Episode 13

1349 Words
"Harusnya kamu, tuh, hati-hati. Lihat, ini luka semua. Apa gak bakal dimarah sama Mama entar?" Chacha pembersih luka-luka Tio dengan kapas yang sudah ia bubuhi cairan infus di UKS. "Namanya juga cowok, Cha. Lagi pula juga ini luka-luka karena kebaikan, bukan karena aku kesulitan," balas Tio datar sambil sesekali meringis saat Chacha pulih lukanya. Tanpa mereka sadari, percakapan mereka berdua disimak oleh dua orang asing yang tengah gegoleran acak di ruang sebelah. Ya, panggil saja yang kedua adalah Esa dan Dikta. Awalnya barusan mereka lagi tiduran karena disuruh istirahat sama Kak Rena, salah satu anggota PMR. Terus mereka mendengar ada orang masuk, dan saat tahu itu adalah Tio dan Chacha, entah mengapa mereka jadi penasaran. Ya, kan, rumor yang tersebar di kalangan anak kelas 10 Chacha itu pacarnya Felix. Tapi kok malah sama Tio? Mana bicaranya ehem banget lagi. Maka muncullah jiwa kepo yang akan melanjutkan ke jiwa ghibah Esa dan Dikta. "Mereka pacaran?" bisik Dikta. "Selingkuh, bujank! Kan, Kak Chacha punya pacar. Pacaran itu kalau dua-duanya terus teken," balas Esa, balik berbisik sok bijak. Ini posisi dua peran itu sambil tengkurep saling bersisian. Dikta sesekali menggesek hidungnya yang gatal, mungkin ada upil bergelantungan. Hehe, nggak deng. "Oh, gitu." Dengan polosnya Dikta hanya mengangguk-angguk. "Terus Kak Felix masuk gimana, ya?" "Kalau ketahuan ya marah lah." "Marah?" "Iya. Makanya punya pacar biar gak b**o-b**o amat soal kayak gini," ucap Esa yang diakhiri cengiran lebarnya melihat Dikta merengut. Harap dimaklum, Dikta masih terlalu polos nan sucih. "Alasan Kak Jian sama sama Kak Alan berantem juga tuh, gegara cewek." "Ebuset." Esa buru-buru menutup tirai saat Tio menoleh ke arah mereka yang sedari tadi ngintip sambil membuka sedikit tirai. "Kalian ngeghibah kurang kenceng, Dek adek." Esa seketika memejamkan suara dramatis saat suara Tio terdengar. Ketangkap basah, dong, mereka. Kirain Tio tidak akan mendengarkan, taunya ... *** "Mending lo pulang aja, Jun. Gak bakal bener, deh, serius." Yohan menepuk pundak Juno yang baru keluar dari ruangan Pak Jimmy. "Iya. Tolong bilang, aku harus mengumpulkan padus," balas Juno, mengangguk kecil dan berjalan meninggalkan Yohan yang tampak cantik dari awal. Juno sampai di kelasnya. Kebetulan sudah kosong karena murid sudah dipulangkan setengah jam yang lalu. Temukan jaketnya di dalam loker, Juno diam. Ada jaket yang diberikan Hana juga. Akhirnya Juno memakai jaketnya dan memasukkan jaket Yudha yang dipinjamkan oleh Hana ke dalam tas. Di luar, gerimis turun. Buru-buru Juno menuju parkiran, dan menaiki motor matic-nya. Takut hujan keburu deras. "Juno! Pulang?" Eh? Juno menoleh dan menemukan gadis berkucir kuda dengan senyuman puasnya. Rena. "Iya. Ada kumpulan PMR?" tanya Juno, mengundang berbasa-basi. "Gak ada," balas Rena. " Juno mengangguk. "Boleh nebeng, gak? Papa aku gak bisa antar jemput soalnya. Udah mau ujan juga," Rena sedikit memelas. "Sama Yohan aja, mau? Biar gue masukin dia entar," ucap Juno. Sungguh tidak disukai sarkas. Tapi ya memang Juno jarang tersenyum dan kalimat yang ia ucapkan mewakili halus jadi wajah Rena sedikit murung. "Memang kamu lagi buru-buru, ya?" Rena tersenyum meringis saat Juno mengangguki mengucapkannya. "Ya udah, gak apa-apa kalau lagi buru-buru. Nanti biar aku minta kakak aku aja yang naik." "Yaudah. Aku pulang, ya!" pamit Juno, pindah mesin motornya dan lolos dari pertemuan Rena. Padahal, Rena mau banget Juno nanya apa dia baik-baik saja atau tidak. Ya, minimal nanya, "Yakin gak mau dianter Yohan?" Juno menutup kaca helmnya saat hujan turun lebih lebat dari sebelumnya. Ah, andai tidak mengobrol dengan Rena, mungkin Juno akan lebih cepat sampai tidak mengalami hujan. Dari kejauhan, Juno melihat sosok yang tak asing untuknya. "Hana?" bisik Juno tiba-tiba. Ia memelankan kecepatan motornya dan berputar ke belakang saat yakin bahwa siswi yang terdiam di depan minimarket dekat sekolah tersebut adalah Hana. "Naik!" katakanlah Juno saat sampai di depan Hana yang berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Pasti kedinginan mengingat angin berembus kencang. "Loh, Kak?" "Cepetan naik! Nanyanya entar lagi!" ketus Juno. Juno menggeleng pelan saat Hana hanya menatapnya dengan tatapan i***t itu lagi. "Mau pulang nggak?" tegur Juno keras, membuat Hana yang sadar dari keterpukauannya. "E-eh, iya." Hana buru-buru naik ke motor Juno. Meski samar, Juno sebenarnya tersenyum. "Di dalem tas aku ada jaket yang kamu kasih. Pake." "Denger enggak?" Juno barusan menoleh karena lagi-lagi Hana tidak menyahut. "Iya iya. Gak usah teriak-teriak, Kak." gerutu Hana. Juno hanya mengembuskan napas panjangnya. Dalam hati menggerutu, gak akan teriak-teriak jika kamu-nya gak telmi. "Udah?" Tanya Juno sesaat setelahnya. "Resletingnya pasang, dingin. Aku mau ngebut." "Iya, udah. Tapi ---" "Saya cuma gak mau dibilang sebagai tetangga yang sombong dan Ketua Osis yang tidak bertanggung jawab karena menerima anggotanya pulang sendiri di saat hujan gini. Jangan salah paham," ujar Juno panjang lebar. Hana yang tadinya tersenyum lebar, berubah jadi mencebik sebal karena ucapan Juno mematahkan ekspektasinya. Ah, terserah lah. Juno mengangkat sedikit sudut bibirnya saat melihat perubahan wajah Hana dari balik kaca spion. Kemudian berikutnya melaju motornya dengan kecepatan tinggi, membuat Hana terus-menerus beristighfar takut sampai rumah hanya tinggal nama. *** "Kak, pelan-pelan! Ini ujan kena wajah sakit tau!" teriak Hana agar Juno bisa mendengar ucapannya. Sebenarnya alasan Hana berbicara demikian bukan hanya soal air hujan yang berkaitan dengan kerasnya menimbulkan rasa sakit, tapi agak ngeri juga karena badan kecilnya hampir mau terbang sedari tadi. Ya kebayang aja, sih, Hana yang badannya mungil, dibonceng dengan kecepatan motor di atas rata-rata, dan sialnya Hana tidak berjuang karena takut kena semprot Juno. Tau sendiri Juno galak. "Mau berenti dulu?" balas Juno, balik berteriak. "Kita masih jauh soalnya!" "Terserah Kakak!" Beberapa saat kemudian Juno memelankan motornya dan berhenti di depan barisan ruko yang berjejer di pinggir jalan. Hana segera turun dan berteduh di depan sebuah toko boneka. "Kamu gak bawa jas hujan?" tanya Juno saat menghampiri Hana dan lekas berdiri di sisinya. "Nggak. Lagian baru pertama kali lagi turun hujan," ucap Hana sedikit mengkerutkan bibirnya. "Tapi tas kamu aman?" Juno melirik tas Hana yang dipeluk gadis itu. "Tahan udara, Kak." Hana menoleh sambil sedikit mendongak memandang Juno dan tersenyum. Tapi tenang, karena detik berikutnya, Hana begitu syok bisa menatap mata Juno dari jarak sangat dekat. Lebih syok lagi saat tatapan mereka bertemu secara langsung. Astaga, Mama. Ini jantung Hana kenapa kayak lompat-lompat kayak udara? Hana nggak kena serangan jantung, kan? Hana meringis, menepuk-nepuk dadanya yang begitu sakit kencangnya debaran di dalam sana. Cukup lama berbicara tanpa bicara pun dimulai. Hanya suara gemericik air hujan yang mengisi kesunyian, sesekali suara mesin dari motor dan mobil juga ikut meramaikan. "Kayaknya ujan gak bakal reda," gumam Juno kemudian. "Gak apa-apa kalau ujan-ujanan?" Tanya Juno. "Gak apa-apa. Tapi jangan ngebut," balas Hana. Hana meringis saat Juno menatapnya penuh tanya. "Badan aku kecil, Kak. Lama-lama aku terbang karena anginnya kenceng!" lanjut Hana terkekeh garing. Ya, menertawakan dirinya sendiri. "Kalau takut terbang yaegang." Juno menggeleng pelan lantas berjalan cepat menuju motornya. Juno tidak sadar hanya karena kalimatnya barusan mengundang reaksi aneh pada diri Hana. Reaksi ingin menjerit histeris, menangis terharu, dan ingin tersenyum seharian dengan gelembung-gelembung cinta yang beterbangan di hati Hana. Dengan senyuman lebar yang mencoba Hana kulum, Hana berlari mencoba Juno. Juno setuju motor siap untuk melaju, tapi Hana masih bingung harus memegang ke Juno seperti apa dan di bagian mana. Hana mengembalikan telunjuknya di punggung Juno yang lebar, kemudian menyimpan telapak dibuka di bahu Juno. "Yakin mau memegang kayak gitu?" Juno menatap Hana dari balik kaca spion. "T-terus gimana?" Hana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ini Juno kenapa lagi bikin Hana salah tingkah terus? :( "Pegangan di pinggang saya." Tetap, sedatar itu nada bicara Juno, tapi Hana meleleh mendengarnya. Dengan gerakan lambat, Hana pindah pindah ke Juno. Saking lambatnya gerakan tersebut sampai membuat greget Juno dibuatnya. Hana berjengit saat Juno tiba tiba tiba dan dikumpulkan di pinggangnya. "Keadaannya mendesak, jadi santai saja," gumam Juno. Gimana bisa santai kalau jantung gue dibikin maraton sejak tadi? Gerutu Hana dalam hati. Tapi Hana tetap senang. Sebaliknya senang. Namun Hana hanya bisa terdiam seribu bahasa hingga motor Juno melaju di jalanan yang lengang karena hujan deras. Suara gemericik air dan mesin motor berpadu, buat melodi indah di telinga Hana yang sesekali menunduk, buatkan gulungan di belakang belakang lebar Juno agar hujan tak perlu bicara. Jika Hana memiliki kekuatan super, Hana hanya ingin membatalkan waktu saat ini. Hana ingin terus berada di dekat Juno, menikmati hebat bahagianya menjadi satu-satunya orang yang pantas di sisinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD