Kanika di bawa ke UGD pukul 4 pagi. Mama yang histeris saat Kanika pingsan tadi, sekarang hanya bisa memeluk anaknya di kursi belakang sambil terus memgangi tangan Kanika yang mulai dingin. Ada apa dengan putrinya ini? Sebelumnya Kanika tidak pernah seperti ini, pingsan saja rasanya tidak pernah. Tapi ini kenapa bisa sampai seperti ini?
Jalanan sedang sepi-sepinya, Bhima langsung memacu mobil menuju KMC dengan tidak sabaran hingga berhenti di UGD hanya dalam 15 menit. Papa juga Bian yang ikut langsung turun dari dalam mobil. Bian langsung menggendong Kanika dan pindah ke brankarnya. Mama cemas, takut, gemetar. Ada apa dengan Kani? Beliau hanya bisa terdiam namun air matanya tak kunjung surut saat netranya melihat Kanika di dalam UGD sedang di tangani oleh para sejawatnya.
Papa berusaha menenangkan Istrinya dan meyakinkan semua yang buruk takkan terjadi. "Everything will be okay," gumamnya memeluk Mama.
"I'm scared." lirihnya.
"She's fine. Believe me."
Lelaki kembar di depan Mama dan Papa tidak bisa diam barang sedetik saja. Keduanya sibuk mondar-mandir setelah selesai mengurus semua administrasi. Tercetak jelas gurat kekhawatiran begitu melihat adiknya masih tak sadarkan diri sampai sekarang sedang di tangani di UGD.
"Bhima?" panggil seseorang.
"Eh, lo bro." sahutnya begitu mengenali siapa yang menyapanya.
"Tumben di sini? Siapa yang sakit?"
"Kanika. Dia pingsan tadi di rumah." sahut Bhima seolah lupa dengan siapa ia berbicara. Padahal kemarin sore mereka baru saja berjumpa.
"Hah? Sakit apa?"
Bhima menggeleng. "Tiba-tiba black out gitu pas sahur tadi. Bahkan dia belum sempat makan sahur."
"Astagfirullah," gumam Genta.
Tak lama, dokter jaga UGD keluar dari dalam, Mama dan Papa langsung menghampiri. "Dok, gimana Kani?" tanya Mama masih bergetar.
"Sejauh ini saya curiga ada yang tidak beres dengan pencernaannya, apalagi dengan ususnya. Nanti ketika sadar, baru di lakukan anamnesis menyeluruh dengan internist*" jelas dr. Reza pada Mama dan Papa.
"Jadi harus opname dok?" sahut Papa.
Dr. Reza mengangguk. "Agar semuanya terjawab, jadi setelah ini akan saya serahkan pada dr. Cindy dan akan di visite pagi nanti."
Mama nampak pasrah. Sepertinya beliau akan menginap hari ini di rumah sakit menemani Kanika. "Ya nggak apa-apa, dok. Terimakasih," ucap Mama.
"Baik, kalau begitu saya permisi, setelah ini pasien akan dipindah ke ruang rawatnya." pamitnya kembali ke dalam UGD.
Genta yang menyaksikan semua yang ada di hadapannya hanya bisa terpaku dan diam. Rasanya bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal yang kemarin sudah ia sampaikan pada Bhima. Genta juga yakin bahwa sebelum ini Bhima sudah menyampaikan niatnya pada kedua orang tuanya. Itu masalah nanti, yang penting sekarang Kanika sadar dan bisa tahu apa sakitnya. Genta memberanikan diri mendekat ke arah Mama dan Papa, lalu menyapa mereka.
"Assalamualaikum, om, tante." ucapnya.
"Wa'alaikumsalam. Eh, kamu nak Genta." sahut Mama, Genta lalu menyalami Mama dan Papa bergantian. "Kamu lagi shift malam? Udah sahur?"
"Iya tante, baru aja selesai operasi tadi sebelum sahur. Alhamdulillah udah tante."
Mama hanya tersenyum saja mendengarkan jawaban Genta. Mata Mama sudah bengkak, ia lelah ingin istirahat. Genta juga masih mengobrol dengan Bhima terkait kondisi Kani.
"Nanti pagi gue tengokin ke kamarnya deh." putus Genta.
"Iya bro. Pelan-pelan aja ya, sorry nggak bisa dalam waktu dekat ini."
Genta mengangguk lalu pamitan pada semuanya karena adzan shubuh sudah berkumandang di masjid rumah sakit. Mama diam-diam memperhatikan Genta dari jauh yang berjalan lurus keluar area UGD. Mama memang tidak begitu dekat dengan Genta, tapi beliau tahu bahwa Genta adalah anak yang baik. Sepertinya keputusan untuk memperbolehkan Genta dekat dengan Kanika tidak ada salahnya.
❤️❤️❤️❤️❤️
Kanika sudah di pindah ke ruang rawatnya, ia masih terpejam dengan infus yang sudah tertancap di punggung tangannya. Mama masih menungguinya di samping, Papa, Bian dan Bhima pulang, nanti mereka akan mampir lagi.
Dr. Cindy masuk bersama Suster yang mendampinginya.
"Dr. Cindy," sapa Mama lalu menjabat tangan sejawatnya.
"Masih belum bangun juga dok?"
"Belum. Kayaknya ini memang parah banget, dok. Kanika belum pernah seperti ini sebelumnya." jelas Mama, dr. Cindy geleng-geleng.
Suster yang bersama dr. Cindy sigap langsung mengecek tekanan darah Kani yang masih belum siuman hingga sepagi ini padahal obat-obatan sudah masuk.
"Berapa tekanan darahnya?" tanya dr. Cindy begitu Suster selesai mengecek tekanan darah.
"110/100 dok," sahutnya.
Dr. Cindy segera mengecek bagian d**a hingga ke perut dengan serius. Saat memeriksa perut bagian kanan, dr. Cindy dengan serius mendengar bising usus yang terdengar. Sepertinya dugannya benar. Tak lama kemudian Kanika siuman. Matanya terbuka perlahan, mencoba mengumpulkan fokusnya dan melihat sekelilingnya. Ia tahu sekarang ada di mana karena bau ruangan yang sungguh familiar di hidungnya.
"Kanika?" panggil dr. Cindy, lalu mengecek refleks mata Kanika. Kanika hanya menatapnya, ia tahu, setelah ini akan ada anamnesis lalu Mama akan tahu Kanika makan apa kemarin malam hingga ia berakhir di sini sekarang.
Ada sedikit kelegaan di mata Mama begitu melihat Kanika bangun dari pingsannya. Beliau masih diam saja, ia takkan mengintervensi dr. Cindy.
"Dok, saya boleh pulang kapan?" tanya Kanika lemas.
Dr. Cindy tersenyum. "Nanti, ketika sudah ada tindakan. Saya curiga ada masalah di usus kamu, saya juga mau tanya kemarin malam saat buka puasa kamu makan apa ya?" tanyanya penasaran.
Kanika terdiam begitu mendengar pertanyaan dr. Cindy. Ia takut, kalau tidak jujur pasti akan menimbulkan kecurigaan yang mendalam pada dokter yang menangani juga pada Mama yang sejak tadi masih nampak cemas.
"Engh, anu dok, engh itu." Kanika menggantung kalimatnya. Dr. Cindy menatap seolah menunggu jawaban pastinya.
Kanika bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan sesuatu apalagi jika terdesak seperti ini. Di tatap oleh dua dokter sekaligus yang tak lain salah satunya adalah sang Mama.
"Kemarin saya buka puasa di luar sama temen-temen poli dok, terus mereka ngajak saya makan mie yang pedes-pedes itu." cicitnya masih bisa terdengar oleh tiga orang dalam ruangan ini.
Mama hanya bisa menyilangkan kedua tangannya, dr. Cindy juga hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. "Terus semalam itu yang saya ingat saya merasa perut bagian kanan saya sakit banget dok. Sebelumnya emang udah perih-perih tapi saya nggak pedulikan." jelas Kanika pasrah, terserahlah setelah ini Mama boleh marah padanya.
Pemicunya adalah saat buka puasa dengan langsung menyantap mie-mie pedas yang levelnya bisa ratusan cabai. Entah Kanika memakan dengan berapa banyak cabai hingga bisa membuat dirinya pingsan begitu sahur tiba.
"Oke. Setelah ini petugas lab akan ambil sampel darah untuk di cek keseluruhan. Nanti setelah hasilnya keluar saya ke sini lagi,"
Kanika hanya diam saja, bahkan sepertinya ia sudah tidak mendengarkan omongan dr. Cindy dan soal sakit perut bagian kanan sebelum ini, Kanika memang pernah mengalaminya namun sengaja ia tak pernah memberi tahu Mama dan Papa soal ini. Tapi sekarang akhirnya ketahuan juga dan semakin parah.
Dr. Cindy dan Suster yang bersamanya pamit keluar. Tak berapa lama kemudian ada petugas lab yang masuk akan mengambil sampel darah Kanika.
❤️❤️❤️❤️❤️
Hasil lab sudah keluar, dengan hasil yang seperti dr. Cindy sudah duga sebelumnya. Apendicitis. Kanika hanya pasrah saja karena harus menjalani operasi setelah ini. Aliya yang mendengar sang Adik ada di ruang rawat langsung naik ke atas saat baru saja sampai di ruang praktiknya. Mama memang lupa mengabari Aliya karena terlalu panik hingga lupa yang lain-lain
"Kok bisa gini sih, mam? Sampai harus operasi?" geram Aliya.
"Adikmu tuh nggak ada kapok makan mie pedes-pedes itu. Udah tahu puasa, eh temen polinya ngajakin makan mie." sahut Mama.
Aliya menatap Kanika yang tersenyum kikuk karena tahu ia sebenarnya salah di sini. "Kapok? Enak mie nya?" tanya Aliya.
"Kapok, mbak. Mie nya mah enak, sakit perutnya nggak." sahut Kanika menunduk.
"Yawes, pokoknya setelah ini nggak ada ya kayak gini lagi. Cukup sekali, makan mie boleh, berlebihan jangan."
Kanika cemberut kemudian. "Iya iya,"
Sementara di ruangan lain, Genta sedang membaca berkas medical record milik seseorang yang sangat ingin ia kenal saat ini. Keningnya berkerut saat membaca berkas di depannya ini. Setelah dzuhur ini Genta seperti biasa akan menemani dr. Agung untuk menjadi asistennya dalam tindakan kali ini.
"Recovery soon, Alma." gumamnya lalu menutup berkas di hadapannya.
Genta segera mengganti bajunya dengan seragam hijau--teman setianya setiap hari selama ini. Ia tahu pasti sekarang Kanika juga sedang bersiap-siap pindah ke ruang operasi. Saat Genta masuk, entah mengapa perasaannya jadi tak karuan. Tarik nafas, embuskan, ia harus professional, jangan libatkan perasaan dulu dalam hal ini. Yang penting sekarang Kanika harus sembuh.
Kanika sudah setengah teler saat Genta masuk dan berdiri berhadapan dengan dr. Agung.
"Let's start. I'll do the best for you." batin Genta saat melihat Kanika sudah tertidur akibat obat bius yang sudah bekerja dengan sempurna.
❤️❤️❤️❤️❤️
Operasi berjalan baik, Kanika masih terpengaruh obat bius jadi ia belum kembali membuka matanya. Di ruang rawat hanya ada Mama dan Papa, Bhima dan Bian masih berada di tempat kerjanya masing-masing. Genta melihat dari balik kaca di pintu ruang rawat Kanika. Ia masih dengan seragam hijaunya hendak masuk ke dalam dan membawakan Mama Papa makanan untuk buka puasa nanti.
"Assalamualaikum," ucapnya begitu membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam." jawab Mama dan Papa.
"Eh, nak Genta. Ayo duduk," ujar Mama mempersilakan Genta duduk di sofa.
Genta tersenyum. "Iya tante, om." seperti sebelumnya, ia langsung menyalami keduanya bergantian.
"Kamu udah selesai shift?" tanya Papa.
"Udah, om. Oiya, tante, om ini ada makanan buat nanti buka puasa." ujarnya sambil menyodorkan beberapa makanan yang di pesannya tadi lewat aplikasi ojek online.
"Lho, repot-repot. Terimakasih ya," ucap Mama.
"Nggak repot kok tante." jawabnya tersenyum lalu melirik ke arah bed, Kanika masih tidur.
"Kira-kira Kanika masih lama nggak ya sadarnya, Gen?" tanya Papa.
"Harusnya sih udah ya, om. Tapi nggak apa-apa, biar dia istirahat dulu."
Papa hanya mengangguk paham mendengar jawaban Genta. Sesekali juga Papa memperhatikan lelaki di depannya ini, ketakutan yang sama masih tetap menghantuinya tapi itu bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah Kanika sembuh dan bisa pulih seperti sedia kala. Tanpa ada yang menyadari, Kanika membuka matanya lagi. Raut wajahnya nampak menunjukkan rasa perih karena luka bekas operasi yang masih basah.
"Mama," panggilnya pelan. Mama langsung mendekat ke arah Kanika dan mencium keningnya.
"Haus, ma." pintanya, Kanika belum menyadari bahwa Genta ada di sofa bersama Papa.
"Ini sayang." Mama menyodorkan gelas dan mengarahkan sedotan ke mulut Kanika.
"Udah, mam. Makasi," Kanika mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, walaupun perutnya masih terasa nyeri ia berusaha tak menunjukkan di depan Mama dan Papa.
Begitu netranya bertemu pandang dengan Genta yang duduk di dekat Papa. Ia sempat terdiam sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Genta baru saja akan tersenyum.
"Sabar Genta, ada waktunya." batinnya lagi.
Tak lama kemudian, Genta pamitan pada Mama dan Papa. Ia juga butuh istirahat sekarang dan menangkan jantungnya yang berdetak tak karuan saat mata indah itu memandangnya sekilas.