4. Dipandang Rendah Dan Diremehkan

1505 Words
Jantung Vena semakin berdebar kencang, saat pria penolongnya semalam terus saja memperhatikan dirinya. Dia pura-pura melihat ke arah lain. Untung saat ini dia sedang berpenampilan sebagai Vena Aurora. Penampilan dengan baju ketat dan seksi ala barbie dengan wig blonde lurus model bob pendek di atas bahu berponi. Selain itu make up-nya juga tebal dengan tahi lalat palsu melekat di atas ujung bibir atas kanan. Ditambah lensa kontak di kedua matanya, Vena yakin pria itu akan sulit mengenalinya. Tapi masalah, dia takut pria penolongnya itu akan menanyakan sesuatu padanya. “Aku heran, mengapa manajemen Anci sangat suka dengan penyanyi berpenampilan palsu seperti ini? Penyanyi seperti ini sekarang sudah tidak laku di pasaran. Masyarakat tidak sudah bosan dengan penampilan seperti ini. Apa dia penyanyi baru?” tanya pria itu, pada temannya, lirih dengan mendekatkan diri ke telinga. “Dia bukan penyanyi baru. Nama Vena Aurora. Dulu dia bergabung dalam manajemen Anci dan sukses menjadi penyanyi tenar. Sayang, saat dia berada di puncak karir memutuskan mundur.” “Oh ya? Sayang sekali. Kenapa dia tiba-tiba mundur?” “Aku tidak tahu. Mungkin dia menikah dengan bos kaya yang sudah menjamin masa depannya dengan rumah dan tabungan yang besar. Jadi, dia memutuskan meninggalkan karirnya. Banyak artis-artis wanita memilih jalan itu ‘kan?” “Benar. Contoh nyatanya ada di dalam rumahku.” Percakapan terhenti saat lift yang mereka tunggu sudah sampai. Dua orang itu segera masuk. Dengan perasaan dongkol Vena juga menyusul masuk ke dalam. Harga dirinya sebagai artis merasa sangat direndahkan oleh dua orang itu. Terutama ucapan si wanita yang berpikir seolah dirinya salah satu artis penyanyi wanita di dunia ini penyuka para bos demi mengejar hartanya saja dan kehidupan yang makmur. Mereka itu memilih tempat di dekat pintu. Agar tidak mengundang perhatian mereka, Vena sengaja berjalan ke salah satu sudut belakang dan berdiri di sana. Di dalam lift, keduanya melanjutkan percakapan lagi. Kali ini mereka membahas tentang rekan bisnisnya yang baru dia temui di gedung tinggi ini tadi. “Sepertinya dia seorang, Bos di dunia hiburan. Apa dia seorang produser musik? Kalau selama ini dia berkecimpung di dunia hiburan. Mengapa dulu aku tidak mengenalnya? Aku merasa belum pernah melihat selama ini,” ucap Vena, dalam hati, sambil terus mengingat-ingat beberapa bos atau produser yang dia kenal. Namun perhatian Vena terusik saat dia melihat wanita itu bergerak perlahan memperbaiki dasi dan kemeja si pria. Tatapan wanita itu juga terlihat berbeda. Vena bisa merasakan kedekatan dimiliki antara keduanya. Seolah menganggapnya nyamuk, wanita itu dengan tidak malu-malu mengalungkan tangannya pada leher pria penolongnya semalam. “Sudahlah, Adam. Kita hentikan pembahasan soal penyanyi berkarakter alami itu. Aku yakin kamu akan menemukannya suatu hari nanti. Tapi kamu harus sabar. Mencari bakat seperti itu gampang-gampang susah. Kadang tanpa dicari, tiba-tiba kita menemukannya. Kadang sudah dicari dengan berbagai usaha yang sangat keras dan mengeluarkan biaya besar, kita tetap tidak menemukannya. Sekarang sudah sore. Artinya jam kerja kita sudah selesai. Sekarang waktunya kita istirahat dan bersenang-senang cari hiburan. Kita nonton saja, yuk!” “Tolong, jangan begini, Gisel. Ada orang lain di dalam sini.” Pria yang ternyata bernama Adam itu, menjauhkan tangan wanita yang dia panggil Gisel. Lalu terdengar embusan napas agak keras dari mulutnya saat di menoleh ke samping. “Padahal aku sangat berharap Anci sanggup memberikan artis penyanyi sesuai dengan karakter yang aku cari. Tadi aku sangat kecewa saat asistennya hanya menunjukkan penyanyi-penyanyi tidak punya karakter diihat dari segi apapun,” ungkap pria itu, tadi usai melihat beberapa penampilan artis-artis di manajemen Anci secara langsung. “Lalu kamu mau cari di mana lagi penyanyi impianmu itu? Tadi sudah aku bilang ‘kan. Mencari penyanyi dengan karakter unik seperti yang kamu impikan itu sangat tidak mudah. Terkadang kita perlu bersabar. Kecuali kalau kamu mau mengeluarkan biasa biaya lebih besar lagi. Mungkin kamu bisa mendapatkannya dengan cepat.” Adam menatap Gisel serius. “Maksudmu ajang pencarian bakat?” “Ya. Aku rasa itu adalah satu-satunya jalan saat ini yang bisa kamu tempuh bila memang kamu ingin mendapatkan penyanyi seperti yang kamu cari. Oh ya. Yang harus kamu jadikan pertimbangan. Dari acara itu, kamu bisa dapat banyak keuntungan. Bukan hanya penyanyi yang kamu cari. Tapi banyak penyanyi dengan berbagai karakter yang bisa kita dapatkan. Selain itu tentu saja meningkatkan jumlah penonton di chanel TV kita. Masih ada lagi. Tentu saja, laba yang tidak sedikit.” “Jangan berekspektasi terlalu tinggi. Acara seperti itu sudah banyak. Kita tidak mungkin menyaingi ajang sedang berlangsung di chanel lain sekarang. Aku tidak tertarik membuat ajang tandingan dan dituding sebagai plagiat. Itu hanya bisa membuat kita rugi.” “Ya ampun, Adam. Kamu jangan cepat berpikir pesimis begitu. Dari ucapanmu itu artinya, kamu sama saja sedang meragukan kemampuanku selama ini di dunia pertelevisian,” protes Gisel. Adam menggelengkan kepala cepat. Mulutnya sudah membuka ingin mengucapkan sesuatu ketika lift berhenti dan mereka sudah sampai di lantai satu dari gedung pencakar langit itu. Begitu pintunya terbuka. Vena segera melangkah keluar. Namun dua orang itu ternyata ingin keluar lebih dulu. Vena menghentikan langkahnya mempersilakan mereka keluar lebih dulu. Setelah mereka keluar kemudian Vena melangkahkan kakinya lagi. Di depan pintu lift sudah banyak orang yang menunggu. Vena segera menyelinap diantara mereka dengan berusaha menutupi wajahnya dengan tas kecilnya. *** Hari sudah berubah menjadi gelap saat Vena berjalan menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya dengan cahaya temaram dari lampu penerangan jalan. Langkahnya pelan. Vena merasa lelah lahir batin. Setelah menghapus riasan dan melepaskan wig-nya, dia memutuskan untuk naik bus lalu turun di halte. Dari halte dia pilih berjalan kaki saja menuju ke rumah. Walau harus menempuh jarak kurang lebih dua kilo meter lagi terpaksa dia lakukan demi menghemat uang. Saldo di rekeningnya tinggal satu juta Rupiah saja. Itu artinya dia hanya bisa ambil lima ratus ribu lagi bila ingin rekening masih tetap aktif. Sebenarnya tadi dia masih memiliki uang tiga juta. Namun dia belikan baju, sepatu dan yang lainnya untuk penampilannya hari ini demi terlihat sempurna saat ke kantor Anci. Vena terlalu percaya diri usahanya akan membuahkan hasil. Sayang sekali, usahanya gagal. Anci sudah tidak tertarik lagi merekrut dirinya masuk ke dalam kantor manajemennya. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah menghemat uang sampai dia mendapat pekerjaan lagi. Sambil terus melangkah, Vena teringat percakapan Adam dan Gisel di dalam lift tadi. Dia mendengar Adam sedang mencari seorang penyanyi sesuai karakternya di kantor manajemen Anci. “Kira-kira karakter penyanyi seperti apa yang sedang dia cari?” gumam Vena sendiri. “Anci yang punya banyak artis saja, tidak satu pun yang dia pilih,” lanjutnya lagi. “Hmm, aku harus cari tahu. Siapa tahu aku bisa memenuhi syarat karakter sesuai yang dia cari. Apa salahnya dicoba,” gumamnya lagi. Vena lalu berhenti di dekat sebuah bangku di pinggir jalan. Dia coba menghubungi Anci lagi. “Halo, Anci. Ini aku, Vena.” “Iya, ada apa lagi, Ven? Aku masih sibuk sekali. Cepat kamu katakan langsung,” suara Anci terdengar tidak ramah. “Katanya, Adam sedang mencari seorang penyanyi dengan karakter tertentu. Karakter seperti apa itu, An? Bisakah kamu memberitahuku? Siapa tahu aku bisa memenuhinya?” tanya Vena agak gugup. “Hahaha... “ Anci malah menertawakan Vena dengan terbahak-bahak. “Mengapa kamu menertawakanku, Anci? Apa yang lucu?” tanya Vena terdengar bingung. Meskipun dalam hati merasa seakan sedang direndahkan namun harus ditahan kuat-kuat perasaan itu demi karir menyanyi yang ingin diraihnya lagi. “Tentu saja kamu sangat lucu, Vena. Menurutku, kamu terlalu percaya diri sekali. Kamu berpikir bisa memenuhi kriteria karakter penyanyi yang dicari Adam. Maafkan aku, Vena, terpaksa aku harus berterus terang padamu. Jangan bermimpi terlalu tinggi lagi di zaman penuh persaingan seperti sekarang. Kamu harus tahu, kamu jelas-jelas bukan penyanyi yang dicari Adam. Aku tahu karaktermu secara keseluruhan dalam menyanyi. Dan itu sulit untuk diubah. Dulu kamu adalah penyanyi dengan image centil, genit dan seksi. Itu sangat berbeda dengan yang dicari oleh Adam.” “Tidak, Anci. Aku akan mencobanya.” “Sudah. Hapus saja harapanmu itu. Carilah kesempatan menyanyi yang sesuai dengan karakter suara dan gayamu dulu. Jangan mengubahnya. Kamu akan jauh lebih sulit lagi kembali panggung hiburan bila tidak mendengarkan nasehatku.” Setelah itu terdengar bunyi ponsel ditutup. Ponsel Anci sudah ditutup. Vena hanya bisa berdiri dengan penuh keputusasaan sambil menggenggam ponselnya. Kata-kata Anci benar-benar telah melunturkan semangatnya. Perlahan dia seret kedua kaki mendekati bangku. Lalu dia menjatuhkan diri ke tempat duduk itu. Vena ingin menenangkan diri sejenak di bangku itu. Sekitar lima menit duduk di situ, ada pedagang bakso lewat di depannya. Dari aroma kuahnya yang dipanaskan tercium sangat lezat dan menghangatkan. Pasti sangat nikmat sekali disantap sore-sore dipinggir jalan begini. Tapi Vena hanya bisa menelan ludah saja. Dia harus bisa menahan hasratnya pada bakso itu. Dia tidak boleh membelanjakan uangnya dengan boros. Vena memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Di dalam sana jarinya menemukan dua bungkus roti yang dia beli di mal tadi. Namun belum sempat dia santap untuk sarapan karena lupa sedang sibuk menata penampilannya sebelum ke kantor Anci. Perlahan Vena membuka roti itu lalu menggigit dengan air mata yang mulai menetes di kedua pipinya. Bisa dibilang ini sarapan dan makan pertamanya hari ini. Tadi dia hanya minum sebotol kecil air mineral saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD