Setelah keluar dari ruangan sang ketua, ketiga orang itu memutuskan untuk mengadakan rapat kecil-kecilan. Mereka memilih kursi paling pojok pada lantai dasar, lalu menatap satu sama lain dengan saksama.
Kelihatannya tidak ada yang berniat ntuk buka suara, bahkan Ame juga hanya duduk sambil memerhatikan pemandangan sekitar. Mereka terus dan terus diam, sibuk dengan urusan dan pikiran masing-masing.
“Apa kalian bertiga tidak ada yang ingin bicara?”
Ame menatap ke arah Hilda, ia kemudian menghela napasnya panjang, lalu menatap dua orang yang akan menjadi partnernya. Hah … sesungguhnya ia malas berbasa-basi, apalagi kala mengingat kejadian di dalam ruangan sang ketua beberapa saat lalu.
“Baiklah, aku harap kalian bisa menjadi kelompok yang akur.” Hilda yang tidak mendapatkan tanggapan segera melangkah pergi, dan ia juga hanya bisa berharap tiga manusia itu bisa saling bekerja sama dengan baik pada saat menjalankan misi.
Ame segera berdiri, kedua tangannya bertumpu pada meja, dan iris violetnya menatap dua orang tersebut dengan jeli. “Alexius Peeter, umur dua puluh lima tahun. Salam kenal, dan mohon kerja samanya.”
Code dan Deltha yang mendengar perkenalan Ame hanya mengangguk. Kemudian Deltha menatap Code, dan meminta pria itu mengenalkan diri terlebih dahulu.
Code yang tak ingin berdebat segera berdiri, dan ia menatap Ame. “Code Frezline, umur dua puluh tiga tahun.”
Ame hanya bisa meringis di dalam hatinya. Umur pria tampan itu berada di bawahnya, dan ia merasa dirinya sudah sangat tua.
Deltha yang tak ingin membuang waktu juga segera berdiri, wanita itu menatap Ame dengan saksama. Jika boleh jujur ia sangat terpana dengan wajah tampan sekaligus cantik yang dimiliki Ame, apalagi saat bisa melihat dengan langsung iris violet yang begitu menawan hati. Ia terpanah, ia juga begitu gugup saat Ame balas menatap dirinya.
Wanita berambut hitam itu kemudian menarik napas, ia mencoba untuk mengusir rasa gugupnya. “Deltha Vrizklein, umur dua puluh empat tahun. Salam kenal, mohon kerja samanya.”
Deltha yang sudah selesai mengenalkan diri langsung saja duduk, ia melirik Code yang juga sudah duduk, lalu memerhatikan Ame yang masih berdiri. “Kenapa kau masih berdiri? Duduklah … mereka tidak akan meminta uang hanya karena kau duduk di siru.”
Ame yang mendengar ucapan itu segera mengalihkan tatapannya, ia menatap skitar, dan semua orang juga terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia lalu duduk, dan menatap kedua rekannya.
‘Jadi … apa yang harus kami bertiga bicarakan? Aku tidak tahu mereka ini manusia seperti apa, dan aku juga bingung harus memulai pembicaraan dari arah mana. Tapi … ah … sial sekali rasanya! Seharusnya aku bisa mencari bahan pembicaraan setidaknya hal biasa tapi nyaman untuk dibicarakan.’ Ame menatap pada dua rekannya lagi, ia berusaha mengamati keduanya, tapi tidak menemukan hal yang menarik guna memulai percakapan mereka.
“Alexius, di mana kau tinggal? Apa kau berasal dari Kota Kerajaan?”
Ame menatap ke arah Deltha. ‘Sial … apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin aku mengatakan semuanya dengan jujur.’
“Alexius, apa kau mendengarku?”
Ame langsung saja menyudahi aksi melamunnya, ia kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu melirik Code yang terlihat tak mau tahu. ‘Dia dingin sekali, dan wanita itu keterbalikan darinya.’
“Apa kau baru saja melamun?” tanya Deltha.
Ame mengangguk cepat, ia kemudian memikirkan beberapa hal yang bisa saja diungkapkan kepada Deltha. “A-aku … aku berasal dari Kota Kerajaan, dan aku tinggal bersama keluargaku.”
Deltha yang mendengar jawaban dari Ame hanya mengangguk, ia kemudian mengulas senyuman. “Aku tinggal bersama Ayah, dan keluargaku yang lain berada di Desa Tres, tidak begitu jauh dari Kota Kerajaan.”
Ame kembali mengangguk. “Lalu … bagaimana denganmu, Code?”
Code yang mendapatkan pertanyaan itu hanya diam. “Aku juga tinggal bersama keluargaku. Itu saja, tidak perlu dijelaskan dengan detail.”
Ame meringis lagi di dalam hatinya, Code memang orang yang sepertinya malas untuk bicara. Yang pria itu lakukan sejak tadi hanya diam, dan akan menjawab seadanya jika ditanya.
“Jangan pedulikan tembok itu. Dia memang selalu seperti itu, bahkan kadang lebih parah lagi.” Deltha mengangkat tangannya, ia tersenyum kala seorang wanita datang menghampiri mereka.
“Deltha, apa yang ingin kau pesan kali ini?” tanya wanita yang menggunakan pakaian pelayan.
“Sup miso untuk tiga orang, untuk minuman mungkin mereka akan lebih menyukai yang dingin dan sedikit manis.”
“Baiklah. Tunggu sebentar, dan aku akan mengantarkannya untuk kalian.” Wanita itu segera beranjak pergi,
Ame yang mendengar tentang sup miso sangat bersemangat, ia berharap sup itu sama dengan yang ada di dunianya. Yah … setidaknya ia bisa menikmatinya walau pun di tempat lain.
Deltha menatap Ame lagi. “Apa aku bisa memanggilmu Peeter?”
Ame yang nyaris lupa dengan nama samarannya menatap sekitar, ia kemudian kembali menatap Deltha.
“Siapa yang kau cari, Peeter?”
Ame menahan napasnya, ternyata Deltha tadi meminta izin untuk memanggilnya dengan nama Peeter. Ia kemudian menggeleng, dan merasa sangat lega karena tidak sampai mengeluarkan pertanyaan dari bibirnya yang lumayan licin itu.
“Aku hanya merasa ada seseorang yang memerhatikanku,” balas Ame.
Deltha tertawa pelan, ia kemudian meletakkan senjatanya di atas meja. “Wajar jika banyak yang memerhatikanmu. Kau terlihat tampan, dan jika kau mengenakan pakaian yang lebih mahal dan juga bagus mereka bisa saja menganggapmu bangsawan atau mungkin seorang pangeran.”
Ame yang mendengar kata ‘pangeran’ menjadi sangat tegang.
“Kenapa kau langsung memucat?”
Ame kembali harus memutar otaknya untuk menjawab semua yang Deltha tanyakan. Ia tersenyum, lalu menatap ke arah Code yang masih betah dengan diamnya.
“Aku hanya sedang berpikir hal buruk. Disamakan dengan sang pangeran, itu sungguh sebuah kejahatan rasanya,” balas Ame dengan raut wajah yang kurang nyaman.
Deltha ingin sekali tertawa keras, tapi ia menghentikan keinginan itu, dan menatap pada Code. Kenapa pria itu suka sekali berdiam diri? Apa yang mereka lakukan saat ini tidak menarik sama sekali bagi pria itu?
Code yang merasa dirinya diperhatikan langsung saja menatap Deltha. “Ada apa? Kenapa kau menatapku?”
Deltha menahan kesal. “Monyet yang lebih cerdas juga tidak menolak untuk dipandangi. Kenapa kau yang hanya manusia bodoh merasa keberatan?”
Code yang mendengar ungkapan itu memilih tidak peduli, ia kemudian menggeliat dan menatap ke arah Ame yang kini juga sedang menatapnya dengan jeli. Code langsung mengalihkan tatapannya lagi, ia lebih baik memikirkan masalahnya sendiri, dan tidak menanyakan lebih banyak hal pada Ame.
Pria itu kembali larut dalam renungannya, sedangkan Ame dan Deltha hanya bisa diam hingga pelayan yang tadi melayani mereka sudah kembali. Tentu saja dengan senyuman manis, dan juga sikapnya yang begitu sopan serta baik.
Ame yang sudah tak sabar dengan sup miso pesanan Deltha langsung saja mengambil bagiannya, Kebetulan dia juga sangat lapar, dan memerlukan asupan makanan.
Ame juga merasa senang karena sup miso yang ada di dunia ini sama dengan sup miso di dunianya yang lama. “Deltha, sup miso adalah makanan kesukaanku, dan aku berterima kasih karena kau telah memberikannya lagi."
Deltha yang mendengar hal itu hanya mengangguk. “Code, kau juga harus makan.”
Code mengangguk, ia juga langsung duduk dengan rapi sambil menatap sup miso yang sudah Deltha berikan kepadanya. “Terima kasih, Deltha.”
Deltha hanya mengangguk, lalu dengan cepat pula ia menatap Ame. “Kau juga harus makan, Peeter.”
Ame hanya mengangguk. “Ya. Deltha … terima kasih banyak karena sudah membelikanku makanan.”
Deltha menatap bingung. Ia kemudian menjawab, “Eng … Peeter. Sebenarnya … sebenarnya itu … makanan kita bukan aku yang membayar semuanya.”
Ame menatap.
“Kita memang makan bersama, tapi kita akan membayar masin-mesing. Apa kau mengeri?”
Ame hanya bisa terbungkam kala mendengar apa yang Deltha katakan. ‘Dia wanita yang sangat mengerikan.’
Deltha tersenyum canggung, ia tak menyangka jika Ame mengira dirinya akan membayar makanan tersebut. Sedangkan Ame yang mendengarnya dari Deltha secara langsung hanya bisa menghela napas. Baiklah ... dia akan membayarnya sendiri.