5. Upaya Bertahan

1319 Words
Tak terasa sudah lama juga Vena duduk di tepi jalan itu dengan perasaan sedih. Sudah hampir satu jam, dia duduk-duduk di sana sambil menimbang semuanya. Setelah menghabiskan satu bungkus roti dan setengah botol air putih, badannya terasa lebih segar. Jujur perutnya merasa sedikit masih lapar tapi harus ditahan. Sisa uang yang dia miliki sekarang, harus dia gunakan sebaik-baiknya sampai dapat pekerjaan lagi. Vena mengambil ponselnya lagi dari dalam tas. Sejak Tadi dia berpikir akan menghubungi Raka. Terpaksa harus dia lakukan ini. Vena merasa jalannya sudah buntu. Ternyata kembali menjadi penyanyi seperti dulu tidak semudah yang dia bayangkan. Malu tidak malu, dia akan meminta bantuan Raka. Handphone sudah berada di dalam genggaman. Kemudian jari Vena bergerak menekan nomor Raka. Tak semudah yang dibayangkan. Dia harus mengulang sampai beberapa kali namun Raka belum juga menerima panggilannya. Vena tak putus asa. Terus mencoba dan mencoba lagi. “Halo, Mas,” sapa Vena, setelah akhirnya Raka menerima panggilan teleponnya. “Ada apa, Ven? Aku saat ini sedang menemani Cindy periksa kandungan. Kali ini calon istriku sepertinya benar-benar positif hamil. Kami sebentar lagi akan mempunyai anak. Gara-gara suara panggilan kamu, terpaksa aku harus keluar dari ruangan sekarang. Cepat katakan! Ada apa kamu menghubungiku sekarang?” tanya Raka dengan menekan suara di depan ruangan dokter kandungan. Sangat menyakitkan. Raka tanpa sungkan mengatakannya hal itu dengan jelas seperti sengaja melukai hatinya. Air matanya tak terasa jatuh lagi. Vena sedih, sedikit pun Raka sudah tidak mengingat lagi kenangan indah kebersamaan mereka berdua selama tiga tahun. Hal-hal indah yang mereka lalui selama berumah tangga sudah tersapu oleh cintanya Cindy seorang. Namun Vena harus kuat menahannya. “Maafkan aku, Mas. Aku hanya butuh waktumu sedikit saja.” “Cepat katakan! Jangan berbelit-belit.” “Tolong, kirimkan tas-tasku. Kemarin malam aku tidak bisa membawanya. Sekalian sepatu-sepatu dan baju-bajuku.” “Sudah terlambat, Ven. Kemarin saat Cindy melihat tas-tas itu berserakan di teras seperti barang tidak berharga. Lalu dia langsung memunguti tas-tas itu. Dia bilang sangat suka dengan model tas-tas itu. Sekarang semua tas dan barang-barangmu yang tertinggal di rumah sudah menjadi miliknya semua. Dia pikir tas itu memang sengaja kamu tinggal. Jadi sekarang dia pikir barang-barang itu adalah miliknya. Kamu sudah tidak boleh memintanya lagi,” ucap Raka, dengan entengnya. “Mas, apa yang kamu katakan? Barang-barang itu milikku.” Vena merasa geram. Raka berkata dengan santai seolah tas-tasnya adalah barang yang hanya sejuta atau dua juta Rupiah saja. “Aku tidak mau membuat Cindy sedih. Kemungkinan saat ini dia sedang hamil. Aku tidak mau membuat calon istriku itu tertekan,” jelas Raka tanpa merasa bersalah. “Tidak bisa, Mas. Cindy tidak boleh mengambil barangku begitu saja. Aku memang sengaja meninggalkan tas-tas itu di rumah. Tapi bukan untuk dimiliki orang lain. Lali kali aku akan mengambilnya,” tegas, Vena. “Cukup, Ven. Hubungan kita sudah hampir selesai. Salah sendiri tas-tas itu kamu tinggal begitu saja. Dan kamu harus ingat, semua yang telah kamu tinggalkan sekarang di sini aku anggap bukan lagi milikmu. Karena itu, aku akan berusaha keras untuk mempertahankannya. Jadi, jangan sekali-kali kamu mengharapkan semua atau sebagian yang aku miliki akan jadi milikmu lagi,” tegas Raka. Dari suaranya terdengar sangat yakin. “Semua yang kamu miliki sekarang berasal dariku, Raka. Bahkan celana dalam yang kamu pakai sekarang, aku yang membelinya. Kamu tidak bisa menguasai semuanya sendirian. Nanti kita tunggu saja, pengadilan yang akan membaginya dengan adil,” tegas Vena lagi mulai emosi. “Hehh, kita lihat saja. Semoga yang kamu harapkan bisa benar-benar terjadi,” ucap Raka terdengar sinis. Namun ucapan itu justru membuat nyali Vena menjadi ciut. Vena tahu, Raka bisa melakukan apapun demi mendapatkan keinginannya. Karena itu dia harus mencoba bernegosiasi. Tidak masalah rumah dan mobil-mobil mereka akan diambil Raka. Tapi setidaknya semua tas miliknya bisa kembali. “Baiklah, Mas. Aku tidak masalah melepaskan rumah dan mobil yang kita miliki sekarang kamu ambil semua asal kamu kirim semua tas, sepatu dan baju-baju ke sini.” “Apa kamu tidak mendengar ucapanku tadi? Tadi aku sudah mengatakan semuanya dengan jelas. Cindy sangat menyukai barang-barang itu. Aku tidak akan memberikan barang yang disukainya padamu,” tolak Raka lagi, dengan suara terdengar meninggi dan emosi. “Tega sekali kamu, Mas. Kasihanilah aku. Tolong, jangan kamu ambil semuanya. Saat ini aku benar-benar kesulitan keuangan. Tabunganku sudah habis untuk kebutuhan kita selama berumah tangga. Aku sudah pernah mengatakan itu ‘kan sebelum membelikan kamu mobil baru. Jangan setega itu padaku. Berikan tasku. Barang-barang itu nilainya tidak seberapa bila dibandingkan rumah dan mobil yang kamu miliki sekarang,” ucap Vena memelas. Raka malah menutup ponselnya. Percakapan itu seketika berakhir. “Mas Raka!” ucap Vena terkejut. Dia tatap layar ponselnya dengan perasaan kesal dan sedih. Air matanya kembali jatuh. Marah, benci dan merasa bodoh menjadi satu setelah mengetahui sikap Raka yang serakah dan tidak ada rasa perikemanusiaan sedikit pun. Hatinya seperti sudah buta dan membatu. Sedikit pun tidak punya rasa belas kasih padanya. Pengorbanan dan pengabdian yang dia berikan sama sekali tidak diingat. “Ya, Allah. Sekarang aku harus bagaimana lagi? Tolong, berilah hamba petunjuk,” Tak berapa lama, Vena segera berdiri dengan cepat lalu menghapus air matanya dengan punggung tangan kanan. Dia tarik napas dalam-dalam untuk menurunkan emosi. Semangat dan dendamnya muncul kembali. Dia tidak akan menyerah dan terus berjuang. Vena melihat kembali layar ponselnya. Jari kembali bergerak membuka kotak kontak. Ingatannya tertuju pada satu nama yang mungkin akan menghubungi, Rika. Mantan asisten pribadinya yang saat ini kerja di salah satu kantor. “Halo Vena! Sungguh, ini benar-benar kejutan. Tiba-tiba kamu menelponku setelah sekian lama. Apa kabar Ven? Aku sangat merindukanmu,” sapa Rika, begitu menerima panggilan Vena dengan ramah dan penuh semangat. “Aku juga sangat merindukanmu, Rik. Oh ya, sekarang kamu ada di mana?” tanya Vena, terdengar tidak begitu bersemangat. Walau dalam hati dia merasa sangat terharu dengan sambutan ramah Rika. Namun tetap saja dia tidak bisa memompa semangatnya yang sedang penuh beban dan penderitaan. Sayup-sayup dia dengar suara orang menyanyi dan orang sedang bercanda. Vena yakin Rika sedang berada di sebuah acara pesta. “Tunggu! Apa kamu sedang ada di kota ini sekarang?” tanya Rika kemudian. “Kamu benar, Rik. Sekarang aku ada di kota ini. Kira-kira apakah kita bisa bertemu. Tidak harus malam ini. Tapi ketika kamu sedang tidak sibuk,” jawab Vena, tak menyia-nyiakan kesempatan. “Oh, kebetulan sekali. Malam ini aku sedang berada di kafe Moon. Temanku sedang ulang tahun. Kamu dan suami kamu datanglah kemari. Aku akan tunggu kalian berdua,” ucap Rika, satu-satunya orang di kota ini yang tahu dirinya sudah menikah tiga tahun lalu. “Oh, kalau begitu besok saja. Aku tidak mau mengganggu acara temanmu. Lagian aku juga tidak punya undangannya.” “Acaranya sudah usai, Ven. Saat ini kita tinggal senang-senang saja. Jadi sekarang kamu dan Rak sudah bisa masuk. Di sini seru sekali, Vena. Ada hiburan band juga,” jelas Rika. Vena belum menjawab dan masih berpikir. “Ayolah, Ven. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu kamu dan suamimu,” ucap Rika terdengar sedikit merengek. “Baiklah. Tunggu, ya.” Vena akhirnya setuju. *** Tiba di depan kafe, Vena disambut Rika yang sudah menunggu di sana. Begitu keluar taksi, Rika langsung memeluknya. Namun ketika taksi sudah berjalan pergi. Rika melepaskan pelukannya dan menatap Vena penuh tanya. “Tunggu, di mana suamimu? Mengapa kamu tidak mengajaknya kemari? Apa kalian sedang bertengkar?” Rika menatap Vena penuh selidik. Vena menggelengkan kepala. “Rumah tanggaku sudah hancur, Rik. Raka selingkuh dan mengusirku dari rumah.” “Apa?” Rika terkejut, menatap Vena. “Tidak, mungkin. Bagaimana bisa? Kamu ini kurang apa coba? Selama ini kamu telah mengorbankan segalanya demi hidup bersamanya. Bagaimana dia tega melakukan ini?” Raut wajah Rika seketika berubah menjadi sedih. Sorot lampu mobil yang baru saja tiba menyilaukan kedua mata mereka. Vena dan Rika menghentikan percakapan. “Itu teman bisnis David sudah datang. Dia sudah menunggu pak Adam sejak tadi,” ucap Rika, seketika membuat Vena terkejut setelah dia menyebut nama Adam yang baru saja datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD