"Lo suka, kan, sama Hana?"
Juno berdecak sebal dan melempar Yohan dengan kertas yang sudah ia besarkan asal. Dari tadi pagi yang terus Yohan tanyakan itu lagi itu lagi.
"Aku akan enggak, ya, enggak!"
"Tapi gue gak percaya, Jun. Gimana, ya, gue punya indera ke-tujuh, gak bisa lo bohongin," ujar Yohan, menatap Juno dengan tatapan intensnya yang membuat Juno beramit-amit ria dalam hati.
Ini Yohan kagak belok, kan, ya? Dalam hati kompilasi melihat tatapan itu.
"Bodo amat. Mau lo punya indera ke-tujuh, ke sembilan, atau ke-dua puluh sekali pun. Jawaban gue tetep enggak."
"Berarti kalau Hana gue embat, lo gak bakal marah?" Yohan nyengir tatkala Juno menoleh membunuh dan menggeleng kecil. "Marah, kan, lo? Ngaku."
"Nggak! Bodo amat, mau lo embat, mau lo makan, mau mau sikat juga." Juno merotasikan bola mata malas. Sebal lama-lama terus-terusan berada di dekat Yohan yang bacotnya subhanallah. Mana kelompok bahasa Inggris yang bejibun belum beres karena membantu, Yohan malah asik chatingan dengan gebetan-gebetannya dan sesekali membagikan Juno. Untung Juno sabar.
"Gue ngobrol Hana, ah." Yohan tersenyum lebar sambil tersenyum sesuatu di roomchat.
Juno sendiri bingung sekaligus penasaran, memang Yohan punya kontak Hana?
"Kita udah sekontak," gumam Yohan seolah bisa membaca pikiran Juno.
"Gue gak nanya," balas Juno datar. Padahal sebal sendiri dia dengan kelakuan Yohan yang menggodanya secara langsung.
Tapi ...
Hana, sekontak sama Yohan? Secepat itu mereka deket?
Juno menggeleng keras, berusaha menyingkirkan hal tersebut. Lagi pula, Hana? Yang benar saja? Si berisik dan si cengeng itu? Astaga, mengingat masa lalunya dengan gadis kecil itu bahkan sering mengharuskan geli.
***
"Kak Juno! Kak Juno! Kak!"
Juno mundur laju motornya saat melihat Hana yang berlari mengejar motornya di belakang. Kebetulan memang sudah sampai di depan komplek.
"Ada apa?" tanya Juno, memandang Hana malas saat gadis itu tiba di hadapannya dengan napas tersenggal.
"Ng --- itu, anu ... kemarin belum sempet ngucapin makasih." Hana nyengir lebar untuk menunjukkan gingsulnya yang baru Juno lihat pertama kali. "Juga, soal mading itu ... aku gak apa-apa, kok."
Juno mengangkat bahu singkat. "Ya bagus kalau gitu. Cepetan pulang, mau ujan," gumam Juno, lantas melanjutkan motornya meninggalkan Hana.
"Eh? Heh? Gak mau ngajak bareng gitu?" Hana cengo di tempat menyaksikan Juno berlalu begitu saja. "KATANYA MAU UJAN WOY! TAPI KENAPA GAK DIAJAK BARENG? RUMAH AKU MASIH JAUH, LOH, KAK!" teriak Hana, berharap Juno mendengar tapi percuma, toh, Juno sudah jauh.
"Anjir. Tau gini tadi minta Mas Ojol nganterin sampai rumah aja. Huaaa, ya kali! Masih jauh ini!" Hana menangkupakai sendiri, merasa frustasi. Juno, tuh, ya, memang kadang-kadang suka bikin Hana transisi sampai mau makan dia hidup-hidup! Untung cakep, untung Hana sabar.
Hana berjalan sambil menghentak-hentakkan berjalan kesal. Bodo amat hujan. Hana sebal.
Hana mengernyit bingung begitu sampai di rumah, mamanya segera menghampiri dengan raut wajah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik saja.
"Ma, ada apa?" tanya Hana karena makan firasat yang buruk dari tatapan Nina.
"Cepat ganti baju. Kita harus pergi."
"Pergi?" Hana kebingungan. Tapi detik berikutnya, ia melanjutkan melesat untuk menggantikan pakaian dan kembali ke tempat semula. Dari raut wajah mamanya, pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Kita mau ke mana, Ma?"
"Rumah sakit."
Kan?
***
Juno menyimpan tas ranselnya di atas meja belajar, lantas duduk di kursi seraya menengadah. Tak lama, pintu kamarnya terbuka dan Sang Mama masuk dengan nampan yang ada di dekat buah-buahan segar.
"Gimana sekolah hari ini?" tanya Sela, buka buah-buahan tersebut di atas meja kemudian lihat anak bungsunya.
"Seperti biasa, Ma." Juno tersenyum kecil.
"Sakit kamu?"
"Udah gak sakit, Mama. Mama lihat, aku pulih!"
"Memar-memar kamu masih ada." Sela sengaja memulihkan lebam di muka Juno jadi anak lelaki itu mendelik sebal.
"Kan, gak bakalan ilang dalam sehari, butuh proses," gerutu Juno yang dibalas kekehan mamanya.
"Ya udah, gak usah ngambek." Sela mengusap puncak kepala Juno dengan sayang. "Dimakan buahnya, ya."
"Iya. Mama sana nonton drakor," ucap Juno, mengusir. Ya, dasar Juno. Ia memasukkan kedua ke dalam saku almamater,
"Dih, ngusir. Kamu, tuh, bener-bener ya." Sela geleng-geleng kepala tapi tak ayal berjalan juga meninggalkan Juno.
"Jun, kali-kali keluar, main kayak anak lain gitu. Jangan di kamar mulu, Mama takut ih."
Juno yang baru mengeluarkan sesuatu di dalam almamaternya menghela napas panjang, lantas menoleh pada mamanya yang berdiri di ambang pintu. "Takutangnya, sih, Ma? Harusnya Mama takut kalau aku keluyuran. Ini malah kebalikannya."
"Ck. Ya kalau keluar sekali-kali gak apa-apa. Mama juga pengen kamu ngabisin waktu remaja kamu dengan sedikit senang-senang."
"Iya, bawel. Nanti aku keluar kalau pengen," ucap Juno. "Sana, Ji Changwook Mama entar keburu udahan."
"Iya! Dosa apa Mama punya anak galak macam kamu,"
Dan Juno? Dia hanya menggeleng pelan. Mamanya memang sering menyebalkan, bawel, cerewet, dan sering menggerutu tidak jelas, tapi dia perhatian dan berhati lembut. Itu mengingatkan Juno akan seseorang.
Juno dibuka Obat sembelit yang Hana diberikan tempo hari terbukti.
***
"Ma ... Yudha?" Hana menoleh pada mamanya begitu menemukan Yudha duduk di rumah sakit, di depan sebuah ruang rawat inap VIP.
"Kamu hibur dia, ya. Sementara Mama mau masuk jengukin mamanya."
Hana mengangguk pendek dan berjalan semakin mendekat pada Yudha sementara mamanya masuk ke dalam di belakang Yudha.
"Yud," panggil Hana, berdiri di samping anak lelaki itu. Yudha masih memakai pakaian yang sama dengan yang terakhir kali ia pakai semalam dengan Hana.
Yudha menoleh, sedikit menengadah menatap Hana. "Kenapa lo bisa di sini?" tanyanya.
Hana duduk di sisi Yudha dan menatap lurus ke depan. "Mama dapet kabar tadi siang kalau Bunda lo diartikan karena serangan jantung kemaren." Hana menjawab, lalu menolehkan kepala menatap Yudha. "Jadi semalem lo datang ke gue gara-gara lo sedih, kan?" tebak Hana.
Yudha bergeming, tak dijawab.
"Lo kenapa, sih, Yud?" Hana tersenyum pahit. "Seharusnya kalau lo lagi sedih atau kesusahan, lo cerita ke gue. Bukan diem kayak gini."
Tak berapa lama, Hana terdiam menyaksikan setetes air mata jatuh dari kelopak mata kanan Yudha — yang segera dihapus oleh lengan pemuda itu sendiri.
Hana menghela napas panjang, kemudian mulai bergerak perlahan mengusap bahu Yudha. "Lain kali, jika ada hal kayak gini, jangan pergi ke gue sambil pura-pura baik-baik aja. Lo harus ada di sisi Bunda lo terus. Tapi pasti harus kabarin gue, bukan malah ngilang."
"G-gue ... gue takut, Na." Yudha kembali meneteskan udara membalikkan, berhasil ia menghapus lagi dengan buru-buru. "Bunda ... gue gak bisa hidup tanpa dia. Gue takut dia pergi sebelum gue tumbuh dewasa."
Kedua permata cokelat Hana berkaca-kaca, lantas kedua meminta merentang memeluk Yudha dan membiarkan dia terisak keras di sana, di pelukannya. Hana tahu bagaimana perasaan Yudha. Bunda adalah segalanya bagi anak laki-laki itu. Dia adalah satu-satunya orang yang paling dekat. Di rumah mewahnya, hanya ada Bunda dan Yudha. Sementara itu, selalu sibuk menunggu perusahaan yang tersebar di beberapa kota. Tak bisa dibayangkan bagaimana kesepiannya Yudha jika Bunda tidak bertahan.
Mungkin bagi orang, Yudha tidak akan suka karena banyak sekali pelayan yang berangkat lalang di Rumah. Tapi Hana hanya membutuhkan Yudha hanya membutuhkan bundanya.
"Lo harus percaya kalau Bunda harus sembuh. Jangan terus, Yud. Gue juga sayang sama Bunda. Gue udah anggap dia nyokap gue sendiri. Jadi ayo kuat, biar Bunda juga kuat!"
***