Tiga
Aku menatap Tante Vira dengan perasaan kagum, dia sedang menyiapkan kursi tambahan di rumahnya. Tangannya begitu cekatan mengambil piring, sendok, dan menuangkan makanan untukku. Sedangkan Om Bayu--yang baru banget pulang kerja-- sedang menelpon salah satu guruku. Mengatakan bahwa aku bersama keluarganya, sedang makan dan nanti mereka akan langsung mengantarku ke hotel.
“Iya baik Bu, terima kasih. Iya, nanti sebelum jam tujuh, Nala akan kami antar. Sekali lagi terima kasih, Bu. Waalaikumsalam.” Om Bayu meletakkan ponselnya di meja makan..
“Beres,Pi?” tanya Tante Vira. Om Bayu hanya menjawab dengan acungan jempol.
“Aturan itu, kamu nginep rumah kami aja, La. Biar Kiyo yang antar kamu liburan keliling Bali, anak itu juga lagi libur kok,” kata Tante Vira, menuangkan sup ke mangkukku. “Udah?”
“Sudah Tante,” jawabku. Menarik mangkukku. Aku baru selesai mandi, lalu Tante Vira dengan heboh memasakkanku sup ayam. Katanya biar angetan dikit. Karena demi Allah, air di Bali dingin banget.
“Aturan apaan kayak gitu, Mi?” Kiyo memprotes, mulai menyendok nasinya.
“Aturan dari Mami buat calon mantu.”
Lah, kan jadi canggung lagi aku.
“Itu sih cuma pinginnya Mami doang.”
“Kayak kamu gak pingin aja, ngajak Nala jalan-jalan berdua,” ledek Tante Vira. Sungguh, kalau ada mantel tak terlihatnya Harry Potter, aku mau pinjem untuk menyembunyikan pipiku yang merona. Agar tidak dikira pakai sabun cuci muka yang glowing-glowing itu. Eh maksudnya biar ga keliatan merona malunya.
“Udah ah, lihat itu pipi Nala merah itu.” Om Bayu menengahi. Kan? Gini nih resiko punya kulit putih, kalau merona gini keliatan banget,.
****
Karena tadi aku udah mampir ke rumah Tante Vira, jadi Tante Vira gak jadi ke hotel malam ini. Hanya Kiyo yang masih stay di sini setelah setengah jam yang lalu mengantarku kembali ke hotel.
Karena sungguh ya, kalau Kiyo tadi langsung pulang, yang ada hotel ini udah aku robohin. Ini sudah lebih dari setengah delapan malam, namun rombongan sekolahku belum dateng. Ya Allah, ini pada ke mana?
“Kamu gak harus nungguin aku, Kiyo,” kataku, sungguh tidak sinkron dengan hatiku yang sebenarnya ingin dia tetap di sini. Please jangan pulang.
Kiyo menoleh, tersenyum tipis. “Terus aku jadi dosa karena ngelanggar janjiku sama Mami .”
Ah iya, janji ‘Jangan pulang sebelum Nala bener-bener ketemu temennya’
Semburat itu muncul lagi di pipi. Merona itu lagi.
“Tapi emang, kamu gak ada acara? Kan kamunya jadi gabut gitu, duduk doang di sini sama aku.”
“Duduk berdua sama cewek cantik masa dikira gabut sih?” gumam Kiyo. Sungguh pelan sebenernya, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Karena memang lobi hotel sedang sepi, dan kami duduk sebelahan.
“Aku gak ada acara kok, La. Udah pipinya biasa aja, gak usah dimerah-merahin.”
“Apa sih, orang udah biasa aja, kok.”
Kiyo terkekeh. Membuatku melempar pandang pada jalanan. “Itu kayaknya bis rombongan sekolahku deh,” tunjukku ke arah beberapa bis yang mulai memasuki area parkiran hotel.
“Yah, kok udah dateng aja sih, padahal masih mau ngajakin kamu jalan,” gumam Kiyo lagi. Dan sekali lagi aku mendengarnya.
Tapi kali ini aku diam, menatap Najwa dan Nadin yang berlari kecil ke arahku. Aku bangkit dari duduk, melambaikan tangan pada Nadin dan Najwa.
“Itu temen kamu?” tanya Kiyo, dia sudah berdiri menjulang di depanku. Menghalangi pandanganku dari duo N ini.
“Iya, itu yang kata kamu tadi jahat banget ninggalin aku.” Aku menatapnya. Dia... kok ganteng ya, kalau rambut messy-nya sembunyi di balik hoodie.
Kiyo menoleh ke belakang, pada duo N, hanya untuk satu detik, lalu..
“Yaudah, aku pulang dulu kalau gitu,” ucapnya,
Dan meski aku merasa kehilangan yang aneh ini, namun aku mengangguk. “Iya, kalau udah sampai rumah, chat aku, ya?”
Astaghfirullah, aku meminta apa barusan?
Kiyo tersenyum, memamerkan giginya. “Iya, ntar aku chat kamu.”
Kiyo mengulas senyum tipis, kemudian melangkah meninggalkanku. Mengambil jalan lain untuk menuju parkiran. Aku menatap Kiyo hingga punggung Kiyo menghilang di balik belokan dari lobi ke arah parkiran.
“Woi, kabur aja!” sentak Najwa.
“Kalian berdua yang kabur ninggalin aku.”
“Maaf, La. Panik banget tadi.” Nadin membela diri. “Itu tadi siapa?”
“Itu, anaknya temen Bundaku.”
“Oh si Kiyo-kiyoan itu?”
“Kiyo-kiyoan? Kiyo beneran, Wa.” Aku balik menyentak Najwa.
“Ngapain tadi dia?” Nadin kepo.
“Ya nganter aku kan?”
“Ih tau. Maksudnya ngapain tadi Kiyo berdiri di depan kamu? Nyium kamu ya?”
“Apasih, Din. Mana ada. IHH!!” kataku kesal, menatap kedua temanku dengan kesal. Lantas menghentakkan kaki meninggalkan mereka, berjalan menuju kamar hotel.
“La, tunggu, ya Allah!!”
****
Akyo : Aku udah sampai rumah, La. Kamu udah sampai mana?
Senyum sialan ini mendadak menghiasi wajahku. Aku buru-buru mengetik balasan untuk pesan Kiyo.
Nala : Baru aja sampai kamar. Yaudah kamu tidur gih. Tadi kan gak jadi tidur.
Akyo : Kamu juga. Sleep tight, La. See you :)
Nala: Kamu juga, Kiyo :)
Aku menghela napas, lalu aku menekan opsi home pada hpku. Mencolokkan headshet dan mulai melihat tutorial editing video di channel Youtube.
“La,” panggil Nadin. Cewek berambut keriting itu sudah lompat dan duduk di sampingku.
“Apa?”
“Kiyo sama Adam-adam ini, ganteng siapa?”
Aku melepas satu headshetku. Menaikkan satu alis. “Gak tau,” jawabku.
“Dih, kok gak tau, kan tadi udah ketemu.” Najwa menambahi.
“Ya gak tau, Wa. Aku gak bisa banding-bandingin cowok ini ganteng mana.”
“Cih.. tadi aja gak kasih ijin kita buat kenalan.”
“Dih, dia yang nyelonong pergi gitu aja.” Aku membela diri.
“Gini deh, si Ibunya Adam, sama Ibunya Kiyo, cantik mana?” tanya Nadin.
Aku berpikir. Mengingat wajah buk Wiwin, ibunya Mas Adam. Lalu ke Tante Vira, Mami nya Kiyo. “Kalau kurus sih, masih kurusan buk Wiwin. Kal--”
“Nadin nanya wajah, La. Persetan deh sama bentuk badan.” Najwa mengomel.
“Gak usah bawa-bawa setan bisa gak sih, Wa. Merinding nih,” omel Nadin.
“Kalau Tante Vira gak pakai kacamata, kayaknya cantik Tante Vira. Kan kamu tau Wa, matanya buk Wiwin itu agak juling gitu. Jadi keliatan agak aneh.”
“Oh... kalau Bapaknya Adam, sama Bapaknya Kiyo?” Najwa bertaya.
“Gila, ganteng Bapaknya Kiyo lah.” Aku berseru lantang. “k*****t, aku udah kayak abege penyuka bapak-bapak ganteng aja, ya?”
“Emberetos.” Nadin menimpali.
“Jadi Fix, ganteng Kiyo ke mana-mana kali ya?” Najwa menarik kesimpulan.
Dan ucapan Najwa menggangguku. Membuatku jadi membandingkan Kiyo dengan Mas Adam. Ya Allah, kenapa pakai lupa sama wajahnya Mas Adam sih. Mana gak punya fotonya Mas Adam lagi.
Aku memejamkan mata. Berusaha membayangkan wajah cowok yang selama lima belas tahun lamanya kukagumi. Adam.. Dih, kok jadi gak bisa bayangin wajah Mas Adam sih. Biasanya juga kalau namanya disebut, aku merem, tuh wajah udah nongol aja. Duh gimana sih wajah mas Adam?
Aku menghembuskan napas. Lalu malah senyum itu yang terbayang. Senyum Kiyo tadi di lobi.
“IH KENAPA JADI Kiyo SIH!!” pekikku.
“Apanya sih, La yang jadi Kiyo?” Suara Nadin sedikit naik.
Aku menyengir. “Apasih,Din. Udah ah.”
****
Ini adalah hari terakhir liburanku di Bali, kata Guruku, nanti kami akan ke Sanur, terus ke mana lagi gitu tadi lupa gak dengerin, pokok tujuan terakhir kami ke Bedugul. Lalu kembali lagi ke Jawa.
Aku akui, memang kurang begitu fokus hari ini. Sejak tadi Subuh hpku bunyi, saat aku lihat, itu pesan dari Kiyo yang mengingatkanku untuk shalat Subuh. Berlanjut dengan aku dan Kiyo bertukar pesan hingga saat ini. Tidak ada pembahasan berarti dari chat kami.
Tapi entah mengapa chat random ini, sungguh menghiburku. Membuatku tersenyum tanpa alasan yang jelas. Lalu obrolan berlanjut dengan Kiyo yang menanyakan soal rencanaku setelah pulang ke Jawa. Jadi aku memberanikan diri bertanya tentang rencana Kiyo setelah lulus SMA. Kiyo bilang, dia akan mengambil kuliah jurusan Ilmu Komputer di Fakultas Sains di universitas Udayana.
Kiyo ingin jadi ahli IT. Sama sepertiku yang juga tertarik di dunia IT. Bedanya aku lebih tertarik di bidang Broadcasting dan Desain digital. Sama seperti Bundaku yang dulu sekolah mengambil jurusan Multimedia.
“La, ngelamun aja sih.” Najwa menyenggol bahuku. “Jadi foto gak nih?”
“Eh jadi dong.” Aku memasukkan hpku ke saku jaket, mengabaikan suara notifikasi dari aplikasi w******p.
“Satu, dua, tiga, ganti gaya,” perintah Nadin.
Setelah beberapa kali mengambil foto, aku kembali berfokus pada hpku. Ya apalagi. Pada pesan-pesan yang dikirimkan Kiyo.
Akyo : Lagi di mana La?
Kan, aku bilang apa? Pesan dari Kiyo selalu membuatku tersenyum. Aku menghela napas, mengambil gambar kaki telanjangku di atas pasir dan sapuan ombak pantai Sanur. Mengirimkan pesan itu pada Kiyo.
Nala : Guess where my feet stand.
Akyo : Sanur?
Nala : Ih kok tau sih.
Akyo : Aku orang Bali, La. Kalau lupa.
Nala : Tapi kan kamu bukan dukun.
Akyo : Tapi kan aku tetep orang Bali yang pernah ke pantai sanur :)
Akyo : Masih lama gak di sana?
Nala : Gak tau. Menurut kamu yang orang bali, aku akan lama gak disini?
Akyo : Kalau di sanur sih, aku gak tau La. Tapi kalau di hatiku, ayaknya kamu akan lama ada di sana :)
Aku langsung melompat karena balasan Kiyo barusan. Demi Lovato yang cantik banget, ini anak pandai sekali bikin meleleh hati anak orang.
Aku mengabaikan pandangan aneh dari Nadin dan Najwa. Pun dengan pertanyaan mereka mengapa aku loncat kayak kodok.
Nala : Gombalnya kurang basah.
Akyo : Yaiyalah gak basah, gak hujan, La. Tapi aku serius, gak gombal.
Nala : Kenapa serius?
Akyo : Karena aku tertarik sama kamu.
Nala : Cuma tertarik aja?
Akyo : Kalau aku bilang, aku suka sama kamu sejak pertama kali kita ketemu, sejak kita jabatan tangan dan kenalan, kamu emang bakal percaya?
Subhanallah, Bunda! Perut Nala kok rasanya geli gini. Pipi Nala rasanya panas.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Menahan panas di pipi karena merona.
Ya Allah, apa ini rasanya baper?
Kenapa rasanya kayak ada kalajengking yang berterbangan di dalam perut?
Geli ya Allah.
****