Sahabat Lama

2006 Words
Drrr… drrr… Suara getaran ponsel Kayla terdengar samar di tengah malam. Ponsel itu masih berada di genggamannya. Ia membuka mata perlahan, menatap layar yang menyala dengan nomor tak dikenal. Tanpa peduli, Kayla mendesah malas, menjauhkan ponselnya, lalu menarik selimut hingga menutupi kepala. Ia kembali terlelap. Keesokan paginya, matahari sudah tinggi ketika Kayla akhirnya membuka mata. Ia menatap langit-langit kamar, merasa aneh—ini pertama kalinya ia bangun siang. Biasanya jam segini ia sudah duduk di depan komputer, tenggelam dalam pekerjaan. Day one: pengangguran, tulisnya di status. Kayla terkekeh miris sebelum membuka notifikasi ponselnya. Ratusan pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi layar—dari bosnya, dari Zevan, dari teman-temannya. “Kayla, kenapa kamu keluar mendadak?!” suara bosnya langsung terdengar keras ketika ia mengangkat telepon. “Maaf, Pak. Ada masalah pribadi,” jawab Kayla pelan. “Masuk kerja lagi, Kayla. Saya butuh kamu!” “Saya udah di Bandung, Pak,” balas Kayla cepat. “Ya Tuhan… gimana ini, kerjaan numpuk semua!” keluh bosnya frustrasi. Kayla menarik napas panjang. “Ya gimana ya, Pak. Saya udah nggak bisa kerja di sana lagi. Maaf, ya.” Hening sejenak. “Ya sudah,” akhirnya sang bos berkata pasrah. Tak lama kemudian, notifikasi transfer masuk. Gaji terakhir dan pesangon—bayaran tiga tahun kerja keras. “Lumayan buat bekal cari kerja di sini,” gumam Kayla, meletakkan ponsel dan beranjak dari kasur. Ia menuju kamar mandi, mencuci muka, lalu mengganti pakaian. Setelah itu ia duduk di sofa sambil ngemil, memandangi ruang tamu yang sepi. “Ibu ke mana ya? Sepi amat rumah,” gumamnya. Pintu depan tiba-tiba terbuka. Arka, adiknya, masuk dengan seragam kerja yang belum dilepas. “Tumben di rumah, Kak,” sapa Arka sambil menaruh helm. “Keluar gue,” jawab Kayla santai, mata tetap tertuju ke TV. “Lah, kenapa? Gajinya kan gede,” tanya Arka penasaran. “Pacar gue selingkuh. Malas gue ketemu dia.” Arka langsung berdiri tegak. “Si Zevan selingkuh?! Gue hajar dia!” “Udah diem, jauh juga lo. Lagian lo kenapa nggak kerja?” tanya Kayla sambil memelototi snack-nya. “Shift malam.” “Ouh, gitu…” “Hm, ibu mana?” tanya Kayla lagi. “Ke pasar. Tadi gue anter, tapi disuruh pulang duluan,” jawab Arka. “Gue jemput ibu aja deh,” ucap Kayla, meraih kunci motor. “Nggak bakal ketemu, banyak orang!” teriak Arka dari dalam rumah. Tapi Kayla sudah keburu melajukan motornya. Angin siang menerpa wajahnya saat ia melaju ke pasar. Sesampainya di sana, ia memarkir motor dan menatap sekeliling. Hiruk-pikuk pasar pagi membuatnya sedikit pusing. Beberapa pedagang laki-laki bersiul iseng. “Neng, sini neng! Belanja dulu, neng!” Kayla hanya menegakkan punggungnya, pura-pura tidak dengar. Ia berjalan cepat sambil menelusuri deretan lapak. Pandangannya tertuju pada jajanan kesukaannya—kue basah warna-warni yang menggoda. “Ih, pengin banget…,” gumamnya pelan. Tapi begitu merogoh saku, ia sadar tak membawa uang. “Yah, nggak jadi deh…” Belum sempat ia berbalik, seseorang menyapanya. “Kayla, ya?” suara itu familiar. Kayla menoleh. “Robi?” senyumnya langsung merekah. “Wah, lama banget nggak ketemu! Apa kabar lo, Bi?” “Baik,” jawab Robi sambil tersenyum. “Kok lo di pasar?” tanya Kayla heran. “Anter nyokap,” jawabnya sambil menunjuk seorang ibu paruh baya di dekat lapak sayur. “Oh iya, Bu Wida!” Kayla langsung turun dan menyalami wanita itu. “Kayla makin cantik, ya,” ujar Bu Wida sambil menepuk bahu Kayla. “Ibu bisa aja,” balas Kayla malu-malu. “Tadi ibu kamu di belakang, deh,” kata Bu Wida lagi. “Oh gitu, makasih ya, Bu.” Tak lama kemudian, Bu Ami—ibunya Kayla—muncul dari keramaian sambil membawa kantong belanjaan. “Kok kamu yang jemput, La?” tanya Bu Ami heran. “Mau aja, Bu. Tadi lihat kue itu tapi nggak bawa uang,” jawab Kayla sambil menunjuk ke arah lapak kue. “Lah, ibu juga udah abis uang buat belanja,” sahut Bu Ami sambil tertawa kecil. “Mau apa lo, gue beliin,” kata Robi tiba-tiba, menarik tangan Kayla ringan. “Malu, ih!” protes Kayla, pipinya memerah. “Ah, udah lama juga kita kenal. Cuma lo sibuk kerja, jadi lupa sama gue,” goda Robi sambil terkekeh. Kayla akhirnya menyerah. “Yaudah, gue mau ini… ini… sama ini,” katanya menunjuk beberapa kue favoritnya. “Borong aja, gue traktir,” ujar Robi sambil mengeluarkan uang. “Makasih banget, Bi,” ucap Kayla tulus sambil tersenyum. “Oh iya, nanti ada reuni, lo mau ikut nggak?” tanya Robi. “Anjir, malu ah. Gue belum jadi apa-apa,” gumam Kayla sambil memainkan plastik kue. “Alah, banyak juga yang masih nganggur, belum nikah malah,” canda Robi disertai tawa kecil. Kayla ikut tertawa. “Yaudah deh, insyaallah gue ikut.” “Yaudah, gue jalan dulu. Nyokap nunggu,” ucap Robi sambil melambaikan tangan. Kayla tersenyum melihatnya pergi. “Masih sama aja, Bi…” gumamnya pelan, lalu berbalik menghampiri ibunya. Mereka pun berjalan pulang dari pasar, diiringi matahari pagi yang mulai naik dan wangi kue yang memenuhi plastik Kayla. “Bu, mau masak apa?” tanya Kayla sambil menaruh kantong belanjaan ibunya di dapur. “Masak kangkung sama ayam goreng,” jawab Bu Ami sambil mengeluarkan bahan dari plastik. “Kayla bantuin ya,” ucap Kayla, langsung memetik daun kangkung dengan cekatan. “Boleh. Eh, kamu kenapa keluar kerja, La?” tanya Bu Ami pelan. Kayla terdiam. Tangannya berhenti sejenak, matanya menerawang kosong. Ada rasa perih yang tiba-tiba menyayat d**a. “Zevan, Bu… dia selingkuh. Sama Laras,” ucap Kayla lirih. “Apa?!” Bu Ami membelalak, wajahnya tegang. “Nggak nyangka, loh. Mereka tuh di depan kamu kelihatannya baik banget!” “Makanya, Bu…” Kayla tersenyum miris, nadanya getir. Bu Ami menghela napas panjang, lalu menatap anaknya dalam-dalam. “Sudah, kamu udah ambil jalan yang benar. Jangan pernah balik lagi ke Zevan, apapun alasannya. Ibu capek lihat kamu terus tersakiti, dulu putus, balik lagi, putus lagi. Sekarang udah ya, nurut sama Ibu.” Kayla hanya bisa menunduk. “Iya, Bu…” ucapnya pasrah. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara air kran. “Si Robi kerja di mana sekarang, Bu?” tanya Kayla, mencoba mengganti topik. “Di kantor apa ya… Ibu lupa,” jawab Bu Ami sambil tertawa kecil. “Kamu ketemu lagi sama teman-teman kamu, kan? Udah lama mereka nanyain kamu, Kay.” “Iya, gara-gara si Zevan itu aku jadi jauh dari mereka,” gumam Kayla. “Nah, udah makan nanti temuin lagi. Siapa tahu ada info lowongan kerja,” ucap Bu Ami semangat. “Iya, Bu…” Kayla tersenyum tipis sambil merapikan potongan kangkung. Setelah itu, dengan gerakan cekatan ia mengiris bawang, tomat, dan bumbu lainnya. Aroma tumisan mulai memenuhi dapur. “Pinter banget anak Ibu masak. Jodohnya siapa ya?” goda Bu Ami sambil tersenyum nakal. “Belum tahu ah, belum kepikiran,” jawab Kayla sambil mencicipi tumis kangkungnya. Aroma masakan itu sampai ke kamar Arka yang masih tertidur pulas. Ia menggeliat, lalu bangun karena perutnya keroncongan. “Sini makan,” tawar Kayla sambil menyendok nasi ke piring. Arka duduk di meja makan, matanya masih setengah merem. “Gue tuh lupa mau ngomong apa,” ucapnya sambil menguap. “Apa?” tanya Kayla tanpa menoleh. “Si Robi nanyain lo mulu.” Kayla menoleh sekilas. “Udah ketemu tadi.” “Mau apa dia?” “Ada reuni katanya.” Bu Ami langsung nimbrung dari dapur. “Nah, cocok tuh. Siapa tahu ketemu cinta pertama!” “Ah, apaan sih, Bu,” ujar Kayla sambil tersenyum malu. “Kapan?” tanya Arka penasaran. “Nggak tahu, belum ada info di grup,” jawab Kayla santai sambil makan. “Udah makan, lo cuci piring,” kata Kayla ke Arka. “Ogah! Masa gue cuci piring?” “Belajar dong, cowok juga harus bisa,” balas Kayla sambil menatap tajam. “Enggak ah, masih ngantuk. Bye!” Arka berdiri, lalu kabur ke kamar atas. “Najis lo!” teriak Kayla kesal. “Udah, sama Ibu aja sini,” kata Bu Ami sambil tertawa kecil membereskan meja makan. Kayla menghela napas, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian, ia keluar dengan rambut terikat dan pakaian rapi. “Bu, Kayla ke butik Tari ya,” katanya sambil memakai sepatu. “Sama siapa?” tanya Bu Ami dari dapur. “Robi, udah nunggu,” jawabnya cepat sambil keluar rumah. Robi sudah menunggu di depan pagar dengan motor NMAX hitamnya. “Mana helm lo?” tanya Robi. “Ada, tenang,” jawab Kayla sambil mengambil helm di motornya. “Pacar lo nggak bakal ngambek nih?” tanya Robi iseng. “Gue jomblo,” jawabnya santai. “Masa ganteng gini jomblo?” goda Kayla sambil terkekeh. “Serius,” balas Robi sambil tersenyum. “Nggak percaya gue,” ucap Kayla sambil menatap ke depan. “Ya udah,” jawab Robi cuek, lalu memutar gas, melajukan motornya sedikit lebih cepat. Beberapa menit kemudian mereka tiba di butik. Tari, Anya, dan Sasa langsung berteriak heboh. “Kaylaaaaa!” “Hay!” Kayla tersenyum lebar dan memeluk mereka satu per satu. “Sama gue nggak dipeluk, Kay?” tanya Robi pura-pura cemberut. “Gue peluk sekarang deh,” jawab Kayla sambil memeluk Robi cepat. “Duduk, Kay,” ujar Tari sambil mengambilkan minuman. “Apa kabar kalian?” tanya Kayla. “Kita mah baik. Lo yang ngilang tiga tahun gara-gara pacar lo tuh!” kata Sasa ketus tapi dengan tawa. “Iya, parah banget gue waktu itu,” jawab Kayla sambil menyesap jusnya. “Davin mana, Sa?” tanya Kayla. “Kerja. Nanti ke sini jemput gue,” jawab Sasa. “Oh, gitu.” “Lo keluar kerja, Kay?” tanya Anya. “Iya. Pengangguran gue sekarang,” ucap Kayla santai sambil bersandar di sofa. Robi tiba-tiba nyeletuk, “Kita nikah aja yuk, Kay.” “Ogah! Lo mah teman dari orok, tahu sendiri masa ingusan lo dulu kayak apa,” ucap Kayla sambil ngakak. “Yee, tapi sekarang gue ganteng, kan?” balas Robi sambil berkedip jahil. Kayla tersenyum getir. “Nggak tau ah, males gue mikirin cowok. Semua cowok sama aja, gila.” “Eh, jangan disamain dong, gue beda,” kata Robi sambil terkekeh. Kayla mengangkat alis. “Iya, iya…” “Mau cari kerja ke mana, Kay?” tanya Sasa. “Nggak tahu. Masih males. Tadi juga kalau Robi nggak ngajak, gue nggak bakal keluar rumah.” Robi menatap Kayla. “Di kantor tempat gue kerja ada lowongan, mau nggak?” “Kantor apa?” “Properti.” “Lah, gue nggak ngerti begituan, Bi.” “Nanti juga ngerti. Bagian sekretaris aja, gajinya lumayan. Nggak sebesar di Jakarta sih, tapi stabil.” Kayla berpikir sejenak. “Tar dulu deh.” “Kapan reuni?” tanya Kayla mengalihkan pembicaraan. “Dua minggu lagi,” jawab Anya. “Di mana?” “Di hotel, ballroom-nya,” jawab Sasa. “Datang ya, Kay,” ucap Tari. “Siap,” jawab Kayla. “Sama gue, ya,” kata Robi cepat. “Lo mepet banget sama Kayla,” celetuk Anya sambil melempar kacang ke arah Robi. “Kesayangan gue ini,” ujar Robi sambil merangkul bahu Kayla. Kayla hanya tertawa kecil, tapi diam-diam ia merasa nyaman. Pelukan itu terasa familiar… hangat… tenang. “Main yuk,” ajak Kayla tiba-tiba. “Kemana?” tanya Tari sambil menghembuskan asap rokok. “Mau nonton.” “Gue bentar lagi ada klien,” jawab Tari. “Gue juga ada janji,” sahut Anya. “Gue nunggu Davin,” tambah Sasa. “Yah…” Kayla mengerucutkan bibir. “Yaudah, sama gue aja,” kata Robi cepat. “Traktir ya,” balas Kayla. “Siap, Bos!” jawab Robi sambil berdiri. “Langsung, nih?” tanya Tari. “Iya, nanti gue main lagi ke sini,” kata Kayla sambil tersenyum. “Hati-hati!” seru Anya dan Sasa bersamaan. Sore itu, Kayla pergi bersama Robi menuju mall. Angin sore mengibaskan rambutnya, sementara senyum di wajah Robi tak pernah hilang sejak mereka berangkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD