Episode 19

1244 Words
Hana berjalan cepat, tak ingin menoleh kanan atau kirinya. Hana bahkan tak peduli dengan tubuhnya yang bau dan basah kuyup, hingga seseorang mendekat dan menyampirkan kemeja di bahunya. "Lo hebat!" bisik orang itu, membuat Hana menoleh padanya. "Sa, kemeja lo bisa basah," balas Hana pelan. Esa, pemuda itu terkekeh pelan. "Ya elah, kemeja doang. Lo mau pulang? Ayo, gue antar!" Hana menggeleng pelan dan berucap, "Nggak. Masih ada dua mapel lagi." Ia tersenyum kecil, mengeratkan kemeja Esa yang seolah memeluknya. Keduanya berjalan beriringan, sama sekali tak menganggap orang-orang yang menatap ingin tahu. Hana terlanjur marah pada dirinya sendiri, terlanjur kesal, dan terlanjur kecewa pada seseorang yang ia harapkan. Sedangkan Esa, ia hanya ingin berpura-pura tak peduli. Setidaknya, kali ini untuk Hana, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ia tahu Hana tengah tak baik-baik saja, dan pastinya Hana membutuhkan seseorang kendati ia tak mengatakannya. "Na, lo ganti baju pake baju gue aja, mau? Kebetulan gue bawa baju cadangan," ucap Saila sesaat ketika Hana sampai kelas. "Gak usah—" "Pake, Na. Daripada masuk angin." Esa menginterupsi. Sejujurnya, Hana ingin menangis sekarang. Entah, entah ingin menangis karena apa. Yang pasti dadanya terasa begitu sesak dan penuh. Akhirnya Hana hanya mengangguk pasrah, mengikuti Saila ke loker dan mengganti pakaiannya. Sepulang dari mengganti pakaian, Hana dihadapkan dengan Yohan yang sudah berdiri di depan kelas, menunggunya. "Lo dipanggil Guru BK," ucap Yohan, menatap Hana lamat-lamat. Hana sudah menduga ini dari awal, sehingga yang dilakukannya hanya menghela napas panjang dan mengangguk. "Gue temenin?" Saila menawarkan diri. "Gak apa-apa, gue bisa sendiri." Hana tersenyum singkat, lantas berjalan meninggalkan kelas diikuti oleh Yohan. Selama beberapa waktu, perjalanan hanya diisi keheningan sampai keduanya benar-benar tiba di depan pintu ruang BK. "Hana!" panggil Yohan, sebelum Hana sempat memutar knop pintu. "Lo baik-baik aja, kan?" tanya Yohan setelah Hana menoleh. "Yang lo lihat, Kak?" Hana balik bertanya, tersenyum simpul dan kemudian masuk ke dalam ruangan BK. *** "Jadi apa rencana lo sekarang?" tanya Yohan, menatap Juno yang sejak tadi menatap bukunya seolah-olah sedang membaca, padahal Yohan tahu bahwa itu hanya akal-akalannya agar ia tidak terlihat melamun. "Jun! Gue tahu lo nggak lagi baca buku!" tegur Yohan seraya merebut kasar buku di tangan Juno karena sejak tadi Juno tak memberi tanggapan apapun. "Lo ada masalah apa, sih, Han?" desis Juno malas. Yohan memutar bola matanya kesal, tak mengerti dengan Juno. Ternyata panggilan 'robot' memang tidak salah disematkan padanya. "Lo. Lo yang ada masalah! Lo sama sekali gak ada rasa simpatinya sama Hana setelah kejadian barusan, ha?" "Lo bilang gue harus jauhin dia. See, gue ngelakuin apa yang lo bilang!" "Gue gak bilang lo harus jauhin dia! Gue cuma bilang jaga jarak! Lo gak bisa bedain?" omel Yohan jadi berimbas emosi. Lagian, Juno katanya pintar tapi ternyata lamban soal masalah ginian. Yohan jadi kesal bukan main, padahal berulang kali Yohan sudah mencoba membuat Juno maju. Bukan apa-apa, hanya saja Yohan tidak mau Juno menyesal pada akhirnya. Apalagi, tatapan Juno ke Hana bisa Yohan rasakan sangat berbeda dengan tatapan Juno ke perempuan-perempuan lainnya. "Gak tau, gue pusing." Juno berdiri, meninggalkan Yohan begitu saja. Astaga, Yohan jadi frustasi. Mau bodo amat, tapi kasian Hana, kasian juga sama Juno kalau suatu saat nyesel. *** Juno menyandarkan punggungnya di rak perpustakaan. Hanya di tempat itu Juno bisa bernapas sejenak. Kepalanya berdenyut memikirkan banyak hal. Belum lagi ia tak mengerti dengan jantungnya yang sejak tadi nyeri, seolah ada aliran listrik yang menyengat. Kejadian di mana Hana menatapnya datar dan dipenuhi kecewa, amat mengganggu Juno. Itu terus berputar-putar di kepalanya, bagaikan kaset rusak yang terus mengulang adegan yang sama. Wajah ceria Hana, dan senyuman riang yang biasa menghiasi wajah Hana, tak lagi ia temukan. Sejujurnya kala itu, terbersit di kepala Juno untuk mendekat dan membantu Hana, tetapi seorang siswa yang lebih dulu melakukannya membuat logika Juno mengingatkan, bahwasanya Juno tidak memiliki hak untuk melakukan itu. Namun entah mengapa, hatinya justru tak terima. Ada sedikit sesak yang membuatnya mundur teratur. "Jun, aku nyariin kamu dari tadi. Ternyata kamu di sini?" Juno menegakkan tubuhnya saat Rena datang. Sebisa mungkin ia membenarkan raut wajahnya dan kembali bersikap biasa saja. "Ah, ya. Ada apa?" Juno tanya. "Kamu lupa, kamu ada janji mau nganterin aku ke rumah sakit hari ini." Juno menyugar rambutnya seraya mengembuskan napas panjangnya. "Ya, maaf. Aku lupa." "Ya udah, sekarang?" Rena bertanya antusias. "Udah pulang emang?" "Loh, udah bel dari tadi, Jun!" Astaga. Juno sampai tak sadar apapun karena melamun sejak tadi ternyata. Untunglah jam pelajaran terakhir tadi guru tidak masuk sehingga pelajarannya tidak terganggu. *** "Gue anterin balik, Na." Hana memakai tasnya kemudian berdiri. "Gak usah, Sang. Gue gak langsung pulang lagian." "Mau ke mana?" Esa bertanya serius. "Ke rumah sakit, sekalian nganterin makan buat Yudha." "Kalau gitu gue ikut." Esa menawarkan diri. "Gue juga!" Dikta yang masih duduk merapikan barang-barangnya ikut menimpali. "Gue! Gue juga!" Saila berlari kecil ke hadapan Esa dan Hana. "Raka, lo ikut juga, kan?" tanya Saila ke Raka yang tengah menghapus papan tulis. "Ya, kalau lo ikut gue juga ikut. Sekalian jenguk ibunya Yudha juga." "Berarti fix kita berlima pergi?" Dikta antusias menghampiri mereka. "Yuhu~ ayok berangkat!" *** Sementara   Dikta, Raka, dan Saila pergi lebih dulu ke rumah sakit, Esa terlebih dahulu mengantarkan Hana mencari makan untuk Yudha dan mereka semua. "Kira-kira beli apa, ya, buat Yudha?" tanya Hana sedikit berteriak karena Esa memakai helm. "Biasanya apa?" "Dia suka ramen. Tapi kayaknya gak baik, deh, kalau dianya lagi kayak gini. Beli burger aja, gimana?" "Boleh. Di depan kayaknya ada tempat yang bagus!" balas Esa, menambah kecepatan laju motornya. Kini keduanya baru saja keluar dari kafe, menenteng beberapa paper bag berisi makanan dan minuman. Udara terasa dingin, dipaYudgi langit yang mendung. Pun, tetes-tetes air yang kecil turun sangat lebat. "Mau ujan," keluh Esa pelan. "Udah ujan kali." Hana terkekeh pelan. "Ya udah, ayok! Daripada ujannya makin gede!" tutur Hana seraya berlari kecil menghampiri motor Esa yang terparkir di depan. Namun tubuh Hana tiba-tiba saja membeku ketika satu pemandangan lewat di hadapannya. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku. Pun jantungnya berubah pilu. Juno, ya? Benar dia Juno, kan? Orang yang tadi pagi mengatakan ingin mengantarnya pulang? Lantas, kenapa? Kenapa barusan Hana lihat ia berboncengan dengan perempuan, dan... perempuan itu memeluknya! Ya, pelukan romantis seperti sepasang kekasih. Lagi-lagi lo cuma ngasih harapan kosong. Lo cuma mau narik ulur hati gue. Emang segitu begonya kah gue sampai lo asyik banget main-main sama perasaan gue, Kak? Hana benar-benar tak mengerti Juno. Apa yang dia mau, apa yang dia rencanakan, dan apa yang dia pikirkan. Juno, apa baginya, perasaan seseorang hanya sebatas mainan? Dia bahagia, ya, melihat Hana jatuh, kemudian bangkit untuk berharap, dijatuhkan lagi, dan dibangkitkan lagi dengan harapan, lalu jatuhkan lagi? Juno, apa dia merasa menjadi Dewa hanya karena Hana terlalu kentara menunjukkan perasaannya selama ini? Hana ingin membenci Juno, tetapi ia sadar ini juga salahnya dan salah hatinya. Bukannya sudah Yudha peringatkan untuk tidak jatuh ke hati yang salah? Lantas kenapa? "Ayok, naik!" Esa menginterupsi keterpakuan Hana yang lama. "Na! Lo denger enggak?" panggil Esa untuk ke sekian kalinya karena Hana masih bergeming. "HANA!" "Ayo, Sa!" ujar Hana lemas, lantas naik ke atas motor Esa. Namun Esa yang menyadari perubahan raut wajah Hana justru balik terdiam, tidak cepat-cepat melajukan motornya. "Jalan! Ujannya keburu gede!" "Ada apa?" tanya Esa, alih-alih melajukan motor. "Ada apa apanya? Jalan buru, ih. Ujan ini!" gerutu Hana. Jelas, Esa bisa mendengar getaran kecil dari suara Hana. Meski ragu, akhirnya Esa melajukan motornya. Ketika diam-diam Esa melirik Hana dari balik kaca spion, Esa menghela napas panjang. Wajah Hana terlihat sangat kacau. Dapat Esa lihat dengan jelas bahkan bulir-bulir air mata menggenang di balik pelupuk matanya. "Sini. Masukin tangannya ke sini, biar gak dingin." Esa menarik tangan Hana dan memasukannya ke dalam saku almamaternya. "Nyender aja, gak apa-apa, kok," lanjutnya. Kemudian Esa hanya tersenyum tipis begitu Hana menuruti perkataannya, menyenderkan kepala hingga punggung Esa terasa basah. Maafin gue, Na. Seharusnya gue ngelindungin lo, bukan malah nyakitin lo sampai bikin lo nangis kayak gini. Monolog Esa dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD