Empat
Dulu, pas aku masuk SMP, aku pernah merasa senang hanya karena Mas Adam mau nebengin aku berangkat sekolah. Dia bilang ingin sekalian ambil ijazahnya. Dag-dig-dug karena dibonceng Mas Adam, sungguh terasa sampai sakit dadaku menahan rasa ingin loncat.
Tapi chat Kiyo tadi, menimbulkan suatu debaran baru. Rasa dag-dig-dug yang beda. Dan dadaku gak sakit karena aku berhasil meloncat tadi. Bahkan, rasa dag-dig-dug itu masih terasa sampai sekarang. Sampai aku sudah setengah perjalanan menuju pelabuhan. Aku masih belum membalas pesan Kiyo. Dan rupanya Kiyo juga tidak mengirim pesan lagi.
Sampai saat aku turun dari Bis, untuk masuk ke kapal, suara notifikasi chat kembali mengalihkan fokusku. Dia mengirimiku pesan. Pesan yang membuat jantungku kembali berpacu.
Akyo : Kalau kamu ngira aku bercanda, gak pa-pa. Tapi aku serius, La.
Akyo : The moment you said your name, I know, I already fall for you.
Akyo : Iya aku udah jatuh kepada sesuatu bernama cinta pada Nala. Bahkan saat aku dan kamu, belum begitu mengenal jauh.
Kan? Kakiku langsung lemas seperti jelly. Aku pasti akan langsung terjungkal begitu saja di tangga, kalau saja Nadin dan Najwa tidak menarikku untuk segera mengambil duduk di kabin kapal. Sebuah pesan kembali tertera di layar.
Akyo : Merah lagi deh tuh pipi. Tapi aku gak becanda, cuma mau ngingetin lagi.
Sambil gemetaran, tapi aku berhasil mengetik.
Nala : Aku gak tau, Kiyo. Tapi sekalipun akal sehatku belum mengakui, aku juga merasakan hal yang sama.
Akyo : :) Miss you already.
Dan napasku sungguh tertahan. Bersamaan dengan semburat merah di pipiku yang semakin kentara. Juga hembusan angin yang terasa saat kapal ini mulai melaju. Getaran baru di d**a ini, sungguh membuatku kembali berpikir dan mengingat. Apakah getaran ini juga yang aku rasakan untuk Mas Adam dulu?
****
Lima bulan kemudian
“Daaahh Bunda!!”
Aku melambaikan tangan pada Bundaku di dalam mobil Ayah. Juga pada Ace yang kepalanya keluar dari jendela mobil. Yang mana langsung ditarik masuk oleh Bundaku. Mobil Ayahku melaju, meninggalkanku yang masih berdiri di depan sebuh rumah kecil bernama kos-kosan. Ya, hari ini adalah hari di mana akhirnya aku boleh ngekos. Hari di mana akhirnya, Ayah dan Bunda memberiku kepercayaan untuk hidup mandiri. Hari yang sangat aku tunggu.
Dulu saat SMK, aku sempat ingin kost, karena jarak SMK ke rumahku jauh. Dan aku belum boleh naik motor. Juga aku tidak bisa. Bahkan sampai sekarang aku sudah 18 tahun lebih, Ayahku tidak memberikuijin aku naik motor. Dan aku cukup penurut.
Jadi, dulu, Ayahku memilih membeli rumah kecil di dekat sekolah. Membiarkan rumah peninggalan Yangti, untuk ditempati dua Bulekku yang kembar. Sementara Yangti dan Yangkung pindah ke Batam, menemani Budheku.
Rumah kecil itu akhirnya kami tinggali sampai saat ini. Rumah sederhana yang terkadang membuatku lupa pada rasa yang belasan tahun masih tertinggal di dalam d**a. Iya rasa pada mas Adam yang kini mulai tak terasa.
Aku menghela napas. Berbalik, membuka pintu ruma kosku, lalu menggiring sepeda yang baru dibelikan Ayah untukku, berangkat ke kampus. Padahal jalan kaki ke kampus, juga tidak sampai sepuluh menit. FYI, ini sepeda pertamaku. Aku memandang penuh kagum pada sepeda gunung dengan warna hijau tua itu. Sepeda itu aku masukkan ke dalam rumah kos.
Sebuah rumah yang tidak terlalu besar, isinya hanya satu kamar tidur plus kamar mandi, lalu dapur dan ruang tamu yang menyatu tanpasekat. Tapi ini yang paling aman dan nyaman. Dengan Ibu kosnya yang adalah adik dari Bundaku. Bulek Dinda, dia dan suaminya yang mengelola kos-kosan Islami ini.
Aku merebahkan tubuhku ke kursi empuk yang disediakan Bulek Dinda khusus untuk kamarku. Kembali menatap sepeda itu. Lalu tanganku bergerak membidik sepeda itu dengan kamera di hp. Menjadikannya story di WA ku.
Ah, aku melupakan Kiyo.
Baru aku akan mencari chatku dengannya, tapi si ganteng itu sudah lebih dulu mengirim pesan
Akyo : Duileh, yang mau kurus. pakai beli sepeda segala.
Aku melotot. Mengumpat sambil menegakkan dudukku. Mulai mengetik balasan untuk pesan Kiyo.
Nala : Aku.GAK.Gendut, Kiyo.
Akyo : Lah yang bilang kamu gendut siapa?
Aku mencebik. Mengabaikan pesan dari Kiyo, lalu beranjak menutup pintu rumah kos. Melangkah ke kamar mandi untuk wudhu dan shalat, karena adzan Ashar berkumandang.
Akyo : Jangan lupa empat rakaat ya, La :)
Aku tersenyum saat melihat pesan Kiyo.
****
Benar kata Bulek Dinda yang dulu sempat merasakan kuliah. Kuliah itu, cuma bajunya aja yang bebas. Tapi aturannya, ya Allah. Bejibun. Apalagi untuk mahasiswa semester satu yang baru sebulan menapakkan kaki di universitas, seperti aku ini. Apadah, isinya tugas mulu. Dulu saat awal masuk SMK, di jurusan Multimedia yang kuambil sesuai saran Bunda, sama sekali tidak ada tugas aneh-aneh. Hanya perkenalan materi kompetensi dan pengenalan pelajaran lainnya.
Aku mengambil duduk di kursi depan Nadin. Kami sedang berada di McD, sepulang ngampus. Aku dan Nadin satu kampus, hanya beda jurusan aja. Nadin mengambil manajemen, aku mengambil desain komunikasi visual. Dan ini rutinitas kami sepulang ngampus, mengerjakan apa yang ditugaskan ke kami hari ini di kafe atau restoran. Untuk numpang Wi-Fi.
Dan karena tempat biasa kami mojok sedang ramai, kami pindah ke McD. Sekalian nurutin ngidamnya Nadin ingin cokelat panas di cuaca yang sudah panas ini.
“Kok aku jadi kangen Najwa ya, Din?”
“Aku juga. Sayang banget dia gak kuliah. Eh tapi kemaren aku chat dia. Katanya dia mau pindah kerja gitu ke Surabaya, lagi ngurus surat pindah kerja. Dia katanya mau ngisi kantor cabang yang kosong. Kayaknya deket juga sama kampus kita.”
“Serius Najwa chat gitu?” Itu bisa dibilang pekikan keras.
“Iya, makanya kamu tuh, punya temen di chat juga. Chattingan aja mulu sama Kiyo. Mentang-mentang Kiyo ganteng dan kalian udah cinta-cintaan,” cibir Nadin.
“Ih, apasih, Din. Aku juga chat Najwa lah, tapi dia gak bahas soal itu.”
“Makanya tanyain.” Nadin menyesap cokelat panasnya. “Dia juga mau kost sama aku ntar.”
“Kok sama kamu, gak sama aku aja? Kost aku lebih luas.”
“Idih, mana mau dia satu kost sama kamu? Itu peraturan di kost kamu kan ketat banget, La. Kayak bajunya cabe-cabean. Gila, masih lebih ketat peraturan kos kamu kali, La.”
Aku menyengir. Iya sih, selain gak boleh pulang di atas jam 9, kost aku juga gak boleh muter musik keras-keras karena di area kostku, ada mushola kecil tempat ngaji. Juga ada tetangga kost yang punya anak bayi. Gak boleh buang sampah sembarangan, kalau sampah plastik ya ditaruh di kotak sampah plastik, daun ya di daun. Cup plastik bekas teh poci yang di dalamnya ada daun pisang bekas lemper, juga ada sendiri tempatnya.
“Tugas kamu apa, La?” tanya Nadin, saat melihatku mulai mengeluarkan laptop.
“Ada nih, resensi film horor. Masa aku suruh resensi The Conjuring 1-2, itu film jaman kapan, Din? Mana berani aku nontonnya?”
“Ya Allah kasian banget kamu. Emang film yang lain gak boleh?”
“Aku dapet yang horor. Mana gak ada yang mau dituker.”
“Browsing aja udah, kan gampang.”
“Lah menurut kamu? Ini aku buka laptop, masukkin password Wi-Fi buat apa, Din?”
“Emang dikumpulinnya kapan?”
“Masih minggu depan sih, Din.”
“NALA!” Nadin memekik keras. Menepuk lenganku. “Itu lihat itu,” tunjuk Nadin ke arah luar McD. Aku mengikuti telunjuknya.
“Apa sih?”
“Itu bukannya si Adam?”
“Adam apa?”
“Adam yang kamu taksir itu?”
“Emang kamu tau wajah Mas Adam?”
“Ih, tau, kan kapan lalu Mas Adammu ini tanding lawan Arema, di tivi ada kok.”
Aku masih celingukan seperti orang b**o mengikuti telunjuk gembulnya Nadin. “Mana sih, Din?”
“Itu yang pakai bomber Navi. Itu di depan itu loh.”
Aku mendekatkan kepalaku pada telunjuk Nadin. Udah pas bidikannya, tapi kenapa mataku belum menemukan sosok pakai bomber Navi itu?
“Mana Din?”
“Dih, itu sekar--”
“AAWHH!!” Aku memekik keras manakala cokelat panas Nadin tumpah mengenai satu tanganku yang ada di meja. Tumpahannya yang lain menjalar pada laptopku. “Nadin!!” aku memekik lagi. Mengabaikan pandangan tidak suka pengunjuk McD lain.
Aku buru-buru mengambil tisu untuk mengeringkan bagian laptopku yang terkena tumpahan cokelat. Sedangkan Nadin mengelap meja dengan jaketnya. Lah, ini anak, waras?
“Aduh maaf, La.” Nadin membantuku mengelap laptop setelah cokelat di meja bersih. “Kamu sih, nggak ngeh-ngeh sama Adam.”
“Ih aku disalahin,” kataku kesal. Masih mengeringkan laptopku.
Ya Allah, moga ini laptop gak konslet. Tugas hamba masih be-ji-bun.
****
Akyo : Laptop emang rusaknya bagian apa sih? Masih mau nyala kan tapi?
Aku menghela napas lagi. Mengetikkan balasan untuk Kiyo.
Nala : Masih mau nyala. Cuma ya itu, keyboardnya gak berfungsi. Aku kemaren sama Nadin di beliin keyboard eksternal, yang ada USB nya itu, tapi malah laptopku mati-mati terus.
Akyo : Gak support itu namanya, La. Enggak diservisin aja?
Nala : Kalau aku tau di mana servisnya, aku gak akan masih dalam mode kurang mood gini, Kiyo.
Akyo : Dih, emang tugasnya apasih?
Akyo : Harus banget segera dkerjain? Eh emang gak bisa dikerjain di hp?
Nala : Kalau hapeku ada colokan flashdisknya aku udah kerjain.
Nala : Kalau aja aku berani nonton film horror ini, aku juga gak akan gabut dan kurang mood gini, Kiyo.
Akyo : Kenapa jadi bawa-bawa film horor? Emang tugasnya apa?
Nala : Resensi film The Conjuring 1&2. dikumpulinnya lima hari lagi.
Akyo : Yelah, kirain apa. Yaudah ntar aku nonton.
Nala : Yakin nonton? Bukannya kamu gak suka nonton film genre horor?
Akyo : Yailah, dibantuin ini.
Nala : Beneran bantuin?
Akyo : Iya, Nala.
Nala : Tau gak sekarang aku pingen apa? Saking senengnya kamu bantuin.
Akyo : Cuma mau ngingetin, aku bukan dukun, kalau kamu lupa lagi.
Nala : Aku pingen breakdance!!! Yayy
Akyo : Dan aku pingen break your legs, La.
Aku mencebik. Menendang guling di depanku hingga benda empuk itu terjungkal di lantai.
Nala : Kok break your legs sih? Gak bisa jalan dong?
Akyo : Ya gak apa, kan bisa aku gendong :)
Kan? Tiap hari itu mesti gini, kalau chat sama Kiyo. Dibikin baper lagi dan lagi, dan terus dan terus. Meski awalnya chat kami random, ujung-ujungnya pasti dia gombal, meski dia ngakunya serius. Ini sudah lima bulan sejak pertama kami berjabat tangan di hotel Amoris akhir April lalu.
Itu adalah satu-satunya pertemuanku dengan Kiyo. Tapi entah mengapa getaran di hati ini masih sama. Padahal hanya karena kami saling bertukar pesan, tapi mengapa dag-dig-dugnya mengalahkan saat Kiyo dengan senang hati datang dan menjemputku di depan Electro Hell?
Aku pernah bertanya pada Bundaku, tentang perasaan kita saat sedang jatuh cinta. Lalu apa yang aku rasakan ini, seperti yang dibilang Bundaku saat Bundaku jatuh cinta sama Ayah dulu. Terus, apa artinya saat ini aku jatuh cinta sama Kiyo?
****