Hana berjalan tegap seraya berkali-kali mengembuskan napas kerasnya. Wajahnya tegang, tampak kosong, dan di jidatnya muncul tertera tulisan yang di-tebal, di-miring, di-garis bawahi dan dicapslock: JANGAN NYENGGOL GUE, GUE LAGI PANIK BAZENG!
Hana menjatuhkan bokongnya sisi Yudha yang tengah berjelajah ke Wonderland dengan Puteri Alice yang cantik - di dalam mimpi. Sedetik, dua detik ... Hana masih bergeming bodoh. Sampai kompilasi ia sudah tak tahan dengan keheningan yang terasa mencekam, Hana menggeplak pipi Yudha sangat keras. Kemudian dengan tidak berdosanya menampar pipi kecil Yudha ke kanan dan ke kiri saat pemuda itu terbangun.
"Heh, Setan! Sakit b**o!" pekik Yudha yang tak tahan dengan kelakuan Hana yang seperti kesurupan. Bobo gantengnya sudah dibangunkan, ditampar bolak-balik pula. Dikira gak sakit.
"Yud ... Yud ... gue udah gila kayaknya." Hana bergumam linglung.
"Kenapa sih anjir? Jangan bikin takut, dong! Masa sekolah ini ada penunggunya!" gerutu Yudha sambil kembali merebahkan diterima di atas meja.
"Gue gak kesurupan, dodol!" Hana berdesis, mengalahkan bahu Yudha. "Gue panik tahu. Panik!"
"Ya kagak berhasil mukul gue juga, Kuntring! Lo tahu udah berapa kali lo mukul gue sejak semenit lalu ha?" Yudha kali ini benar-benar terbangun. Kesal juga dia.
"Sori. Gue panik ini panik! Lo jangan bikin gue makin kalut gini, dong!"
Hana menjadi Hana. Watados seperti biasa. Dia yang mukul dia yang ngegas.
"Yud, gue tadi abis marahin Kak Juno, Yud! Kak Juno!" Gumam Hana sambil menginstal muka semelas mungkin. Tapi bukan muka yang butuh dikasihani yang Yudha dapatkan, tapi muka memeable Hana yang sangat absurd.
"Juno? Sepupu gue?"
"Bukan! Bukan Kak Juno yang pendek. Ini Kak Juno ituloh Ketua Osis!"
"Buset!" Orang ganteng kaget.
"Haruskah dia ngadepin dia setelah ini, Yud? Gimana? Mana gue udah daftar jadi anggota Osis."
"Ya elo lagian ngapain marah-marah ke Ketos, anjir? Mau di DO dadakan?"
Hana mendesah kesal. Mengapa Yudha malah semakin rumit?
"Tenangin gue kek, bangke! Ini malah nakut-nakutin!" Lagi, Hana membunuh Yudha.
"Bukan nakut-nakutin. Tapi rumornya kan dia tuh galak, serius gitu orangnya. Dan lo, kutu kupret yang gak ada apa-apanya marahin dia? Itu kan lo udah ngusik harga diri dia! Gimana tuh? Mau gimana lo?"
Hana jadi semakin senang mendengar Ocehan Yudha. Kalau dia gak naksir Juno mah, masa bodo lah mau dibenci juga. Di DO pun bomat. Lah ini, Hana ngebet banget sama Juno terus dia malah ngelakuin kesalahan. Memang musuh terbesar Hana tuh ya emosinya yang sering kali tidak terkontrol. Rasanya mau hilang ingatan saja sekarang!
"Terus ... gue kudu otoke?"
"Minta maaflah!"
"Gimana caranya?" Hana melas.
"Caranya?" Yudha mensedekapkan tangan di d**a dan menyimpan salah satu telunjuknya di dagu, sok-sokan berfikir. "
" Terus? "
"Tumpahin ke putaran!" Yudha menggeram kesal. "Ya minta maaf lah gimana, b**o! Bilang lo salah dan blablabla, baik-baikin dia."
"Tapi gue gak salah-salah, sih, Yud. Dianya ngeselin gitu, mulutnya pedes cem bon cabe. Kan gue kesel."
Yudha merotasikan bola mata malas. Entahlah, rasakan saat ini pengen banget Yudha jedotin kepala bantu yang satu itu.
"Jadi? Ngapain lo panik kalau lo marahnya ada alesan? Ngapain lo takut, ogeb? Juga lo m**o amatan. Pak Sunggyu yang galaknya macam gorila kelaperan juga lo hadang, kan ini?"
Iya deng. Tapi ini Kak Juno woy! Kak Juno! Aduh gimana mau bilangnya? Masak gue kudu jujur suka sama tu cowok!?
Hana geleng-geleng kepala.
"Tahu ah. Mendorong gue!"
***
Hana jalan. Jalan saja terus sampai mentok ke dunia, tak tahu Arah. Matanya berbinar setiap kali nemu cogan, tapi tidak ada yang nyantol. Di bebaskan berputar satu nama: Juno Juno Juno. Bingung Hana juga, kok bisa sih penyakit kena Juno akut?
Menepikan langkahnya di bawah pohon yang terletak di depan perpustakaan. Hana duduk di atas bangku batu dan terdiam, bengong lagi.
Hana dilema sekarang. Mau minta maaf, tapi juga kesal. Apa yang dia ucapkan memang tidak ada salahnya sih. Tapi juga ... Hana takut Juno kesal dan marah ke dia!
Di kala kalut semakin kuat melanda, tiba-tiba daun jauh di atas pangkuannya. Hana memungut daun tersebut dan menatapnya lekat-lekat.
"Ada ulatnya."
"Astaghfirulloh!" Hana buru-buru melempar daun tersebut dan sontak berdiri saat mendengar suara itu.
"Sori ngagetin." Lelaki dengan senyuman khasnya yang menawan membuat Hana mendesah pelan.
"Kak kalau mau muncul kode-kode dulu. Jangan asal nongol kayak Jin Tomang!" Hana ngelus d**a, masih kaget bor.
Orang itu tertawa. Ya, bisa ditebak siapa pun yang selalu ketawa kapan pun dan di mana pun. Ya, Raden Yohan.
"Kode-kode juga kalau lo-nya gak peka, buat apa?" Hana terdiam mendengarkan ucapan Yohan itu. "Lagian ngapain bengong sambil liatin daun? Sampe gak sadar itu ada uletnya?"
"Gak ada." Hana kembali duduk, menggoyang-goyangkan kembali ke depan dan ke belakang.
"Mikirin gue ya, hayo?" Yohan ikutan duduk di sisi Hana.
Pepet saja terus. Pepet!
"Geer amat, Kak!"
Yohan tertawa. Lagi "Tadi gue liat lo sama Juno. Sumpah lo keren banget! Hahaha."
Hana otomatis mendelik. "Keren apanya. Malah gue bingung sekarang, Kak."
"Kenapa?"
"Takut Kak Juno marah."
"Mau tau gak cara memperbaiki Juno gak marah ke lo?" Yohan menoleh dan tersenyum misterius.
"Gimana?"
"Ayo ikut gue!"
***
"Kak Yohan, lo gak niat apa-apain gue, kan?" Hana berjalan dengan harap-harap cemas.
Ya Setelah berbincang di bawah pohon tadi, Hana benar-benar diterima Yohan. Hana pikir tadinya Yohan tidak mungkin mau ngapa-ngapain dia. IYA, ITU TADINYA. Sekarang berbeda lagi,
Di tengah heningnya lorong yang mereka lalui, Hana bisa mendengar tawa Yohan yang ringan dengan sangat jelas. Amat jelas.
"Kalau gue mau apa-apain lo, gimana?" Yohan menoleh dengan senyuman miring yang membuat Hana terhenyak, sampai terdiam dengan mata melotot tak percaya.
"Kak, lo—"
"HAHAHA!" Tawa keras Yohan mengudara, menggema saking sepinya tempat mereka berada.
Hana bingung. Sumpah, bingung. Apakah Yohan punya niat buruk, mau ngerjain, atau memang mau bantuin Hana? Dia terlihat baik, tetapi juga kadang-kadang tidak bisa ditebak.
Hingga ... Bugh! Suara pintu terbuka membuat Hana semakin terkejut.
"Lo, kalau ketawa bisa kira-kira gak, sih, Han?"
"Eh? Kak Juno?" Hana mengerjap, menyaksikan Juno yang keluar dari salah satu pintu paling bawah di lorong tempat mereka berada.
Yang lebih menarik Perhatian Hana adalah penampilan Juno. Dia tidak mengenakan seragam, hanya memakai kaus oblong putih yang pernah dia lihat beberapa waktu yang lalu. Dan bangkit ... jelas Juno terlihat lelah dan pucat. Dapatkan dia baru saja bangun dari tidurnya.
"Loh? Ngapain bawa orang ke sini?" Juno mengernyit. Menatap Hana dan Yohan dengan tatapan menelisik. "Han, kalau lo mau brengsekin cewek, jangan di sekolah ya! Ingat kita siapa dan harus ingat bagaimana!"
Hana mendadak ingin marah lagi. Apa barusan? Brengsekin cewek? Dikiranya Yohan sama Hana mau ngapain? Ingin Hana teriak, tapi terima kasih melihat wajah lelahnya,
"Lo paham yang gue maksud sekarang?" bisik Yohan, membuat Hana mengerjap bingung.
"Apaan, Kak?"
"Bantuin bocah itu! Liat tuh, gak mau pulang gak mau dibawa ke UKS juga. Padahal mukanya udah kayak orang mati."
Astaghfirulloh, Kak Yohan. Ganteng-ganteng kok julid :( Hana ingin marah tetapi memang perkataan Yohan ada benarnya. Muka Juno pucetnya kebangetan.
"Mau ngapain?" Bisik Hana lagi, terkecoh.
"Terserah. Bawain dia makan atau apa saja. Itu
mengernyit. Ini Juno ganteng-ganteng kalau sakit kenapa kayak tikus maunya mendekam di kelas tua? Aneh banget.
"Ngapain bisik-bisik? Lo denger gue kan, Han?" Suara Juno kembali menyahut.
"Iya, Gusti. Hamba tidak mau macam-macam," tutur Yohan dengan dialek yang ia buat-buat seperti film kerajaan zaman baheula. Menyebalkan.
"Serah. Jangan berisik pokoknya!" Juno mengibas-kibaskan untuk masuk kembali ke kelas sebelumnya.
Hana buru-buru berjalan ke depan kelas itu, sambil berusaha meraih suara langkahnya. Dari balik kaca yang kotor, Hana mengintip. Juno kembali selonjoran duduk di atas meja dengan punggung bersandar ke tembok.
"Dia kenapa, sih? Sakit kok malah diem di tempat kotor kayak gitu?" bisik Hana. Antara sedih dan juga bingung melihat Juno seperti itu.
Yohan menarik lengan Hana menjauh dari kelas tersebut. Kembali keluar dari barisan tiga kelas tak terpakai itu.
"Juno tuh emang gitu. Dia gak mau orang-orang tau kelemahan dia. Dan dia gak pernah mau nyusahin orang
Makanya kalau sakit, dia milih sembunyi ke orang-orang tahu." Yohan memulai pembicaraan.
"Terus, kenapa Kakak tahu dia di sana?"
"Kita udah temenan dari orok. Waktu tau dia masih pake popok." Yohan tertawa. "Dia tuh udah gue anggap sebagai adek. Jadi serapat apa pun dia nutupin sesuatu dari gue, gue pasti tahu. Waktu awal kelas dua dia pernah sakit, gak bilang ke siapa pun termasuk gue. Dia ngilang, gak masuk pelajaran. Dan gue nemuin dia Hampir pingsan di kelas itu. "
Hana terhenyak.
"Udah biasa gitu dia. Waktu SD pernah kena typus, diajari saat bicara dan liat mamanya nangis terus-terusan.
Di balik gambar keras dan datarnya ternyata hanya tameng? Juno tetap baik. Kelewat baik malah.
"Tapi kan, Kak. Semisal sakitnya dia parah, gimana?"
Yohan terhenti langkah di depan perpustakaan yang lumayan ramai karena memang paling semua kelas jam kosong, masih sekolah gratis.
"Makanya itu gue butuh elo."
***