3. Menangis Di Tempat Tujuan

1585 Words
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama sepuluh jam. Kemudian dilanjutkan dengan naik taksi selama dua puluh lima menit, Vena akhirnya sampai di rumah. Rumah sebenar-benarnya rumah baginya. Rumah yang bisa dia jadikan tempat tujuan kembali di saat dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi. Sebuah tempat yang paling nyaman dan benar-benar rumah sendiri. Rumah itu adalah rumah peninggalan papanya. Satu-satunya harta berharga yang masih tersisa sekarang. Begitu taksi yang ditumpanginya pergi, untuk beberapa saat Vena masih berdiri termangu menatap rumahnya itu. Hatinya merasa sedih teringat papanya yang sudah tidak ada lagi. Andai saja dia sekarang masih hidup, pasti lelaki itu sekarang menyambutnya dengan kedua tangan dan senyumnya yang lebar. Papanya akan memeluk erat dan mengatakan, “tidak apa-apa, Nak. Kamu masih punya Tuhan. Sabarlah. Ujian ini pasti akan bisa kamu lewati. Kamu sudah pernah ditinggalkan Ibumu dan bisa melewati masa sulit itu dengan baik. Sekarang, bila Raka meninggalkanmu, Papa yakin kamu sanggup menghadapinya. Ingat pesan, Papa. Sesulit apapun hidupmu, jangan pernah menyerah. Pasti ada hikmah di balik ujian itu.” Dan, kesedihan itu berangsur-angsur akan berkurang. Papanya yang sabar dan baik akan selalu berusaha menghiburnya seperti anak kecil agar dirinya bisa melupakan masalah itu. Vena menarik napas dalam-dalam. Selanjutnya dia melangkah mendekati pintu pagar rumahnya yang rendah. Jemari tangan kanannya bergerak meraba bagian pengunci. Dia tarik besi panjang yang menyelinap di dalam lubang yang menempel pada salah daun pintu pagar. Setelah berhasil melepasnya, pagar itu terbuka sedikit. Vena lalu mendorong pagar berwarna putih itu dan masuk ke dalam. Setelah menutup pagar, Vena berjalan menyusuri halaman kecil rumahnya yang tampak kotor dan tidak terawat. Sudah hampir enam bulan ini dia memberhentikan pekerja yang selama ini menjaga dan merawat rumah peninggalan papanya ini. Sudah setahun ini keuangannya memburuk. Tidak ada pemasukan sama sekali. Sementara Raka terus saja meminta uang dengan alasan usaha ini dan itu. Tapi tidak pernah ada hasilnya. Terakhir dia minta mobil atas nama Raka dengan harga fantastis. Vena terpaksa menurutinya, karena dia berharap Raka sudah mau berubah. Namun, dugaannya salah. Itu hanya sandiwara saja. Setelah mendapatkan mobil impiannya Raka justru semakin tidak fokus bekerja dan hanya sibuk bersenang-senang saja. Sampai akhirnya dia bisa mencium aroma perselingkuhannya beberapa waktu lalu dan membongkarnya kemarin. Uang yang dia habiskan untuk hidup bersama Raka dan ibunya selama ini adalah hasil jerih payahnya selama ini selama berkarir sebagai penyanyi. Justru papanya yang selama ini punya andil besar dalam membantu meraih impiannya menjadi penyanyi, dia hampir tidak pernah merasakan jerih payahnya. Papanya selalu menolak bila Vena ingin membelikan rumah, mobil atau hadiah lainnya. Dia selalu berpesan supaya Vena tabung saja uang itu dan menggunakan uang dengan bijak. Vena dilarang keras mengikuti gaya hedon para selebritis lainnya. Karena hari esok nasib kita tidak ada yang tahu. Sampai di teras Vena meletakkan kopernya begitu saja. Lalu dia segera naik ke sebuah kursi untuk mengambil kunci yang di taruh ART rumah ini pada salah satu lubang angin yang berada di atas jendela. Tangan kanannya meraba lubang angin itu dan jemarinya menemukan sebentuk kunci besi berbalut debu. Vena ambil kunci itu. Perasaannya merasa sedikit lega. Itu artinya mulai hari ini dia bisa tinggal di rumah ini lagi. Dengan hati-hti Vena turun dari kursi. “Syukurlah, aku dapat kuncinya,” ucap Vena memegang kunci itu dengan perasaan senang lalu meniupnya untu menghilangkan debu. Vena meraih pegangan koper lalu menyeretnya ke dekat pintu. Tak sabar lagi rasanya ingin segera masuk ke dalam. Begitu dibuka dia segera mendorong dan tak lupa menyeret kopernya lagi. Namun, alangkah terkejutnya dia, saat mendapati ruang depan rumah terlihat kosong tak ada kursi sofa atau pun perabot yang menghiasinya. Vena segera menutup pintu, masuk lebih dalam lagi melihat ke ruang yang lain. “Ya, Tuhan. Di mana barang-barang rumah ini?” tanyanya pada diri sendiri seraya melepaskan kopernya begitu saja. Vena mengitari ruangan tengah yang juga kosong melompong. Penasaran ruangan yang lain, dia segera memeriksanya. Ke dapur, bahkan Vena tidak menemukan satu buah sendok pun. Semua peralatan dapurnya juga sudah bersih di sana. Hanya tersisa debu dan sebuat keset di dekat tempat cucian piring. Masih penasaran dengan ruangan lain, dia melanjutkan memeriksa kamar-kamar di rumah ini. Vena berharap masih ada barang tersisa di sana. Setidaknya tempat tidur. Meskipun rasanya tidak bisa berharap banyak, dia sudah bisa menebak bila ruangan-ruangan itu mungkin juga bernasib sama. Benar saja. Kamar papa Vena sudah kosong. Seperti ruangan yang lain. Lalu dia periksa dua kamar berikutnya. Yakni kamar Vena dan kamar tamu. Sama juga. Kamar itu seperti rumah baru yang belum dihuni. Tak ada satu pun barang lagi di sana satu ranjang yang tersisa untuk dia gunakan untuk tidur. Vena segera mengambil ponsel di dalam tas yang masih dia pegang. Dia akan menelpon mantan ART-nya. Tidak ada orang bisa ditanya selain wanita itu. Namun, ternyata nomer itu sudah tidak bisa dihubungi. Vena mencobanya lagi. Hasil sama. Nomor telepon itu sudah tidak aktif lagi. “Kok, nggak bisa dihubungi, sih?” tanya Vena kesal sendiri meremas ponselnya. “Hmm, aku yakin pasti dia yang telah menjual semuanya. Lalu untuk menghilangkan diri, dia tidak mengaktifkan nomor ponselnya yang dulu,” kata Vena, berpikir ART yang terakhir bekerja di rumah inilah yang paling bertanggungjawab atas barang-barangnya yang hilang. Vena hanya bisa menarik napas panjang lalu menjatuhkan diri di lantai. Tubuhnya terasa lemas. Untuk sejenak dia masih belum bisa berpikir apa-apa. Tak terasa air matanya menetes perlahan di kedua pipinya. Dia pikir ujian akan berhenti pada perselingkuhan Raka saja. Dia salah. Tuhan masih ingin menambah ujian lagi. Rumah yang dia harap bisa dia jadikan rumah sesungguhnya, yang akan dia jadikan tempat pulang ternyata sudah tidak ada apa-apanya lagi. *** “Maafkan aku, Vena. Namamu sudah lama meredup. Rasanya butuh kerja keras untuk menaikkan nama kamu lagi. Waktu itu aku sudah mengingatkan hal ini. Kamu akan menyesali keputusan meninggalkan dunia yang telah membesarkan namamu. Tapi kamu tidak dengarkan nasehatku. Otakmu sudah tertutup oleh cinta buta pemuda kampungan itu. Sekarang apa? Setelah kamu tidak punya apa-apa lagi. Dia mencampakkan kamu seperti barang yang tidak berguna lagi,” ucap seorang wanita berusia lima puluh tahun dengan ketus duduk di kursi di belakang mejanya menatap Vena yang duduk di depannya. “Jangan menyerah dulu, Anci. Dulu aku juga bukan siapa-siapa saat kamu temukan. Aku hanya pelajar yang kadang bernyanyi di kafe dan acara pernikahan. Tapi kamu berhasil membuatku terkenal. Aku yakin, waktuku masih bisa terulang lagi. Aku akan bisa kembali menjadi penyanyi terkenal lagi. Aku janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan. Aku akan berusaha keras agar bisa tampil lebih baik dari penampilanku yang dulu,” ucap Vena, dengan raut wajah penuh permohonan. Anci menyeringai menatap Vena yang menatapnya dengan penuh percaya diri dengan penampilan seperti Vena Aurora. Penampilan ala barbie seperti penampilannya dahulu. Kemudian dia berdiri dari tempat duduknya. Keluar dari belakang meja mendekati Vena. Anci menyentuh salah satu pundak Vena dan menatapnya sinis. “Bicara memang mudah, Ven. Sepertinya selama vakum, kamu tidak pernah memperhatikan dunia hiburan dengan seksama. Setelah kamu memutuskan untuk berhenti waktu itu. Banyak penyanyi-penyanyi pendatang baru yang meniru gaya dan cara berpakaian kamu. Mereka saat ini sedang berada di posisimu dahulu.” Vena mendongak ke atas ke arah Anci. “Apa maksudmu, Rena? Artis bergaya barbie yang meniru gayaku dulu. Tapi, karakter suara kami ‘kan beda. Aku yakin fans kami juga beda.” Anci menggelengkan kepala. “Bukan hanya Rena. Ada girlband juga. Sekarang, penampilan sepertimu sudah tidak menarik lagi. Penampilanmu dulu itu sudah basi sekarang. Orang-orang sudah mulai bosan. Maafkan aku, Ven. Terpaksa aku harus mengatakan ini.” “Tapi, Anci. Modalku bukan penampilan saja. Aku punya warna suara, aku punya lagu yang bagus-bagus dan pernah menjadi hits. Para fansku tidak hanya menyukai gaya penampilanku saja yang mirip barbie ini. Ada banyak alasan mereka menyukaiku. Dan bila memang ini sudah basi, aku tidak masalah untuk merubah penampilanku,” jelas Vena, mencoba memberikan solusi. “Tapi kamu harus ingat juga, Vena. Dunia hiburan juga merupakan dunia bisnis. Aku harus memikirkan untung rugi dalam menjalaninya. Maafkan aku. Aku belum bisa membantumu lagi,” tegas Anci. Vena memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk menahan emosinya. Berusaha menahan diri agar tidak membuat kesalahan sehingga melukai perasaan Anci. Walau bagaimana Vena masih berpikir, suatu saat nanti dia masih membutuhkan Anci. “Sayang sekali. Tapi aku bisa mengerti Anci. Aku berharap kamu tidak menutup kesempatanku untuk bekerjasama denganku suatu hari nanti. Terima kasih atas waktumu. Aku, pergi dulu,” ucap Vena mengulurkan tangan lalu menjabat erat tangan Anci. Wanita itu terlihat agak terkejut dengan sikap Vena yang terlihat tenang. Namun dia berusaha tetap tersenyum pada mantan artisnya. “Semoga saja, Ven,” ucap Anci sambil mengangkat kedua pundaknya menatap Vena datar. Vena melepaskan jabat tangannya dari Anci. Dia tidak mau berlama-lama lagi di sini. Vena tahu, Anci juga tidak menginginkannya. “Aku permisi dulu, Anci. Sampai jumpa,” ucap Vena, lalu bergegas menuju pintu keluar ruangan itu. Sampai di luar dia tidak menoleh ke sana kemari. Vena berjalan menunduk dan terus berjalan melewati beberapa karyawan dan beberapa orang artis yang berada dalam manajemen Anci. Vena berusaha agar mereka tidak memperhatikan dan mengenali dirinya. Jujur dalam kondisi sedih dan kecewa seperti ini Vena malas bertegur sapa dengan siapa pun. Terutama artis-artis di manajemen ini, yang mungkin, bisa saja akan mengajukan pertanyaan atau pandangan yang cenderung merendahkan. Karena saat ini dirinya bukanlah siapa-siapa di mata mereka. Vena merasa lega setelah keluar dari kantor manajemen Anci tanpa ada gangguan sedikit pun. Lalu dia berjalan menuju ke tempat lift. Namun alangkah terkejut dia, saat sampai di depan pintu lift, dia melihat pria yang menolongnya semalam juga berada di sana bersama seorang wanita cantik dengan baju kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD