Api Ketiga

1116 Words
Enam Bulan Kemudian, Tahun 2025 Polisi menarik garis kuning, membatasi antara ruang publik dengan area TKP. Abu-abu hitam masih beterbangan dan tapak sepatu El basah karena cekung-cekung aspal tergenangi air, sisa upaya para warga dan damkar kala menjinakkan lidah api yang mulai mengganas sejak awal subuh. Perempuan bercelana olahraga dan kaos longgar dengan warna tidak senada itu, napasnya masih terengah, basah lepek pada rambutnya yang kini dipotong pendek model bob. Kakinya kram, hingga jatuhlah dia terduduk. Total tiga putaran, dia mengelilingi pulau ini, sejak awal pukul setengah empat pagi dan api mulai menyala pada putaran terakhir. Ini kebakaran ketiga dan kali ini menimbulkan dua korban jiwa–si kembar kecil cucu toko sembako, jadi wajar jika penduduk pulau meminta penyelidikan. “Kebakaran!” “Kebakaran lagi, kebakaran lagi!” “Air!” “Panggil pemadam!” “Masih ada orang di dalam!” “Si Kembar di dalam!” “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Orang-orang panik, berteriak, membawa ember, menarik selang, melakukan apa saja. Beberapa orang melakukan pemanggilan damkar laut melalui handy-talkie, beberapa lagi berlari ke pantai, berseru kepada laut, menerangi laut dan langit dengan cahaya senter lantas mengibarkan bendera merah besar yang menandakan adanya bahaya. El pernah menyalakan api unggun bersama Bapak, tapi, tidak pernah sebesar itu. Aroma hangus daging orang mulai tercium, sangat berbeda dengan wangi bumbu dan rempah dari ikan bakar. Yang ini membuat mual. El menepi, memuntahkan semua isi perutnya. Mungkin kesal, mungkin tak tahan lagi, El menyeka mulut, kembali berlari, bukan jogging, melainkan seperti lomba lari sendirian. Air matanya berderai-derai, terbawa angin saat dirinya terus melaju. Si kembar tidak tahu apa-apa! Sekarang, dia akan merindukan kedua anak itu setiap membeli kebutuhan di toko sembako. Api padam, ketika sinar matahari perlahan menyembul. Tepat ketika petugas damkar dan puskesmas masuk menggotong tandu untuk memungut mayat-mayat yang gosong, El berbalik, mana kuat dirinya menyaksikan Si Kembar digotong. Nanti akan ada raungan dari mereka yang kehilangan. Lalu, si kembar akan ditandu, mungkin, satu di antara mereka ada yang rahangnya mangap atau meringkuk, saking menahan panas dan sakit luar biasa saat api merenggut nyawa mereka. El bergerak ke tepi pantai yang sepi, mata bulan sabit menyipit memandang jauh ke sebuah perahu penumpang yang mengalir ke sini, bagai perahu kertas terombang-ambing di laut nan tenang. Di perahu itulah, Orion Baskara menggembungkan pipi, menahan sesuatu yang hendak muncrat dari kerongkongannya. “Keluarin saja semuanya, Mas,” saran juri mudi yang sejak tadi cengengesan bersama penumpang lain, meledek kelemahan manusia-manusia dari kota besar: mabuk laut. Bas menggeleng, mengempiskan pipi, menelan udara kosong dan mual itu masih terasa. Kedua bola mata jelalatan, mencoba mencari apa pun untuk mengalihkan perasaan tak keruan ini. Namun, di sebelahnya adalah ibu-ibu yang membawa sekarung bawang merah, sedangkan dua baris di belakang bangkunya, berjejer orang membawa keranjang ayam masing-masing, lengkap dengan ayam hidup yang berkokok-kokok dan … bau aneh apa ini? Naik lagi cairan itu ke kerongkongannya, sudah keluar kepala itu dari batas perahu lalu hampir memuntahkan semuanya ke laut, tapi, TIDAK AKAN! Bagaimana bisa seorang Orion Baskara memuntahkan isi perutnya di depan orang lain? Meski, dirinya sekarang mengenakan topi dan hoodie untuk menyembunyikan wajah, tetap saja, harga dirinya tidak boleh dibuang ke laut! HOEEEEKKKK! Selesai sudah, harkat dan martabatnya sebagai lelaki. Dia menyeka mulut, lalu menyembunyikan dirinya dalam-dalam, pura-pura tidur. Mbah-mbah di sebelahnya terkekeh-kekeh, mulutnya merah mengunyah kapur sirih. Terus memejam, Bas mengutuk dalam hati. Rasa pahit apa ini? Kok, masih mual? “Yok, sampai. Turun, yok. Yang mabok, boleh langsung minggir, jangan muntah di tengah jalan.” Bas membeliak, mata terbuka selebar-lebarnya. Padahal cuma beda berapa detik! Harusnya dirinya bisa tahan sebentar lagi! HOEEEEKKK! Bahkan, belum turun dari perahu, Bas muntah lagi. Praktis, orang-orang makin mentertawakannya. “Sudah nggak di laut, tapi masih mabuk laut. Bagaimana tho, Mas?” Di pantai, Elora Eirene menyaksikan orang-orang turun dari perahu, melewatinya dan sekilas berlalu sambil berkasak-kusuk tentang kebakaran di toko sembako. “Ada polisi.” “Kapal rumah sakit juga.” “Si kembar nggak selamat.” “Ya ampun!” El membiarkan semua berlalu, kemudian, matanya tertuju pada pria dengan topi dan hoodie yang tampak sempoyongan begitu turun dari kapal. Ketika semakin dekat dengannya dan semakin dekat, El terkesiap, menduga pria itu akan jatuh kepadanya dan … BRUK! Benar saja. Bas jatuh jongkok, karena sempoyongan dan dengkulnya lemas. “Oalah!” teriak juru mudi dari atas kapalnya, sambil berdecak-decak lalu siap berlayar lagi. El panik, membungkuk untuk memeriksa, tapi, seketika, Bas bangun hingga kepalanya membentur dagu El. DUAK! “Ah!” El mengaduh, memegangi dagunya yang seperti mau terlepas dari rahangnya. Bas berdiri, melihat El dan merasa sangat bersalah. “Maaf, maaf.” Mendelik wanita itu, penuh benci dan kesal. Dagunya merah, semerah matanya yang hampir mengeluarkan air mata saking sakitnya. Tanpa berkata-kata, apalagi memaafkan, El balas menginjak kaki Bas. “Aduh, aw aw aw!” Bas kelojotan, karena–asal tahu saja, jempol kaki adalah kelemahannya. Ingin berkata kasar, tapi dirinya juga salah. Ah! B*bi! “Tung–” Belum selesai kata-katanya untuk minta pertanggung jawaban, Bas sudah melihat punggung El berjalan menjauh dengan langkah cepat. Jeda berapa detik, sambil merunut kesialannya sepanjang pagi ini, Bas merasa familar. Perempuan itu…. “Ah, ya.” Dia bergumam-gumam sendiri. Yang di bioskop, kan? Premier film itu. Pacar Si Br*ngsek itu. * “Keluyuran malam-malam lagi?” tuduh Marwah, begitu El kelihatan batang hidungnya. Wanita itu telah menunggu di depan vila sejak tadi, gelisah karena El tidak ada di rumah, sementara kebakaran baru saja terjadi–lagi. El mengabaikannya, mendorong pagar kayu setinggi d**a yang peliturnya tak pernah luntur, karena Pak Denny membangun rumah ini dengan bahan-bahan terbaik, biaya yang tak main-main. Bukan cuma soal desain, tapi, setiap fungsi dan material pun diperhitungkan. “Sara telepon kamu, nggak?” Marwah mengikutinya masuk, bagai anak ayam kepada induk. “Sebentar lagi musim hujan. Ibu takut dia pilek. Kamu tahu, kan? Tubuhnya lemah, gampang sekali flu. Musim panas saja bisa pilek, apalagi musim hujan. Kalau dia–” “Aku ngantuk, Bu,” potong El, setelah masuk kamar, bermaksud menutup pintu sementara Marwah tertahan di ambang pintu, masih mengoceh soal Sara yang tak pernah terdengar kabar apa pun lagi. Tak sengaja, pucuk hidung ibunya terbentur pintu. Selain hidungnya jadi memerah, wanita itu pun marah–lebih karena El tidak pernah mau mendengarkannya. “Kamu tuh, ya!” Klap … klik! El merapatkan pintu, lalu memutar kunci. Marwah dengan segala emosinya yang jelek, menendang pintu dua kali, mengomel sepanjang hari. El lompat ke ranjang, telungkup, menutup bagian belakang kepalanya dengan bantal. Sejenak, dirinya nyenyak, hingga suara gedoran membuatnya terjaga. Dia terduduk kuyu, menyipitkan mata ke arah pintu. “El!” panggil Marwah. Baru saja El hendak mengabaikannya, ibunya berteriak lagi. “Anaknya Pak Denny datang. Bangun, El!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD