Episode 17

743 Words
"Serius, gue cuma ngasih nomor lo sama Ahreum doang, anak kelas sebelas, Jun. Suer, gak ngasih nomor lo ke yang lain!" ucap Yohan polos saat Juno meminta pertanggungjawaban-nya atas keadaan ponsel Juno yang kehilangan kedamaian untuk ke sekian kalinya lagi. "Ya, tetep aja ujung-ujungnya entar nyebar. Banyak pesan spam gini semaleman. Padahal baru ganti nomor dua hari lalu," Juno menggerutu kesal. "Ya, sori." Dengan tampang tanpa dosanya Yohan nyengir, sedangkan Juno mendengkus kesal. "Kalau gue ganti nomor gue gak bakalan ngasih tau lo lagi. Ember!" "Yah... Heh, kalau entar ada urusan gimana coba?" Yohan menatap Juno dengan mata kucing dan bibir yang mempout. Juno melengos, membuka buku catatannya lantas menjawab datar, "Datang aja ke rumah." "Ck. Lo mah..." Juno mulai mencatat, entah mencatat apa Yohan mah tidak ingin tahu. "Soal artikel yang dipajang di mading kemarin itu, gimana?" Juno bertanya, sedang mata tetap fokus pada catatannya. "Gimana apanya? Jelas Hana dalam masalah besar," gumam Yohan sebal. Juno menghentikan aktivitas menulisnya dan menatap Yohan. "Maksud gue, yang nyebar artikel sama foto itu udah ketemu belom?" tanyanya kasar. Yohan mengangkat kedua alisnya dan meletakkan tangan di meja, menatap Juno menelisik. "Lo gak khawatir kalau Hana kenapa-napa?" tanya Yohan. "Emang dia bakal kenapa?" Juno bertanya datar. Saat itu pula Yohan mengembuskan napasnya keras-keras. "Serah lo dah. Yang pasti jaga jarak dulu sama Hana kayak apa yang gue bilang kemarin." Setelah itu Yohan berlalu pergi, menghampiri Jaehoon yang tengah berkumpul dengan anak-anak lain di belakang. Tidak ada penjelasan apapun lagi, atau sekadar menjawab pertanyaan Juno perihal si pelaku. Ck, kebiasaan. *** Bel istirahat sudah berbunyi sejak dua menit lalu, dan Hana masih lesehan lemas di bangkunya. Seperti tidak ada gairah hidup. Efek patah hati memang sebesar itu. "Na, gak ke kantin?" tanya Saila menghampirinya. "Gak tau. Gak mood." Hana tersenyum meringis. "Karena masalah kemaren itu?" Saila tanya. Hana mengangkat bahu tak tahu. "Lo mau ke kantin? Gak ada temen nih gue," kata Hana. Memang ya, di kelas Hana cuma dekat dengan laki-laki sedangkan perempuannya? Yang sering menyapa Hana pun paling Saila, yang lainnya seolah menganggap Hana tak ada. Yudha pernah bilang, mereka hanya iri ke Hana karena Hana mudah bergaul dengan siswa-siswa populer di kelas seperti halnya Esa, Dikta, bahkan Raka, sedangkan mereka tidak bisa. Hana bahkan mendapat perhatian Yohan, dan fatalnya kemarin dengan Juno, yang membuat Hana semakin tidak disukai, bukan hanya oleh siswi di kelasnya tapi mungkin juga oleh seluruh siswi di sekolah ini. "Ayok. Gue juga gak ada temen. Raka udah pergi duluan," balas Saila. Bisa dibilang, Saila sebelas dua belas lah sama Hana. Gadis berbadan mungil itu juga akrab dengan banyak laki-laki. Tapi, yah... Saila itu sedikit tomboy. Jadi mungkin, dia tidak separah Hana dalam hal dibenci. Apalagi, Saila merupakan adik dari Ares, yang lumayan disegani di sekolah. "Na, gak ada yang gangguin lo, kan?" Saila bertanya ketika keduanya berjalan menuju kantin. "Ganggu?" Hana menoleh bingung. "Sejauh ini, sih, gak ada." "Syukurlah. Gue harap artikel kemarin gak mempengaruhi apa-apa. Gue cuma takut." "Gue harap juga gitu. Lagian...," Hana menggantung ucapannya, sehingga memancing reaksi penasaran Saila. "Lagian apa?" Saila bertanya penasaran. "Gak jadi, hehe." Saila berdesis sebal dan duduk di salah satu kursi di bangku kosong yang tersisa. Kantin memang benar-benar ramai. Di setiap bangku bergerombol siswa-siswi mulai dari siswa-siswi kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas. "Kiw!" "Dekel! Cantik." Saila merotasikan bola matanya dengan malas saat segerombolan siswa kelas 11 yang kebetulan duduk tak begitu jauh dengan bangku mereka begitu mengganggu dengan siulan dan panggilan-panggilan menyebalkannya. Sedangkan Hana hanya memilih tak menanggapi. "Gak pesen makan dulu?" tanya Hana karena heran Saila langsung mengajaknya duduk tanpa lebih dulu memesan makan. "Gue udah pesen ke Esa sama Raka. Santai aja." Saila tersenyum kecil, mengeluarkan ponselnya dan mulai tenggelam dalam dunianya sendiri. Sedangkan Hana, ia hanya tersenyum simpul. Sedikit iri pada Saila. Keliatannya gadis itu sangat santai bahkan jika ia ada di posisi Hana kali ini. Ponsel di sakunya tiba-tiba membunyikan notifikasi. Segera Hana mengeluarkannya, dan tiba-tiba... tubuh Hana terasa melemas. Lebih lemas dari sebelumnya. Maafin buat tadi pagi. Aku beneran lupa. Dan ya, nanti aku antar pulang aja. Gimana? Tahu apa yang Hana pikirkan saat itu apa? Hana berpikir tentang, sebenarnya Juno itu laki-laki macam apa? Dia seolah menarik Hana ketika Hana mencoba menjauh, tetapi ketika Hana kembali mendekat, ia mengulurnya lagi. Apa menurut Juno, Hana hanya mainan? Gak apa-apa. Gak usah, aku ngga langsung pulang hari ini. Usai mengetikkan pesan balasan itu, Hana mematikan data seluler dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Boleh tidak, sih, Hana egois kali ini? Hana hanya ingin Juno mengerti, bahwa perasaannya bukan untuk main-main. Hana lebih baik mencintai dalam diam, tanpa balasan dan tanpa diberi harapan. Daripada seperti ini? Diberi harapan, tetapi kosong. Hanya harapan tanpa kepastian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD