"Yud, Kak Alan, Yud!" Hana tergopoh-gopoh lari menghampiri Yudha yang gegoleran random di belakang kelas. Dasar mageran.
"Apaan?"
"Ih, bangun dulu, g****k!" Hana memukul bahu Yudha. Kemudian Yudha benar-benar bangun karena risih kalau cerewetnya Hana sudah kumat.
"Gue tadi lihat Kak Alan cekcok depan lapang. Sama Kak Jian, Yud!"
"Terus?" balas Yudha malas.
"Ya, bantuin lah, ogeb! Temen lo itu tuh!"
"Udah gede. Lagian dia kan jago kelahi, ngapain gue bantuin? Yang ada ntar gue yang bonyok!"
"Iya juga, sih." Hana merenung. "Tapi ya tetep aja seenggaknya lo bantuin, b**o!"
"Iya. Gue bantuin do'a."
Hana menghela napas panjang. Ini Yudha sama sekali tidak peduli apa ya sama nasib temennya sendiri? Sepupu malahan.
"Gue mau liat dia nih di lapang. Lo ikut kaga?"
"Ngapain, sih, Na? Lo sekolah belom sehari, jangan bikin masalah."
"Yaudah kalau gak mau ikut. Gue ke sana sendiri!" Hana beranjak, bicara dengan Yudha mah sampai perang dunia ke-10 juga gak akan beres. Kalau udah mager, ya udah gitu tuh manusia satu. Mengesalkan jiwa dan raga Hana.
"Woy! Jangan ikut-ikutan, awas Na!"
Masa bodoh. Mau pura-pura budeg saja Hana sekarang.
Hana berjalan semakin cepat saat samar-samar terdengar keributan. Semakin lama semakin riuh. Dan, daebak!
Ricuh di tengah lapangan!
"Eh, Kak Alan itu woy kedempet!" teriak Hana sambil maju menerobos sekumpulan masa. Tadi sebelum Hana ke kelas ia cuma dengar recok-recok antara Jian dan Alan setelah pertandingan bola. Tapi hanya sebatas omongan, tidak ada kontak fisik. Dan sekarang?
Kaget Hana saat melihat Alan ditonjok perutnya oleh salah seorang siswa. Teman-temannya Alan sepertinya berusaha membela sehingga terjadi baku hantam antar dua kubu. Yang membuat Hana panik, Alan sepertinya sedang dalam keadaan tidak baik sehingga ia tidak begitu melawan. Sungguh bukan Alan yang Hana kenal.
"Kak! Kak Jun!" teriak Hana semakin kalut karena beberapa anggota Osis—entah Pramuka—menghadang langkahnya.
"Kamu mundur! Bahaya."
Ah, Yohan lagi.
"Temen aku itu, Kak! Udah mau pingsan."
"Iya, kita lagi berusaha ngamanin. Mending kamu mundur dulu."
"Nggak." Hana bersikukuh. Dan saat melihat Alan ambruk, sontak Hana berteriak histeris, membuat yang lain juga jadi sama paniknya.
"Minggir, Kak!" Sekuat tenaga, Hana mendorong Yohan dan menerobos bagian keamanan siswa.
Beruntung Alan dibawa lebih ke pinggir sementara yang lain masih ricuh dan berusaha dilerai oleh siswa lain.
"Kak! Bangun." Hana menepuk-nepuk wajah Alan yang amat pucat.
"Tolong bukain dua kancing kemeja teratasnya!"
Hana hanya bisa menuruti perintah siswa di sampingnya yang dengan sigap membuka sepatu dan kaus kaki Alan.
"Astaga. Ini kenapa malah makin ribut bukannya tenang?" komentar siswa lelaki itu sambil menggaruk belakang kepalanya yang Hana yakini tidak gatal. "Yang ngambil tandu ke mana lagi?" gerutunya kembali. Membuka ponsel dan mengetik sesuatu di sana, sepertinya mengirim pesan.
"Kak, ini Kak Alan gak bakalan kenapa-napa?" Hana berusaha mengipasi wajah Alan meski hanya dengan telapak tangannya.
"Iya. Anggota saya lagi di jalan ngambil tandu. Kamu sebaiknya ke pinggir. Lihat, mereka semakin maju ke sini!"
"Tapi—"
"Dan, cepetan bawa dia keluar lapang! Keadaan nggak terkendali." Juno tiba-tiba datang dengan beberapa lebam di wajah dan pakaian yang tidak rapi.
"Kamu? Ngapain juga di sini? Cepetan minggir!"
"Tapi, Kak Alan?" Hana menatap Juno dan Alan bergantian.
"Tandu udah datang!" ujar Juno, menunjuk dua siswa yang berlari ke arah mereka dengan sebuah tandu biru.
"Ya! Tio, panggil semua Sekbid Keamanan ke sini!" teriak Juno, melambai-lambaikan tangannya pada Tio yang barusan berlarian menuju lapang.
Hana kebingungan. Mau keluar lapang lewat mana? Orang sisi kanan, kirinya saat ini jaring semua. Pintu keluar yang hanya muat untuk lima orang juga terhalang. Depan? penuh dengan siswa yang ribut. Belakang? Jaring juga, tidak ada jalan keluar. Bahkan yang bawa tandu pun sama bingungnya dengan keadaan tak terkendali ini.
Hana berdiri dan lekas mundur saat gerombolan siswa yang susah untuk dilerai tersebut semakin mengarah padanya. Heran juga Hana, apa mereka tidak berniat berhenti saja? Wajah mereka benar-benar sudah tak berbentuk. Lebam sana-sini.
Hana hampir mengeluarkan jeritannya saat melihat Bian dan Haikal yang masih saling memukul semakin mundur dan mundur ke arah Hana. Dan saat Bian hampir jatuh ke arahnya, Hana menjerit sambil memejamkan mata.
Tapi, tidak ada beban apapun yang menimpa padanya.
Tapi suara gedebuk yang keras sempat membuat Hana panik. Hana membuka mata dan menemukan Juno yang terengah-engah di depannya. Dia berdiri di depan Hana, merentangkan tangan, dan menahan Bian agar tidak ambruk ke Hana melainkan ke punggungnya dan jatuh ke bawah.
"Keluar! Cepet keluar dari sini!" pekik Juno.
"Tapi, gimana? Jalan keluarnya—"
Jantung Hana tiba-tiba ingin melompat dari dadanya saat Juno... Juno meraih bahunya dan membawa Hana pergi. Sesekali Juno mengeratkan tubuh Hana ke tubuhnya sambil menutupi wajah Hana dengan tangannya saat melewati para pericuh.
Saat itulah Hana menyadari, bahwa suhu tubuh Juno sangat panas. Yang tadinya ingin baper, berubah panik. Hana lupa bahwa Juno sedang sakit!
***
"Kak, badan Kakak panas," gumam Hana begitu keluar dari kerumunan bersama Juno. Jangan lupakan tatapan para siswi yang hampir semua menatap iri pada Hana.
Namun dengan tanpa ekspresi Juno hanya berkata, "Sana ke kelas, jangan bikin tambah susah!" Setelah itu, Juno kembali ke lapangan, membuat Hana menghela napas kerasnya.
"Dia manusia atau apaan, sih?" gerutu Hana. Tapi tetap, hati kecilnya masih khawatir.
Cukup lama kekacauan terjadi, sampai akhirnya Pak Bagas, Pak Stevan, Pak El, dan Pak Daniel turun tangan menangani situasi tersebut.
Semua langsung membubarkan diri, kecuali para biang keladi. Lagian Pak Seongwoo diem-diem kalau marah serem, lebih serem dari Pak Daeyeol. Bucin Pak El saja yang biasa berkerumun menikmati pemandangan indah senyuman Pak dimple El langsung pada ngacir. Biasanya suka kayak laron gitu yang mengelilingi Pak El. Nasib guru matematika ganteng, membuyarkan konsentrasi.
Hana sendiri sekarang sedang berjalan menuju UKS. Barusan sudah mengabari Yudha bahwa Moon Juno cedera dan dibawa Tim PMR ke sana.
Memasuki UKS, ternyata lumayan banyak orang. Tidak terlalu banyak, sih, hanya lima orang termasuk Esa dan Dikta, teman sekelasnya yang entah sedang apa ada di sana.
"Kak, Kak Alan belum sadar?" tanya Hana ke Dani yang tengah merapikan kotak P3K di depan Esa.
Dani menggeleng kecil. "Belum. Tolong tungguin, ya. Saya harus ke lapang lagi, anggota saya sedikit."
"Eh, tapi---"
"Gak apa-apa. Nanti kalau mau daftar jadi anggota PMR nggak akan saya seleksi. Oke?" Dani tersenyum dan segera keluar.
Hana cengo. Siapa yang mau daftar jadi anggota PMR? Hana? Yang benar saja! Lihat darah aja udah kayak lihat hantu Hana mah.
Tapi ya udah, terserah Dani saja. Untung cakep, batin Hana.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Hana, padahal sudah tahu Esa sikutnya sedang diobati oleh salah seorang anggota PMR perempuan. Dikta juga. "Jatoh? Atau ikutan kelahi tadi?"
"Ikutan misahin, tapi malah kita yang bonyok," balas Esa yang terdengar seperti gerutuan kesal.
"Sabar, ya. Gue juga kaget tadi, bisa sebar-bar itu keadaan."
"Apa kabar badan gue? Kayak remuk seluruh tulang, astaga. Entar kalau dah pulang siap-siap diomelin Mama karena seragam kotor sama muka bengkak," Dikta ikut menggerutu.
Hana menoleh, sedikit menahan kekehannya begitu melihat lebam di wajah Dikta. Lagian anak kecil ngapain juga ikut-ikutan ke lapang? Dasar.
Sedang asik ngobrol, tiba-tiba pintu toilet yang berada tepat di seberang ruang UKS ---toilet khusus untuk yang sakit dan anggota PMR yang tugas, terbuka. Juno keluar dari sana. Wajahnya basah, sepertinya baru saja cuci muka.
Hana buru-buru keluar, nyamperin Juno yang tengah memakai kembali almamaternya.
"Kak!" panggil Hana. Seperti biasa, Juno tidak menyahut.
"Makasih buat yang tadi, Kak," lanjut Hana begitu sampai di hadapan Juno. Juno menatapnya sebentar kemudian mengangguk kecil. Matanya terlihat kurang fokus. "O ya, Kakak udah baikan? Tadi panas banget badannya, Kak. Bubur sama obat yang aku kasih udah diminum belum?"
"Buburnya saya makan, obatnya saya buang," jawab Juno. Akhirnya bicara juga.
But, apa tadi? Dibuang?
"Loh? Kok---"
"Saya gak mau masuk rumah sakit gara-gara minum obat itu," balas Juno, lantas berlalu dari hadapan Hana yang masih lemot tak bisa mencerna ucapan Juno.
Lain kali Hana harus membeli pengencer otak agar ia tidak banyak loading seperti ini.
Sementara itu, Juno berjalan seraya berusaha mengulum senyum melihat raut wajah Hana yang teramat bodoh barusan. Dia memang sudah lemot dari zigot, pikir Juno. Entah bagaimana dia menyimak pelajaran di kelas.
***
Juno berdiri di sisi lapangan sambil memperhatikan siswa perusuh tadi yang tengah push-up di tengah lapangan yang panas. Ah, tangan mereka pasti memerah mengingat lapangan utama adalah lapangan terbuka sehingga sinar Mentari secara langsung mengenai lapangan dan terasnya.
Pak Stevan yang berdiri di hadapan mereka terlihat tak mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali tatapan tajamnya yang sesekali membuat mereka merinding.
"Jangan gerak! Tetap di posisi setengah!" Akhirnya suara Pak Stevan terdengar.
Juno geleng-geleng kepala melihat Jian dan Haikal yang ikut di barisan mereka. Ah, setelah ini juga Juno akan terseret. Ya, bagaimana mungkin ia tidak terseret kalau anggota terpentingnya ada di tengah sana?
Juno hanya tinggal menyiapkan mental dibas oleh guru-guru. Karena kesalahan anggota, adalah kesalahan milik ketua. Tapi kesalahan ketua, hanyalah milik ketua.
Jadi, tidak enak ya jadi Ketua Osis atau pun ketua-ketua lainnya? Ya memang. Kelihatannya saja jadi Raja, taunya yang paling dibabukan dan paling berat menanggung tanggung jawab. Ketua salah, yang dihukum hanya ketua. Anggota salah, ketua juga ikut dihukum.
***