kamu mau?” tanya Ravindra setelah menghentikan laju Rubiconnya di lampu merah dan beralih menatap Syafima lekat. “Jawabannya tentu tidak! Kamu pasti tidak akan pernah serius dan kamu juga tidak akan pernah menikahiku. Jadi untuk apa aku menyetujui ajakanmu untuk serius?” dengan nada sedikit ditinggikan. “Ingat, Quille. Aku seperti ini juga karna kamu yang tidak pernah memberikan kepastian padaku. Apa kamu tidak ingat?” lanjutnya dengan nada yang sama.                 Ravindra terdiam dan kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Arah pembicaraannya juga selalu sama dan tidak akan pernah bisa menemui titik temu. Karna sebenarnya jawaban dari masalah ini adalah dirinya sendiri yang tidak pernah bisa memberikan kepastian atas hubungannya dengan Syafima. Sehingga wanita sekarang enggan diajaknya untuk serius dan selalu membantah perkataannya.                 Ravindra kemudian fokus Kembali dengan kemudinya. Sedangkan Syafima menatap jalanan dari dalam rubicon Ravindra. Dering suara telpon memecahkan keheningan diantara mereka berdua. Syafima langsung mengambil telponnya dan ternyata telpon itu dari Derral. “Hai Derral …” ucap Syafima begitu mendengar suara Derral di sambungan telponnya.                 Indera pendengaran lelaki di sebelahnya itu langsung on begitu mendengar nama Derral disebut. Bahkan lelaki itu sempat menoleh sejenak sebelum akhirnya kembali fokus pada kemudinya. “Aku sedang di jalan. Tidak-tidak aku tidak sedang menyetir, aku bersama dengan sahabatku. Ehmmm … ke toko perkakas di Bintaro. Kebetulan aku akan membeli beberapa furniture untuk kamar baruku. Boleh. Ok, sampai bertemu.” Katanya kemudian menutup sambungan telponnya. “Siapa?” tanya Ravindra langsung tanpa berbasa-basi. “Derral,” kata Syafima datar. “Mau apa dia menelponmu?” dengan tatapan menyelidik dan sangat mengintimidasi. “Hanya ingin bertegur sapa. Dia juga kan temanku … memangnya tidak boleh?”     / / / / / /
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD