2. Bertemu Pria Tak Dikenal

2136 Words
Hujan masih sangat deras. Vena yakin pria itu tidak mendengar teriakannya. Tapi dia merasa bingung mengapa mobil itu mundur. Vena berjalan ke depan menjauhi lubang di jalan tadi dengan hati berdebar. Tentu dia tidak mau tersiram air bercampur tanah untuk kedua kalinya saat mobil itu kembali mendekat. Vena menoleh dan menatap mobil mewah yang berhenti di sampingnya. Tak berapa lama seorang pria berbaju serba hitam keluar mobil. Seolah tidak peduli dengan hujan yang saat ini masih turun begitu deras, pria berperawakan tinggi tegap seperti model catwalk luar negeri itu mendekatinya. “Maafkan aku, Nona. Aku tidak bisa melihat dengan jelas lubang di jalan itu. Kamu baik-baik saja? Kedua matamu tidak terkena air bercampur lumpur tadi ‘kan?” tanya pria itu terlihat khawatir setelah berdiri di hadapan Vena. Sesekali dia mengusap wajahnya yang basah kuyup supaya bisa memperhatikan keadaan wanita di depannya itu dengan jelas. “Kedua mataku baik-baik saja, Tuan. Alhamdulillah, tidak terkena lumpur. Anda tidak perlu cemas. Lumpur tadi hanya mengenai sisi samping badanku saja,” jawab Vena menunjuk bagian badannya sebelah kiri. “Tapi, ini juga sudah bersih dengan sendirinya. Hujan ini sudah membantuku,” jawab Vena lagi, tanpa mengalihkan pandangan pada pria berwajah tampan yang terlihat tegas dan namun hangat dengan rambut tipis samar di sekitar rahang dan bibirnya itu. “Syukurlah kalau begitu,” kata pria itu, terlihat cukup lega. Namun dahinya terlihat sedikit berkerut saat perhatiannya tertuju pada koper kecil yang ada berada di samping Vena. “Ini sudah cukup malam untuk kota kecil seperti ini. Hujan-hujan begini kamu mau pergi ke mana? Atau kamu dari mana? Kalau kamu mau aku bisa mengantarmu ke tempat tujuan. Jangan khawatir, aku pria baik-baik. Aku memang bukan asli daerah ini. Tapi, aku jamin tidak akan berbuat yang tidak baik padamu,” katanya lagi, meyakinkan Vena. “Terima kasih, Tuan. Tujuanku sudah hampir sampai. Rumah temanku tidak jauh dari sini,” tolak Vena. Dugaannya tepat. Sejak tadi dia menduga pria itu kembali mundur dengan mobilnya mungkin ada maksud tidak baik padanya. Malam-malam di tengah hujan seperti ini, ada wanita sedang berjalan di tengah jalanan komplek yang sepi. Pria itu tertarik untuk menawarkan jasa pada dirinya. “Sungguh?” Pria itu ragu. Meskipun samar, sekilas dia lihat wajah Vena yang sembab dan kedua matanya memancarkan kesedihan. Vena mengangguk. “Sungguh, Tuan. Rumah teman saya. “Baiklah kalau begitu. Cepatlah ke tempat temanmu itu. Suasana seperti ini tidak baik untuk perempuan sepertimu. Aku pergi sekarang.” “Iya, terima kasih, Tuan.” Kemudian pria itu membalikkan badan. Hujan mulai reda. Vena menatap punggung pria berjaket kulit warna hitam itu dengan perasaan sedih. Tidak tahu kenapa tiba-tiba dia tertarik dengan punggung itu. Vena membayangkan, andai saja pria itu adalah temannya, saudaranya atau almarhum papanya. Saat ini dia pasti akan berlari ke sana dan menaruh kepalanya di sana. Memeluknya dari belakang dan menangis sepuasnya di sana. Namun sayang, pria itu bukan siapa-siapa. Di dunia ini Vena hanya sebatang kara. Pria itu hanyalah orang asing yang hanya menawarkan jasa baik dan tidak dia ketahui apa tujuan sebenarnya. Dari keremangan jalan, kedua mata Vena yang sudah tergenang air mata lagi, samar-samar melihat mobil berwarna putih mendekat. Punggung tangan kirinya dengan cepat segera mengusap matanya. Ternyata benar. Itu adalah mobil Raka. Vena menjadi gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia bergegas menyeret kopernya ke mobil pria bak model tadi, yang sudah masuk ke dalam mobilnya. Namun mobil Raka ternyata begitu cepat berjalan. Saat Vena berjalan, mobil Raka melintas di samping mobil mewah itu. Dalam hati Vena berharap Raka tidak melihat dirinya. Vena tidak mau terlihat menyedihkan di mata pria yang baru saja mencampakkan dirinya itu sedang berjalan sendirian di jalanan yang sepi seperti manusia yang tidak berharga. Mobil Raka yang sudah berjalan menjauh. Hatinya merasa lega. Itu artinya Raka tidak melihatnya. Vena bermaksud mengurungkan niatnya masuk ke dalam mobil pria tak dikenal itu. Namun, jantungnya terasa berhenti berdetak. Dugaannya salah. Tiba-tiba mobil Raka berhenti. Vena kembali panik ketika melihat mobil suaminya perlahan berjalan mundur seperti mobil didekatnya itu. Sedangkan mesin mobil disampingnya itu sudah mulai dihidupkan oleh pemiliknya. Vena segera mengetuk salah satu pintu depan mobil itu. “Tolong buka pintunya, Tuan! Tolong, buka pintunya!” ketuk Vena beberapa kali dengan raut wajah panik. Tak lama, pintu mobil terbuka. “Ada apa?" tanya pria itu setelah membuka kaca mobilnya. Vena tidak mendengar pertanyaan itu karena mobil Raka sudah sampai di dekat mereka. Raut mukanya tegang menatap mobil berwarna putih yang baru berumur beberapa bulan itu. Dia membeli mobil seharga satu milyar itu untuk hadiah ulang tahun Raka. Pria itu lalu keluar dari mobil begitu melihat Raka dan Cindy yang juga keluar dari mobil mendekati Vena. "Siapa mereka?" Vena segera menoleh pada pria tak dikenal itu. “Maafkan aku, Tuan. Aku tarik ucapanku. Aku ingin minta bantuan Anda. Tolong, antarkan aku ke tempat temanku,” ucap Vena masih dengan wajah panik. “Oke. Aku akan mengantarmu. Masuk saja,” jawab pria itu terlihat bingung memperhatikan Vena dan juga Raka beserta Cindy. Namun dia tetap kembali ke dalam mobilnya. “Terima kasih,” ucap Vena. Setelah itu buru-buru dia berjalan, ke belakang mobil ingin menaruh kopernya di bagasi. Namun terlambat, Raka sudah mendekat. “Ternyata kamu tidak selugu yang aku kira. Pengkhianat dalam rumah tangga kita sepertinya bukan aku saja. Jadi selama ini kamu juga menjalin hubungan dengan pria lain selain diriku!” ucap Raka dengan suara meninggi dan raut wajah penuh amarah. Vena yang baru saja mengangkat kopernya masuk ke dalam bagasi langsung menoleh dengan cepat. Lalu menutup kembali bagasi tanpa melihat. Karena perhatiannya sudah beralih pada Raka dan Cindy. Vena sedikit memutar badan menghadap Raka dengan tatapan tajam. “Jangan samakan aku dengan dirimu, Mas. Aku masih takut dengan Tuhan. Aku juga masih punya adab dan norma yang selalu kupegang dengan teguh. Aku tidak sama dengan dirimu, Mas. Ingat itu!” tegas Vena dengan berani seraya mengacungkan satu jari telunjuknya. Tanpa merasa perlu menunggu balasan Raka, kemudian dia berbalik, memutuskan langsung masuk saja ke dalam mobil untuk menjauhi Raka dan Cindy. Melihatnya saja Vena sudah tidak tahan. Namun, tangan Raka dengan cepat bergerak menangkap lengannya. Vena segera menoleh dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Raka. “Kamu mau apa, Mas? Lepaskan tanganmu! Kamu menyakiti aku!” keluh Vena. “Aku ingin membuat perhitungan denganmu,” kata Raka penuh emosi. “Hei, lepaskan tanganmu! Kamu menyakitinya!” kata pria tampan itu tiba-tiba sudah keluar dari mobil dengan suara meninggi. Menatap Raka geram, seakan turut merasakan sakit yang dirasakan Vena. Raka menoleh dengan cepat menatap tajam pada pria tampan itu. “Diam kau! Jangan turut campur dengan urusan rumah tangga orang. Sampai saat dia masih sah sebagai Istriku. Jangan coba-coba mengganggunya!” “Siapa yang ingin mencampuri urusan rumah tanggamu? Aku hanya memperingatkan saja. Jangan kasar dengan perempuan. Karena sekuat apa pun status hubunganmu dengannya, kamu tidak boleh menyakiti atau melakukan kekerasan padanya. Kalau tetap kamu lakukan itu. Kamu yang akan berhadapan denganku dan hukum,” tegas pria tampan itu menatap Raka tajam. Raka terlihat semakin emosi. Melihat Raka lengah, Vena dengan cepat melepaskan tangan Raka. Usahanya berhasil. “Urusan apa lagi? Bukankah tadi kamu sudah mencampakkan aku demi wanita itu, Mas!” sahut Vena, lalu mengarahkan telunjuknya pada Cindy. “Ibu juga sangat mendukungmu. Kamu tahu, Mas. Tadi saat aku pulang semua barangku sudah menumpuk di teras. Dia memintaku pergi malam ini juga tanpa rasa belas kasih. Bila ada urusan lain antara kita, itu hanya urusan di pengadilan agama. Hanya itu saja, Mas Selamat tinggal," ucap Vena, kemudian masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan cepat. Raka masih berusaha mengetuk pintu mobil itu berkali-kali. Namun Vena sudah tidak ingin menggubrisnya. “Sepertinya masalah kalian sudah sangat jelas aku pahami. Menurutku dia perempuan yang pantas aku tolong. Maaf, Bung. Aku harus pergi sekarang,” pamit pria itu kemudian melangkah masuk lagi ke dalam mobilnya. "Tunggu! Urusan kita belum selesai!" ucap Raka, menatap pria itu penuh emosi. Namun Cindy berusaha menahannya. "Sudah, Mas. Jangan cari masalah. Biarkan mereka pergi." “Kita bisa pergi sekarang?” tanya pria tampan itu, setelah dia di dalam mobil dan menghidupkan mesin mobilnya. Tanpa menoleh pada Vena yang duduk di jok belakang dan hanya melihatnya sebentar dari spion dalam. Sementara tangannya sibuk mengelap wajahnya dengan sapu tangan. “Tentu saja. Tolong bawa pergi aku dari sini,” jawab Vena dengan menatap ke arah punggung pria itu dengan tubuh mulai menggigil. Tak lama kemudian mobil itu berjalan meninggalkan Raka dan Cindy. Vena menoleh ke belakang. Meskipun hatinya sangat sakit, entah kenapa dia masih ingin melihat Raka untuk terakhir kalinya. Air matanya menetes perlahan seiring mobil yang dia tumpangi saat ini menjauh. Saat akan menikahinya dulu, sekali pun tidak pernah dia bayangkan rumah tangga mereka akan berakhir seperti ini. Dulu dia dan Raka menikah atas dasar cinta. Vena yakin Raka akan membuatnya bahagia dalam situasi apapun. Bila mengingat cinta Raka padanya dulu, sulit dipercaya akhirnya dia sanggup melakukan pengkhianatan seperti itu. “Dia tidak pantas kamu tangisi. Hapus air matamu,” ucap pria itu, menatap Vena lagi, dari kaca spion dalam. Tapi, beberapa saat kemudian dia mengambil sapu tangan dari dalam laci dashboard. Vena agak terkejut mendengar ucapan itu dan segera mengusap air matanya dengan punggung tangan kanan. Dia hanya menatap punggung pria itu dan belum sanggup berkata-kata. “Diselingkuhi suami memang ujian yang sangat berat. Kamu boleh bersedih. Tapi jangan lama-lama. Bersyukurlah, kamu dijauhkan dengan pria itu sekarang. Jangan sekali-kali kamu maafkan dia lagi,” tutur pria itu lagi. Lalu dia ulurkan sapu tangan yang dia ambil tadi pada Vena. “Dia tak akan kembali lagi padaku. Hartaku sudah habis dan selingkuhannya itu mungkin sebentar lagi akan memberinya anak,” sahut Vena ketus sambil mengambil sapu tangan itu berwarna biru muda itu. “Oh ya? Tapi aku masih melihat kecemburuan di matanya. Suami kamu sepertinya masih mempunyai perasaan padamu. Hanya saja dia belum menyadarinya,” jelas pria itu. “Biarkan saja. Aku sudah tidak peduli lagi,” sahut Vena ketus, sambil sibuk mengusap wajah dan juga rambutnya yang basah dengan sapu tangan. “Bagus,” sahut pria itu, cepat dan penuh semangat. Vena mengerutkan dahi dan menghentikan mengusap rambutnya. Dia tidak mengerti mengapa pria tampan itu berkata demikian. “Sepertinya kamu senang melihat kehancuranku.” “Tentu saja. Karena aku yakin ada hikmah besar untukmu. Tapi, itu bila kamu mau menerimanya ujian ini," tutur pria itu. Vena merasakan mobilnya berjalan melambat. “Maaf, aku lupa. Tadi, kamu bilang rumah temanmu ada di sekitar jalan itu. Kita sudah menjauh sekarang,” ucap pria itu, setelah mengurangi kecepatannya. “Tidak perlu minta maaf. Maafkan aku! Tadi aku berbohong,” jelas Vena. “Oke. Lalu, katakan! Sekarang kamu mau mana? Aku akan mengantarmu.” Pria itu menambah kecepatannya. “Tolong antarkan aku ke stasiun kereta. Setelah ujung jalan ini, belok kanan saja. Nanti aku akan memberitahumu lagi, Tuan.” Suara Vena terdengar tidak bersemangat. “Kamu akan ke mana? Apa kota ini bukan kota asalmu?” Pria itu terlihat menatap Vena dari spion dalam lagi. Dalam hati dia merasa iba melihat wanita berwajah pucat karena kedinginan itu. Ingin rasanya dia peluk dan membiarkan menangis sampai lega. Tidak ada manusia yang tegar dan kuat saat menghadapi pengkhianatan dalam rumah tangga “Kota ini bukan kota asalku. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku,” ungkap Vena. “Di mana kota asalmu?” tanya pria itu lagi. “Setelah ini ada pertigaan. Tolong belok kanan lagi. Sekitar satu kilo perjalanan kita sampai di stasiun,” ucap Vena. Sengaja mengalihkan pertanyaan itu. “Aku sudah tahu. Aku sudah menggunakan map untuk melacak posisi stasiun yang kamu tuju,” jawab pria itu datar. Vena tahu, pria itu kecewa dengan sikapnya. Tapi dia memang terpaksa harus bersikap demikian. Bagaimanapun dia tidak mengenal pria itu. Untuk apa dia harus mengatakan tujuannya. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam saja. Vena mengarahkan perhatiannya ke jalanan. Sedangkan pria itu fokus dengan kemudinya. Baru ketika mobil pria itu berhenti di tepi jalan depan pintu masuk stasiun, dia kemudian mengeluarkan suara lagi, ”kita sudah sampai.” “Kamu tetaplah di dalam, Tuan. Aku yang akan mengambil koperku sendiri. Terima kasih, sudah membantuku. Semoga Tuhan segera membalas kebaikanmu,” ucap Vena, menatap pria itu. “Sama-sama. Semoga setelah hari ini hidupmu juga jauh lebih bahagia,” balas pria itu lagi. “Amin. Terima kasih. Selamat tinggal." Setelah melihat ke arah pria itu sebentar, Vena segera keluar.. Begitu di luar, dia lihat bagasi sudah terbuka. Tanpa pikir panjang, Vena segera mengambil koper di sana. Namun, baru dia tutup bagasi, tiba-tiba mobilnya sudah melesat pergi. Vena hanya bisa menarik napas dan mengembuskan agak keras menatap mobil berwarna hitam itu menjauh seraya menggelengkan kepala. Ada rasa kecewa di hatinya. Sebenarnya dia masih ingin mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih sekali lagi. Tapi sepertinya pria itu merasa tidak perlu bicara lagi dengannya. Ya. Memang siapa dirinya. Hanya wanita yang ditemui di pinggir jalan. Tidak penting mengucapkan selamat tinggal padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD