RB - SATU

1704 Words
Satu Keluarga kecil itu baru saja selesai sarapan. Sang Ibu terlihat sibuk mengemas peralatannya untuk bekerja. Sedangkan sang Ayah mulai memasukkan bekal makanan yang tadi sudah disiapkan istrinya. "Rembulan, kau yakin tidak ikut Ibu saja ke klinik?" tanya Mareta, Ibu Rembulan yang bekerja sebagai dokter hewan di salah satu klinik hewan di kota. Rembulan menggeleng. Tangan kecilnya mulai membantu sang ayah mengisi botol kosong dengan s**u. "Rembulan ikut ayah saja, Bu. Rembulan ingin tahu hutan itu seperti apa," jawab gadis itu tanpa menoleh ibunya. "Baiklah, Ibu tidak akan memaksa," ujar Mareta menatap suaminya, membuat gestur agar suaminya mau membujuk putri semata wayang mereka. "Rembulan," ucap Cendana, ayah Rembulan, "di hutan akan banyak nyamuk, nanti kalau kau digigit bagaimana?" "Di klinik ibu juga banyak nyamuk, Ayah. Rembulan mau ikut Ayah saja meneliti pohon-pohon." "Baiklah sayang, Ibu tidak akan memaksa. Tapi kau bawa ponsel Ibu, ya?" Mareta mengulurkan ponselnya pada Rembulan. Rembulan terlihat berpikir sejenak. Kemudian menggeleng singkat seraya mendorong ponsel itu pada ibunya. "Buat apa, Bu?" "Untuk jaga-jaga barangkali kau berubah pikiran?" Mareta tersenyum. "Tidak Ibu. Rembulan ingin menemani ayah kali ini. Kan Rembulan sudah sering ke klinik bersama Ibu?" Mareta menghela napas, "Baiklah. Kalau begitu jangan pergi Jauh-jauh dari ayahmu, ya?" lalu mencium singkat puncak kepala Rembulan. Rembulan mengangguk mengerti. --rembulan biru-- Rembulan dan ayahnya memilih pergi ke hutan dengan berjalan kaki karena jarak hutan dan rumahnya tidak begitu jauh. Keduanya sampai ke hutan desa lima belas menit kemudian. "Ingat pesan Ibumu, Rembulan. Jangan jauh-jauh dari Ayah. Mengerti?" kata Cendana menatap putrinya. Dengan wajah berbinar saat melihat berbagai jenis pepohonan yang berdiri kokoh di depannya. "Rembulan?" Rembulan menoleh,"Baik, ayah." "Pintar." Cendana tersenyum menatap putri kecilnya yang baru saja lulus SD tahun ini. Binar di wajah Rembulan begitu menenangkannya. Seolah Rembulan baru saja menemukan harta karun emas saja. Padahal hanya pohon di depannya. "Bagaimana dengan hari pertama SMPmu?" tanya Cendana basa-basi. Mulai melangkah semakin masuk ke dalam hutan. "Ayah, hari pertama SMPku sudah 1 bulan yang lalu." Rembulan mengerucutkan bibirnya. "Oh ya? Cepat sekali, ya? Padahal sepertinya baru kemarin ayah dan ibu mengantarmu ke TK," canda Cendana. Mulai mengenakan sarung tangannya. Memetik beberapa daun di depannya. "Ayah, kenapa ayah suka sekali mengatakan itu?" "Entahlah, karena bagi ayah, waktu bersama Rembulan berlalu begitu cepat. Rembulan sekarang sudah tumbuh menjadi gadis SMP saja." Rembulan berhenti melangkah. Berbalik menatap ayahnya yang masih memetik beberapa daun dari beberapa jenis pohon yang berbeda. "Ayah, kenapa ayah suka sekali meneliti daun di saat ayah libur kerja? Padahal kan ayah tidak bekerja di perkebunan," tanya Rembulan. Kini mengikuti jejak sang ayah. Memetik daun berbentuk jari di depannya. "Ayah hanya suka saja. Pigmen daun ciptaan Tuhan jika diteliti dengan mikroskop begitu ind--" Cendana menghentikan ucapannya saat kedua telinganya mendengar sebuah suara tembakan. Oh juga kedua telinga Rembulan. Karena gadis 12 tahun 5 bulan itu langsung melompat memeluk sang ayah. Tubuhnya gemetaran. "Itu bukan suara balon meletus atau kembang api, ayah," katanya ketakutan. Jujur, meski Cendana sedikit takut, dia dibuat tertawa oleh ucapan Rembulan. Cendana membimbing Rembulan agar berdiri di belakangnya. Mengikuti Cendana melangkah pada sumber suara. Ke arah utara. Pada tengah hutan. Rembulan menurut saja. Karena saat ini kakinya terasa lemas. Oh dia memang gadis polos. Tapi dia tahu berusan itu adalah suara tembakan. Dia pernah beberapa kali menonton acara tentang perang. Dan pasti ada tembakan. Cendana terus melangkah. Mengendap. Satu tangannya mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah pistol. Rembulan yang melihatnya langsung saja melepas genggaman tangan ayahnya. Dia kembali dibuat gemetaran. "Ayah.. Itu pistol," kata Rembulan takut. Belum selesai tubuh gemetaran Rembulan karena suara tembakan. Kini ditambah dengan ayahnya yang juga mengeluarkan pistol. Juga secara tiba-tiba tubuhnya yang jatuh telentang pada semak-semak karena sesuatu yang besar menimpanya. "AYAHH!!!" teriak Rembulan. **** "Ayah.. Itu pistol," kata Rembulan takut. Belum selesai tubuh gemetaran Rembulan karena suara tembakan. Kini ditambah dengan ayahnya yang juga mengeluarkan pistol. Juga secara tiba-tiba tubuhnya yang jatuh telentang pada semak-semak karena sesuatu yang besar menimpanya. "AYAHH!!!" teriak Rembulan. Cendana segera menoleh ke belakang. Pada putri kecilnya yang jatuh di bawah seekor serigala hitam dengan ukuran tubuh yang lumayan besar. Juga pada darah yang ada pada salah satu kaki serigala dan pada bagian punggung serigala. Buru-buru Cendana memasukkan kembali pistolnya. Menyingkirkan serigala besar itu dari atas tubuh anaknya. Cendana membantu Rembulan duduk. Mengeluarkan botol berisi s**u yang tadi dibawa Rembulan. "Minum dulu, sayang," suruh Cendana. Rembulan hanya mengangguk patuh. Buru-buru menghabiskan susunya. "Ayah lihat!!" seru Rembulan setelah menghabiskan susunya. Tangan kecil Rembulan menunjuk pada luka di tubuh serigala itu. "Ayah jangan tembak dia." "Ayah tidak akan menembaknya sayang," Cendana berkata lembut. Kini merobek kaosnya dan membalutkan pada kaki serigala yang masih berdarah, "Rembulan ayo bawakan tas ayah. Kita harus membawa serigala ini ke klinik ibumu." Rembulan kembali mengangguk patuh. Meraih tas ransel ayahnya. Menggendong tas itu pada punggungnya. Sedangkan Cendana menggendong serigala besar itu. Berlari keluar dari hutan. "Apa ayah akan menggendong serigala malang itu ke rumah sambil berlari?" tanya Rembulan setelah keduanya sampai di pinggir jalan. Cendana menoleh pada putrinya,"Iya Rembulan. Serigala ini harus segera kita bawa ke klinik ibumu." "Kenapa ayah tidak berlari sendiri saja ke rumah? Biar Rembulan yang menjaga serigala ini di sini. Karena jika ayah lupa, jalan menuju klinik ibu adalah ke sana." Rembulan menunjuk jalanan di depannya. Yang mengarah ke timur. "Sedang rumah kita berlawanan dengan arah ke klinik ibu." Cendana baru sadar. Anaknya benar. Maka, Cendana kembali meletakkan serigala itu pada rerumputan. Mengusap kepala serigala itu lembut. "Kami akan menolongmu. Kau jaga anakku, ya?" kata Cendana pada serigala bermata biru itu. "Ayah, aku yang akan menjaganya," kata Rembulan tidak terima. Cendana menyempatkan diri untuk tersenyum dan mengecup singkat puncak kepala Rembulan. "Ayah akan segera kembali." **** **** Singkatnya, 10 menit kemudian Cendana sudah kembali ke hutan dengan mobilnya. Dengan cekatan Cendana memasukkan serigala malang itu pada jok belakang mobilnya. Dengan Rembulan yang bersikeras ingin memangku serigala itu. Setelah menempuh perjalanan 20 menit, mereka pun sampai di klinik hewan Mareta. Senyum Mareta merekah begitu melihat suaminya berkunjung, karena pasti Cendana akan mengajak Rembulan bersamanya. Memang. Rembulan bersama Cendana. Tapi jangan lupakan serigala berbulu hitam pekat yang berdarah di gendongan Rembulan kecil. Senyum merekah Mareta sekejap langsung berubah menjadi kepanikan yang luar biasa. Bersama Cendana, Mareta membantu mengangkat serigala tadi ke dalm klinik. "Ibu, selamatkan dia. Dia kasihan, bu," rengek Rembulan. Mareta menyempatkan diri mengusap rambut Rembulan, "Iya sayang. Kau tunggu di ruangan ibu, ya?" suruh Mareta, melirik Cla, temannya agar membawa Rembulan ke ruangannya. **** **** **** Liburan sekolah itu berakhir hari ini. Dengan Rembulan, yang untuk pertama kalinya mengatakan malas untuk pergi ke sekolah. Ya, sejak ibunya berhasil menyelamatkan serigala malang bermata biru 3 hari yang lalu. Tepatnya sejak Rembulan berhasil membujuk Ibunya untuk membawa serigala itu pulang, Rembulan sungguh enggan beranjak kemanapun. Dia hanya ingin bersama Serigala itu. Dan sungguh itu berhasil membuat kedua orang tuanya merasakan ketakutan yang luar biasa. Terlebih saat Rembulan pernah ketahuan tidur bersama Serigala itu di ruang tamu. Memeluk serigala itu layaknya memeluk boneka. Maka, kedua orang tua Rembulan memutuskan untuk menjaga Rembulan bergantian. Jadi, jika Cendana bekerja pagi di laboratorium, maka Mareta akan mengalah dengan mengambil shift siang di klinik. Sebaliknya, jika Mareta harus ke klinik pagi, maka Cendana akan masuk kerja di malam hari. Bukan apa-apa. Tapi sekarang ada serigala di rumahnya. Serigala malang yang kini menjadi kesayangan putri mereka. Meski selama 3 hari bersama serigala, serigala itu sama sekali tidak menunjukkan minat untuk menyerang keluarga Cendana. *ahilehkeluargacendana Tapi tetap saja. Di dalam buku manapun, di situs manapun, serigala tetaplah hewan yang buas. Yang bisa memangsa apapun tanpa ampun. Cendana dan Mareta jelas saja tidak ingin putri Satu-satunya mereka menjadi santapan serigala hitam berbadan besar. "Rembulan, ayo makan dulu, sayang," kata Mareta lembut. Mengusap puncak kepala Rembulan sayang. "Baik, bu," kata Rembulan patuh. Kini mengusap bulu serigala yang lembut. Karena ibunya berhasil memandikan serigala malang itu tadi pagi. Bersamaan dengan ayah Rembulan yang mencuci mobil. "Kau mau yang mana?" tanya Mareta antusias. "Ibu sudah memasakkanmu banyak sekali hari ini. Agar kau semangat saat sekolah nanti siang." "Ibu, tidak bisakah aku bolos hari ini?" "Rembulan, kau harus sekolah sayang. Bukankah kau sendiri yang mengatakan pada kami bahwa kau sudah sangat merindukan Nara?" tanya Mareta mulai menuangkan sup kesukaan Rembulan pada piring Rembulan. "Cukup ibu," pekik Rembulan saat sang Ibu nyaris menuangkan keseluruhan isi mangkup sup tadi pada piringnya. "Ibu tidak inginkah memberi makan serigalaku?" tanya Rembulan lagi. Telunjuknya menunjuk pada Serigala besar yang sedang meringkuk di teras samping rumahnya. Mareta menatap Rembulan gemas, "Rembulan. Kau lihat itu?" Mareta menunjuk baskom berisi daging yang tadi ia beli di pasar. Sebagai makanan Serigala. "Daging itu bahkan masih utuh. Daging yang kemarin juga tidak dia makan." Rembulan mengangguk mengerti, "Tapi Bu. Di hutan kemarin tidak ada daging. Mungkin serigalaku makan daun-daun? Apa ibu sudah mencoba memberi dia makan daun?" seru Rembulan. Mareta kontan terbatuk. Menatap putrinya tidak percaya. Sejak kapan serigala makan daun? Rembulan masih menatap raut tidak percaya Ibunya. "Joke, Bu. Rembulan tahu serigala tidak makan tumbuhan," kata Rembulan, terkekeh geli melihat ibunya. Mareta tersenyum lega. "Apa mungkin dia masih merasakan sakit? Biasanya Ibu jika masih merasakan sakit, kan tidak nafsu makan," kata Rembulan lagi. "Mungkin. Coba nanti ibu periksa, ya?" Mareta menyelesaikan suapan terakhirnya. *** *** *** Rembulan berhamburan memeluk Nara, teman baiknya sejak sebulan terakhir. Dia pindahan dari kota lain. Dia cantik, dengan mata cokelat terang dan rambut sebahu. "Bagaimana liburanmu?" Nara melepas pelukan Rembulan. "Aku sangat senang. Aku menemani ayahku ke--" "Ke?" "Ke laboratorium ayahku. Di sana aku bertemu dengan banyak profesor." "Itu membosankan, Rembulan. Bagian mana yang membuatmu senang bertemu dengan orang dewasa yang suka berpakaian putih," Nara mengejek. Namun Rembulan tidak tersinggung. Karena dia tahu, Nara hanya bercanda. "Kau sendiri bagaimana?" tanya Rembulan. Mulai melangkah menuju kelasnya. "Aku? Jelas saja liburanku luarbiasa membosankan. Aku tidak kemana-kemana. Hanya di rumah membantu ayah dan ibuku membersihkan dan menata rumah baru kami," kata Nara lemah. Sungguh memang menyebalkan, menghabiskan satu minggu liburan hanya berurusan dengan debu. "Boleh tidak lain kali aku ke rumahmu?" tanya Nara. "Boleh saja," jawab Rembulan santai. Namun beberapa detik kemudian menyesal telah menjawab seperti itu. Oh Ayolah. Dia sekarang memiliki hewan buas di rumahnya. Bagaimana jika setelah Nara mengetahui ia memiliki serigala, Nara jadi takut dan tidak mau berteman dengannya lagi? Demi apapun. Rembulan tidak mau jika dirinya kembali tak berteman. *** *** ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD